Wae Rebo di NTT Masuk Daftar Desa Tercantik Dunia, Cuma Bisa Ditempuh dengan Jalan Kaki
Wae Rebo populer sebagai destinasi wisata bagi para pecinta ekowisata.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desa Wae Rebo di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), dinobatkan sebagai salah satu desa tercantik dunia versi Spectator Index 2024. Menjadi satu-satunya dari Indonesia yang ada di daftar, Desa Wae Rebo berada di urutan kedua setelah Rothenburg ob der Tauber, Jerman.
Desa Wae Rebo terkenal dengan bentuk rumah-rumah yang memiliki atap berbentuk kerucut. Dikutip dari laman indonesia.travel, Selasa (19/3/2024), desa adat Wae Rebo yang berada di Kabupaten Manggarai ini juga menerima Top Award of Excellence dari UNESCO dalam UNESCO Asia Pacific Heritage Awards 2012 yang diumumkan di Bangkok, Thailand pada 27 Agustus 2012.
Kecil dan terpencil, Wae Rebo terletak di ketinggian sekitar 1.100 meter di atas permukaan laut. Desa ini bisa diakses setelah berjalan kaki sekitar tiga hingga empat jam dari Desa Denge.
Wae Rebo sepenuhnya dikelilingi oleh panorama pegunungan dan hutan Todo yang lebat. Hutan tropisnya kaya akan vegetasi, seperti halnya anggrek, berbagai jenis pakis, dan lekat dengan kicauan burung.
Desa Wae Rebo tidak terjangkau layanan telepon seluler. Listrik hanya menyala dari pukul enam pagi sampai pukul 10 malam.
Udaranya relatif dingin, terutama di musim kemarau. Wisatawan disarankan membawa jaket jika berencana mengunjungi desa tersebut.
Pendiri desa dan nenek moyang utama yang membangun desa sekitar 100 tahun lalu adalah seorang pria bernama Empu Maro. Saat ini, penghuninya adalah keturunan generasi ke-18.
Ciri khas Wae Rebo adalah rumah-rumahnya yang unik. Rumah adat bernama Mbaru Niang itu berbentuk tinggi, kerucut, dan seluruhnya ditutupi jerami atau daun lontar dari atap hingga ke tanah.
Rumah-rumah semacam itu cukup umum di wilayah tersebut. Namun, saat ini, hanya desa tersebut yang masih mempertahankan rumah adat khas Manggarai.
Rumah adat Manggarai memiliki lima tingkat. Setiap tingkat dirancang untuk tujuan tertentu.
Tingkat pertama yang disebut "lutur" (atap) merupakan tempat tinggal keluarga besar. Tingkat kedua yang disebut "lobo" diperuntukkan untuk menyimpan makanan dan barang.
Lalu, tingkat ketiga disebut "lentar" untuk menyimpan benih untuk panen berikutnya. Tingkat keempat disebut "lempa rae" untuk persediaan makanan jika terjadi kekeringan.
Tingkat kelima disebut "hekang kode". Tempat teratas ini dianggap paling sakral sebagai tempat persembahan untuk para leluhur.
Salah satu rumah upacara khusus menjadi bangunan komunitas tempat anggota seluruh marga berkumpul untuk upacara dan ritual. Warga setempat mayoritas beragama Katolik, namun masih menganut kepercayaan lama. Di rumah ini tersimpan pusaka suci berupa gendang dan gong.
Jumlah penduduk desa sekitar 1.200 jiwa dan tujuh rumah. Makanan pokok penduduk desa adalah singkong dan jagung. Namun di sekitar desa, mereka juga menanam kopi, vanila, dan kayu manis yang nantinya dijual ke pasar dengan jarak tempuh sekitar 15 kilometer.
Belakangan, Wae Rebo semakin populer sebagai destinasi wisata bagi para pecinta ekowisata internasional. Masyarakat Wae Rebo terkenal hangat menyambut pengunjung yang ingin melihat desa mereka dan merasakan kehidupan tradisional sederhana di sana.