Kelompok Perlawanan Palestina Tolak Pemerintahan Baru Presiden Abbas

Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai perdana menteri Palestina.

EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
Red: Didi Purwadi

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Beberapa kelompok perlawanan Palestina, Jumat (15/3), mengecam pengumuman Presiden Palestina Mahmoud Abbas tentang pemerintahan baru. Karena, mereka khawatir bahwa tindakan tersebut akan semakin memecah belah bangsa.


Kelompok Hamas, Jihad Islam, Front Populer untuk Pembebasan Palestina, dan Inisiatif Nasional mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka mempertanyakan kelayakan penggantian satu perdana menteri dengan perdana menteri lainnya dari lingkungan politik yang sama.

''Mengambil keputusan individu dan melakukan langkah-langkah yang dangkal dan kosong seperti membentuk pemerintahan baru tanpa konsensus nasional hanya akan memperkuat kebijakan unilateralisme dan memperdalam perpecahan,'' bunyi pernyataan itu.

Pada Kamis (14/3/2024), Abbas menunjuk Mohammad Mustafa sebagai perdana menteri dan meminta dia untuk membentuk pemerintahan baru. Mustafa akan menggantikan Mohammad Shtayyeh yang mengundurkan diri pada Februari sehubungan dengan perkembangan terkait perang Israel di Gaza.

Meski bukan anggota gerakan Fatah pimpinan Abbas, Mustafa adalah anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Pernyataan bersama tersebut mendesak Fatah untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok Palestina dalam mengatur tahapan saat ini sesuai dengan tujuan nasional Palestina dan memenuhi aspirasi rakyat untuk membebaskan tanah dan tempat-tempat suci mereka.

Israel telah melancarkan serangan mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas oleh Hamas pada 7 Oktober 2023. Serangan itu telah menewaskan lebih dari 31 ribu korban dan melukai lebih dari 73 ribu lainnya di tengah kehancuran massal dan kekurangan kebutuhan pokok.

Israel juga menerapkan blokade yang melumpuhkan wilayah kantong Palestina itu. Hal tersebut menyebabkan penduduk Gaza, terutama di wilayah utara, di ambang kelaparan.

Sekitar 85 persen warga Gaza terpaksa mengungsi akibat serangan Israel di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan. Sementara, PBB menyebut 60 persen infrastruktur di wilayah itu telah rusak atau hancur.

Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Dan, keputusan sementara ICJ pada Januari memerintahkan Tel Aviv untuk menghentikan tindakan genosida dan mengambil tindakan untuk menjamin bantuan kemanusiaan diberikan kepada warga sipil di Gaza.

 

sumber : Antara/Anadolu
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler