Tiga Tingkatan Puasa: Shaumul Awam, Shaumul Khawas, Khawashul Khawas
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, dijelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan puasa.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Umat Islam sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadhan 2024 atau 1445 Hijriyah. Ada ulama terkemuka yang menjelaskan tiga tingkatan atau level seseorang dalam melaksanakan ibadah puasa.
Yakni, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang dikenal sebagai Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengungkapkan tiga tingkatan atau level orang berpuasa.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, dijelaskan bahwa terdapat tiga tingkatan puasa. Yaitu puasa orang yang awam, puasa orang yang khusus, dan puasa orang yang spesial.
Tingkat atau level pertama, puasa orang yang awam (shaumul awam). Yaitu puasanya orang-orang pada umumnya. Yaitu, dengan menahan diri dari makan, minum, dan mencegah kemaluan dari bersenggama sejak memasuki waktu Subuh hingga Maghrib. Inilah tingkatan puasa dengan nilai yang terendah.
Tingkat atau level kedua, puasa orang yang khusus (shaumul khawas). Yaitu puasa yang tidak hanya sekadar menahan diri dari memenuhi keinginan perut serta berhubungan suami istri di siang hari. Akan tetapi juga menjaga pendengaran, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan semua anggota tubuh lainnya dari segala perbuatan dosa maupun maksiat.
Tingkat atau level ketiga, puasa orang yang spesial atau sangat khusus (khawashul khawas). Yaitu puasa yang tertinggi nilai maupun tingkatannya. Orang pada tingkatan ini sudah mampu mengendalikan qalbu dari dorongan nafsu dan pikiran duniawi. Qalbu serta pikirannya hanya tertuju kepada Allah 'Azza wa Jalla. Sedangkan pandangannya kepada dunia tidak lebih hanya sekadar tempat untuk beramal shalih, sebagai bekal dan persiapan bagi kehidupan di negeri akhirat yang lebih kekal.
Imam Al Ghazali juga menjelaskan enam amalan yang disunahkan saat melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
Amalan yang disunahkan pada saat berpuasa di bulan Ramadhan ada enam. Yaitu mengakhirkan waktu sahur, menyegerakan waktu berbuka dengan kurma atau air sebelum mendirikan sholat Maghrib, dan tidak menggosok gigi sesudah zawwal (matahari tergelincir).
Kemudian, memperbanyak sedekah, memperbanyak membaca atau mengkaji (tadabbur) Alquran, dan beritikaf di masjid, terutama pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.
Itikaf pada sepuluh malam yang akhir ini menjadi kebiasaan Nabi Muhammad SAW. Jika sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan tiba, Rasulullah SAW selalu lebih giat beribadah kepada Allah SWT di masjid.
Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan kepada para istri beliau melakukan hal serupa di dalam rumah. Sebab, pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan itu ada suatu malam yang sangat dimuliakan oleh Allah SWT, yaitu malam Lailatul Qadar, malam yang lebih mulia dari seribu bulan.
Itikaf memiliki ketentuan-ketentuan yang khusus. Pada saat sedang beri'tikaf, Rasulullah SAW biasanya tidak akan beranjak dari posisi itikaf beliau kecuali ada keperluan-keperluan yang sangat mendesak, seperti buang air besar atau air kecil, memperbarui wudhu, dan yang sejenis lainnya. Wallahu a'lam.
Mengenai perintah melaksanakan puasa Ramadhan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Yā ayyuhal-lażīna āmanū kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alal-lażīna min qablikum la‘allakum tattaqūn(a).
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS Al-Baqarah Ayat 183)
Tafsir Ringkas Kementerian Agama menerangkan ayat tersebut seperti ini, "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa untuk mendidik jiwa, mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan."
"(Puasa) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu dari umat para Nabi terdahulu (Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW), agar kamu bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah."