China Kritik Ucapan Menlu AS Soal Penderitaan Warga Uighur di Xinjiang
China menilai AS perlu meninggalkan standar ganda dalam isu-isu HAM.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengkritik ucapan selamat menjalankan ibadah puasa dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Anthony J. Blinken yang menyinggung warga Uighur di Xinjiang.
"Xinjiang menikmati stabilitas sosial, pertumbuhan ekonomi, dan keharmonisan antar wilayah. Hak asasi manusia (HAM) warga Uighur dan kelompok etnis lain di sana dilindungi sepenuhnya," kata Wang Wenbin saat menyampaikan keterangan kepada media di Beijing, China pada Rabu.
Pada Selasa (12/3/2024), Menlu Blinken dalam pernyataan resmi mengatakan "Saya ingin mengucapkan Ramadan Kareem kepada lebih dari 1,8 miliar umat Muslim di seluruh dunia. Tahun ini, bulan yang damai datang di tengah konflik dan penderitaan yang dialami banyak komunitas Muslim, termasuk warga Uighur di Xinjiang, Rohingya di Burma dan Bangladesh, serta warga Palestina di Gaza."
"Di Gaza-lah, bukan di Xinjiang, yang menderita akibat konflik. Jutaan Muslim di Gaza, bukan Muslim di Xinjiang, yang menderita kelaparan, pemindahan paksa dan pembunuhan," tambah Wang Wenbin.
AS, menurut Wang Wenbin, perlu meninggalkan standar ganda dalam isu-isu HAM dan berhenti bersikap politis soal isu-isu kemanusiaan di Gaza, khususnya menghalangi upaya Dewan Keamanan PBB untuk melakukan gencatan senjata di Gaza.
"Yang perlu dilakukan AS bukanlah mengeluarkan pernyataan munafik tentang Ramadan dengan kata-kata kosong, namun mengambil tindakan nyata untuk menyelamatkan nyawa umat Islam di Gaza," kata Wang Wenbin.
Menlu Blinken dalam lanjutan pernyataannya mengatakan AS tengah menyalurkan bantuan tambahan ke Gaza, dan juga akan terus bekerja tanpa henti untuk mewujudkan gencatan senjata segera dan berkelanjutan setidaknya selama enam minggu sebagai bagian dari kesepakatan pembebasan sandera.
AS juga akan terus mengupayakan solusi dua negara untuk memastikan warga Palestina dan Israel mendapatkan kebebasan, martabat, keamanan, dan kemakmuran yang setara.
Xinjiang merupakan wilayah otonomi di barat daya China yang memiliki etnis minoritas cukup besar. Berdasarkan sensus Oktober 2020, penduduk Xinjiang mencapai 25,85 juta jiwa dengan suku mayoritas Han mencapai 42,4 persen, sedangkan etnis-etnis minoritas lain seperti Uighur, Kazakh dan etnis lain mencapai 57,76 persen. Dari jumlah itu, etnis Uighur mencapai 44,96 persen.
Daerah Otonom Uighur Xinjiang memiliki sejarah terorisme ketika pada 2014 sejumlah teroris Uighur menikam 150 orang di stasiun kereta di Kunming.
Sekitar dua tahun kemudian, pusat-pusat penahanan mulai dibuat di Xinjiang. Orang-orang yang diduga terlibat kelompok radikal dibawa ke pusat-pusat penahanan yang disebut pemerintah China sebagai pusat pelatihan vokasi.
Pada 2022, satu laporan dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) menyebut kemungkinan terjadi "kejahatan terhadap kemanusiaan”, atas penahanan secara diskriminatif yang dilakukan Pemerintah China terhadap anggota minoritas Uighur di Xinjiang. Uigur adalah salah satu suku minoritas di China yang memiliki bahasa sendiri dan punya postur fisik kaukasoid, khas suku Asia Tengah.
Beijing menepis tuduhan tersebut, dengan menyebutnya sebagai "disinformasi dan kebohongan yang dibuat oleh kekuatan anti-China", termasuk dalam Tinjauan Berkala Universal (Universal Periodic Review) Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada 23 Januari 2024.
China mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan 30 langkah baru untuk menjaga HAM yang mencakup bidang kesejahteraan masyarakat, perlindungan hukum, kerja sama internasional dan upaya-upaya lain yang terkait dengan mekanisme hak asasi manusia PBB.