Bahaya Terapi Nebulisasi/Uap Mandiri di Rumah, Harus Bagaimana?

Nebulizer mengubah obat dari cairan jadi kabut sehingga seseorang dapat menghirupnya.

Freepik
Anak menggunakan nebulizer (ilustrasi).
Rep: Santi Sopia Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak jarang praktik nebulisasi atau uap dilakukan secara mandiri di rumah oleh orang tua kepada anak mereka yang sedang mengalami sakit. Salah satunya ketika anak mengalami serangan asma.

Baca Juga


Namun rupanya, penggunaan nebulizer secara mandiri di rumah juga tetap memerlukan konsultasi kepada dokter terlebih dulu. Dokter Spesialis Anak dr Shela Putri Sundawa, Sp.A menulis cicitan di X (sebelumnya dikenal) Twitter tentang bahaya terapi nebulisasi atau uap yang tidak pada tempatnya.

Dia mencontohkan kasus pasien anak serangan asma pertama kali dengan intensitas serangan yang berat. Saat di IGD, sudah diberikan terapi uap tiga kali, namun tidak mempan. 

"Akhirnya baru membaik setelah masuk obat asma level tinggi (aminofilin)," tulis dr Shela melalui akun @oxfara, dikutip Senin (10/3/2024).

Ternyata pasien anak tersebut selama ini sering batuk pilek atau pasien tampak sesak, kemudiam langsung diberikan terapi uap secara mandiri dengan obat salbutamol dan membaik sakitnya. Tetapi pasien tidak pernah dibawa berobat.

Serangan asma terjadi karena penyempitan saluran napas karena otot yang mengelilingi saluran napas ini berkontraksi. SABA adalah obat yang diberikan supaya otot di saluran pernapasan kita yang kecil dapat relaksasi agar saluran napas kita kembali membesar.

Sayangnya, bila obat ini sering diberikan bahkan sampai lebih dari 3x dalam seminggu, lama kelamaan reseptor obat yang harusnya menangkap molekul obat ini jadu jenuh dan obat tidak bisa berkerja dengan optimal lagi. Sehingga bila kena serangan asma berisiko untuk mengalami serangan asma yang berat .

"Jadi apa yang harus dilakukan? Jangan sembarang memberikan terapi uap, selalu konsultasi ke dokter terlebih dahulu. Bila pernah diuap dan kondisi membaik, laporkan ke dokter saat berkonsultasi. Informasi ini penting sebagai pertimbangan rencana tata laksana jangka panjang," tulis dia.

Terapi nebulisasi ini bukan berarti tidak boleh. Apabila memang harus dinebulisasi, maka bisa dikerjakan, dengan obat yang bergantung kebutuhan masing-masing pasien. Jadi yang tidak boleh bukan nebunya, melainkam penggunaaan yang tidak tepat. "Yang semaunya sendiri tanpa anjuran medis dengan pertimbangan tidak jelas. Sering kali pemberian cairan nebu juga perlu dilihat kasus per kasus, tidak bisa digeneralisir," ujarnya.

Apa itu nebulizer....

 

Apa itu Nebulizer?

Dilansir dari laman WebmD, nebulizer mengubah obat dari cairan menjadi kabut sehingga seseorang dapat menghirupnya ke paru-paru. Pasien memerlukan resep dokter untuk nebulizer, atau bisa mendapatkannya dari dokter anak. 

Nebulizer sangat baik untuk obat asma pada bayi atau anak kecil. Ini juga berguna ketika kesulitan menggunakan inhaler asma atau membutuhkan obat hirup dalam dosis besar. Terapi nebulisasi sering disebut dengan pengobatan pernapasan. Seseorang dapat menggunakan nebulizer dengan berbagai macam obat, baik untuk mengendalikan gejala asma maupun untuk segera meredakannya. Ini termasuk:

  • Kortikosteroid untuk melawan peradangan (seperti budesonide, flunisolide, fluticasone, dan triamcinolone)
  • Bronkodilator untuk membuka saluran udara (seperti albuterol, formoterol, levalbuterol, dan salmeterol)

Nebulizer vs Inhaler

Inhaler dan nebulizer mengirimkan obat ke paru-paru, dan keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Nebulizer lebih mudah digunakan oleh anak kecil karena yang perlu mereka lakukan hanyalah bernapas dengan normal. 

 

Inhaler biasanya lebih murah dan cenderung memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan nebulizer. Anda dapat membawanya di saku atau tas. Inhaler mungkin sulit digunakan pada awalnya, tetapi kebanyakan orang akan segera menguasainya. Ini memberikan dosis obat yang tepat.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler