Kejagung Bertanya ke KPK: Tangani Kasus LPEI yang Mana?
KPK umumkan penyidikan sehari setelah Sri Mulyani laporkan kasus LPEI ke Jaksa Agung.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Rizky Suryarandika
Kejaksaan Agung (Kejagung) mempertanyakan sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta Korps Adhyaksa menghentikan proses hukum atas pelaporan dugaan korupsi pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana mengatakan laporan korupsi LPEI oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin, pada Senin (18/3/2024) belum tentu kasus sama yang sejak Selasa (19/3/2024) diumumkan dalam penyidikan oleh KPK.
“Yang dimaksud (oleh KPK) dengan menghentikan itu yang mana? Dan yang ditangani KPK juga (kasus) yang mana?,” begitu kata Ketut kepada Republika, Rabu (20/3/2024).
Ketut menerangkan, laporan korupsi LPEI yang disampaikan Sri Mulyani ke Jaksa Agung, sampai saat ini masih dalam telaah oleh tim Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sebelum diumumkan ke tahap penyelidikan, maupun penyidikan. Pun sebetulnya, kata Ketut, di Jampidsus sejak 2021 sudah menangani perkara korupsi di LPEI.
Bahkan dari perkara korupsi LPEI yang ditangani oleh Kejagung, menurut Ketut, sudah ada yang inkrah dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 2,6 triliun. Dan masih ada satu perkara lagi yang sudah disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 81,35 miliar.
“Kasus LPEI yang pernah ditangani oleh Jampidsus itu saja, ada tiga perkaranya, dan sudah ada yang inkrah. Dan satu perkara lagi terkait LPEI sudah dilaporkan oleh BPK ada kerugian negaranya. Sedangkan yang kemarin itu (pelaporan Sri Mulyani) sekali lagi saya sampaikan, itu masih dalam telaah untuk dipelajari. Jadi yang mana yang diminta untuk dihentikan?” ujar Ketut.
Pun Ketut menambahkan, terkait dengan proses hukum atas pelaporan baru kasus korupsi LPEI oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu juga terdiri dari banyak klaster yang semuanya mengenai perkara tindak pidana korupsi. Dan itu, kata Ketut, penanganan perkaranya bakal terpisah-pisah. Ketut menerangkan, yang dilaporkan oleh Sri Mulyani kepada Jaksa Agung, terdiri dari tiga klaster perkara.
“Kasus dugaan tindak pidana korupsi pada LPEI ini, ada banyak. Ada batch 1,2, dan 3,” ujar Ketut. Yang saat ini dalam telaah tim penyidikan di Jampidsus, adalah klaster satu.
Yaitu, kata Ketut terkait dengan penyimpangan, atau dugaan tindak pidana korupsi atas pemberian fasilitas kredit ekspor oleh LPEI terhadap empat perusahaan swasta sebagai debitur periode 2019. Dalam penyampaian resmi Menkeu Sri Mulyani bersama Jaksa Agung Burhanuddin, pada Senin (18/3/2024) mengatakan, nilai pemberian kredit yang terindikasi korupsi tersebut sebesar Rp 2,5 triliun.
Empat perusahaan dalam klaster kasus pertama yang bakal ditangani Kejakgung tersebut adalah PT RII senilai Rp 1,8 triliun, PT SMR senilai Rp 216 miliar, PT SRI sebesar Rp 144 miliar, dan PT PRS sebesar Rp 305 miliar.
Ketut pernah menerangkan, perusahaan-perusahaan tersebut bergerak di bidang pertambangan batu bara, dan nikel, serta perkebunan kelapa sawit, juga shipping atau perkapalan. Perusahaan-perusahaan tersebut, kata Ketut, menikmati pemberian fasilitas kredit ekspor yang berujung pada macet,sehingga merugikan keuangan negara.
Adapun pada klaster kedua, Ketut mengatakan, sudah disampaikan oleh Jaksa Agung ada enam perusahaan lain selaku debitur yang saat ini dalam proses pemeriksaan dan audit oleh tim terpadu di Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), serta Inspektorat Kemenkeu.
Enam perusahaan pada klaster kedua kasus tersebut, kata Ketut menjelaskan nominal kredit yang terindikasi merugikan negara setotal Rp 3,85 triliun. Ketut mempertanyakan, dari pelaporan atas klaster-klaster kasus tersebut, apakah ada kasus sama yang sejak Selasa (19/3/2024) diumumkan oleh KPK ke level penyidikan. Dan dari pengumuman tersebut, KPK meminta Kejakgung menghentikan proses hukum atas pelaporan Sri Mulyani terkait korupsi LPEI tersebut.
“Silakan teman-teman di KPK koordinasikan dengan kita (Kejagung) kasus yang dimaksud itu yang mana,” sambung Ketut.
