Sulit Dicari dan Mahal, Bayi di Gaza Terpaksa Pakai Popok Kotor Berkali-kali
Ibu lain terpaksa menggunting pakaian dan menjadikannya popok bagi bayinya.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada malam yang dingin tiga pekan yang lalu Aida al-Baawi bergegas keluar dari tendanya menuju Rumah Sakit Syahid AL Aqsa untuk melahirkan putrinya. Proses kelahirannya sulit karena kurangnya tenaga medis untuk merawatnya dan tidak cukup anestesi untuk menutupi rasa sakit saat menerima jahitan.
Putrinya lahir dengan sehat tapi perempuan 29 tahun itu menghadapi kesulitan baru. Ia kesulitan mencari kebutuhan dasar yang banyak ibu di tempat lain dapatkan dengan mudah, yaitu popok.
Seperti kebanyakan ibu di Gaza bagi al-Baawi mendapatkan popok menjadi sangat menantang. Terutama karena kelangkaan yang disebabkan pengepungan Israel menaikan harga barang-barang.
"Setiap hari adalah kesulitan untuk mendapatkan popok untuk bayi perempuan saya, terutama dengan anak lain yang masih membutuhkannya," kata ibu empat anak itu seperti dikutip dari Aljazirah, Jumat (8/3/2024).
Sebelum perang harga dua bungkus popok di bawah 10 dolar AS. "Bayangkan perlu 75 sampai 80 dolar AS untuk popok, apakah ini situasi berkelanjutan," kata al-Baawi.
Kini ia beralih ke solusi lain. Terkadang ia mendatangi tempat perawatan bayi dekat rumah sakit, berharap mereka memiliki sisa popok. Terkadang ia mengeringkan popok di bawah matahari dengan harapan dapat digunakan lagi meski ada kemungkinan berdampak buruk bagi kebersihan.
Terkadang ia terpaksa membiarkan bayinya menggunakan popok kotor sampai ia mendapatkan yang baru. Hal ini tentu berdampak buruk pada kulit bayi. Namun setiap sen yang ia habiskan untuk popok maka berkurang uang yang dibutuhkan untuk membeli kebutuhan lain.
"Bila popok ini mahal, bagaimana saya bisa membeli pasokan lain? Anak-anak saya dan baru makan satu kali sejak kemarin sore," katanya.
Popok bukan satu-satunya kebutuhan dasar yang....
Popok bukan satu-satunya kebutuhan dasar yang menjadi barang langka. Susu formula juga menjadi sangat mahal. Nariman Abu al-Saud melahirkan putrinya pada 9 Oktober lalu. Dua hari setelah perang Israel di Gaza dimulai.
"Di harga saat ini, saya bahkan tidak bisa membeli makanan untuk anak-anak saya, bayi perempuan saya mengalami infeksi kulit parah karena saya tidak bisa mendapatkan popok, bahkan tidak ada susu formula, menyediakan susu dan popok menjadi neraka bagi kami," katanya.
"Perang ini adalah perang pada anak-anak kami dan nyawa mereka, Apa yang mereka lakukan hingga harus menanggung kondisi seperti itu?” tambahnya.
Mayoritas penduduk Gaza menjadi pengungsi dan sangat membutuhkan bantuan. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan sudah 20 orang di kantong pemukiman itu meninggal dunia akibat malnutrisi dan dehidrasi.
Program Pangan Dunia (WFP) mengatakan Israel harus mengizinkan akses jalan ke Gaza utara untuk menghindari kelaparan, mereka menekankan betapa buruknya situasi di daerah itu.
Masyarakat didorong untuk mencari alternatif selain popok yang langka. Pabrik setempat memproduksi pengganti popok dengan menggunakan bahan-bahan mentah seperti kertas tisu, kapas medis, kain dan nilon. Pekerja pembuat popok, Yousef Darwish menjelaskan harga popok alternatif ini serupa dengan harga popok biasa sebelum perang.
"Ada banyak permintaan dari keluarga-keluarga meskipun popok ini tidak sebagus popok yang lain dan tidak dibuat sesuai dengan spesifikasi kesehatan," kata Darwish.
Tetapi menurut Darwish, alternatif ini pun mungkin tidak akan bertahan lama karena bahan bakunya semakin menipis.
"Kami menipiskan persediaan yang ada, dan dengan penutupan perbatasan sejak pecahnya perang, sumber daya ini hampir habis," katanya mengacu pada pembatasan ketat masuknya bantuan ke Gaza yang diberlakukan Israel.
"Dari awal di Gaza kami selalu mencari solusi. Namun, berapa lama lagi para ibu dan anak-anak dapat bertahan dengan kelangkaan dan kenaikan harga popok? Situasinya sudah tak tertahankan," tambahnya.
Ibu mertuanya memotong pakaian untuk....
Shaima Shinar, yang melahirkan anak pertamanya selama perang, juga harus beralih ke alternatif lain. Ibu mertuanya memotong-motong pakaian untuk dijadikan popok.
"Saya tidak punya pilihan. Tidak mudah karena bahannya tidak nyaman, menyebabkan iritasi dan lecet pada kulit, saya juga harus mencucinya terus-menerus. Seperti yang Anda lihat, kami tinggal di tenda dan tidak ada air," kata Shinar.
Shinar melarikan diri dari Kota Gaza ke Deir el-Balah untuk menghindari pertempuran. Dia melakukan kunjungan singkat ke Mesir dua pekan sebelum konflik dimulai, tanpa mengetahui waktu kepulangannya akan menjadi bencana bagi dirinya dan anaknya yang saat itu belum lahir.
"Saya tidak pernah membayangkan dalam hidup saya, anak saya akan lahir dalam kondisi seperti itu, bagaimana mungkin saya tidak bisa menyediakan popok untuk anak saya? Tidak bisa menaruhnya di tempat tidur yang bersih dan tempat yang bersih, bukan di tenda yang dingin ini?" kata Shinar.
"Anak saya menderita dalam segala hal, saat ini, ia sedang pilek dan saya tidak bisa membeli obat, dan tidak ada pakaian atau popok," tambahnya.
Ibu baru ini menjelaskan ia sering mengembara dari satu lembaga ke lembaga lain untuk mencari bantuan, tetapi tidak berhasil.
"Kemarin, bayi saya kehabisan susu. Saya pergi ke salah satu tenda untuk mendapatkan dua sendok susu untuk memuaskan rasa laparnya.
"Kami, orang dewasa, bisa menanggungnya, tapi bagaimana dengan anak-anak?" katanya.