KPK membantah adu cepat dengan Kejagung dalam mengusut dugaan korupsi fasilitas kredit di LPEI. KPK mensinyalkan sudah menerima laporan sebelum Kejagung.
Diketahui, KPK mengumumkan dimulainya penyidikan perkara dugaan korupsi di LPEI pada Selasa (19/3/2024). Pengumuman tersebut selang sehari setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengadukan kasus serupa ke Kejagung
"Sekali lagi ini bukan proses kebut-kebutan ya," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kepada wartawan yang dikutip pada Rabu (20/3/2024).
KPK mengklaim sudah memperoleh laporan pengaduan masyarakat mengenai perkara itu sejak 10 Mei 2023. Selanjutnya, KPK memulai penyelidikan kasus itu pada 13 Februari 2024 atau sebelum menaikkan status perkaranya ke penyidikan pada Selasa kemarin.
"KPK telah menerima laporan dugaan peristiwa tipikor dalam penyaluran kredit LPEI ini sejak 10 mei 2023," ujar Ghufron.
Ghufron menyatakan, berhak mendalami perkara korupsi LPEI lantaran posisi penanganan KPK lebih maju dari Kejagung dengan menerbitkan sprindik pada 19 Maret 2024. Ghufron pun mengutip Pasal 50 UU KPK yang isinya mengatur kepolisian dan kejaksaan wajib menyetop penyelidikan perkara kalau KPK sudah lebih dulu memulai penyidikan dalam kasus yang sama.
"Penyidikan yang dilakukan kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan," ucap Ghufron.
Selain itu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan upaya yang dilakukan KPK guna menjamin supaya tak terjadi duplikasi penanganan kasus. Sehingga KPK akan berkoordinasi dengan Kejagung guna memproses kasus itu. Koordinasi tersebut mencakup bertukar data demi mencegah tumpang tindih penanganan kasus.
"Waktu ada laporan bahwa Kejagung terima Kemenkeu, staf kami di Penindakan menyampaikan bahwa kami juga sedang menangani perkara itu dan siap dilakukan ekspose, dari forum ekspose disepakati dinaikkan ke tahap penyidikan tanpa menyampaikan siapa tersangkanya," ujar Alex.
Meski demikian, KPK belum menetapkan satu orang tersangka pun dalam kasus LPEI. KPK tak memberikan sinyal tenggat waktu kapan penetapan tersangkanya.
"Dari proses penyidikan itu sudah tergambarkan peran masing-masing pihak," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan, Rabu (20/3/2024).
Pakar hukum dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai tindakan KPK yang mengusut dugaan korupsi fasilitas kredit di LPEI patut dicurigai. Sebab KPK seolah take over kasus dari Kejagung.
Herdiansyah menjelaskan jika KPK sudah mulai melakukan penyidikan atau penyidikan dilakukan secara bersama dengan aparat penegak hukum lain, maka KPK yang berwenang menangani perkara tersebut. Ketentuan ini diatur dalam UU KPK.
"Tapi bagaimanapun, langkah KPK untuk melakukan take over terhadap perkara LPEI itu tetap patut dicurigai," kata Herdiansyah kepada Republika, Rabu (20/3/2024).
Herdiansyah menyebut sejumlah hal guna mendukung kecurigaannya itu. Pertama, menurut KPK laporan perkara ini sudah masuk sejak awal 2023. Tapi KPK justru tak mengungkapnya lebih dulu dari Kejagung.
"Lalu kenapa setelah sekian lama baru diributin? Jadi tidak salah APH lain mengambil inisiatif akibat lambannya penanganan perkara," ujar Herdiansyah.
Kedua, Herdiansyah menduga perkara LPEI ini kemungkinan tidak tunggal. Herdiansyah menduga dugaan korupsinya lebih dari satu perkara. Sehingga menurutnya tak masalah kalau APH lain turut serta menyelidiki.
"Bisa jadi banyak ikan dalam satu kolam. Jadi tidak masalah jika APH lain masuk menangani perkara terkait LPEI ini," ucap Herdiansyah.
Herdiansyah mengingatkan selama ini Kejagung memang bagian dari tim terpadu dalam pengawasan LPEI bersama BPKP dan Inspektorat Kemenkeu. Bahkan kepolisian juga bisa masuk dalam tindak pidana umum.
"Jadi KPK tidak perlu buru-buru merasa jadi lembaga tunggal yang berhak menangani perkara LPEI ini," ucap Herdiansyah.
Ketiga, Herdiansyah menyinggung KPK sulit mendapat kepercayaan masyarakat mengusut kasus ini di tengah perilaku buruk pimpinan hingga bawahan KPK.
"Jangan salahkan publik kalau menilai KPK punya motif dibalik take over perkara ini. Menjaga integritas lembaga saja gagal, gimana mau menangani perkara lain. Begitu respons publik," ucap Herdiansyah.