'Jika PPN Naik Jadi 12 Persen, Kelas Menengah Seperti Digebuk Lagi'
Kalangan DPR meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan PPN jadi 12 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada 8 Maret 2024 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen pada 2025. Menurut Airlangga, kenaikan PPN salah satunya menjadi konsekuensi terpilihnya pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
“Kita lihat masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan, pilihannya keberlanjutan. Tentu kalau berkelanjutan, berbagai program yang dicanangkan pemerintah akan dilanjutkan, termasuk kebijakan PPN (12 persen),” kata Airlangga.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen merupakan salah satu rencana penyesuaian pajak pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP disebutkan bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada 1 April 2022 dan kembali dinaikkan 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025.
Dalam Pasal 7 ayat 3, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan yang paling tinggi 15 persen. Namun, kata Airlangga, penyesuaian peraturan itu tergantung dari kebijakan pemerintah selanjutnya. Dia menjelaskan bahwa kenaikan PPN akan dibahas lebih lanjut dalam penyusunan APBN 2025 bulan depan.
“Tentu satu bulan ke depan sudah ada keputusan, 20 Maret (2024). Sehingga dengan demikian, APBN 2025 kan pelaksananya pemerintah yang akan datang. Jadi pemerintah yang akan datang sudah mendapatkan kepastian sesudah pengumuman, dan program yang masuk APBN adalah program yang akan dijalankan pemerintahan mendatang,” jelasnya.
Pernyataan Airlangga itu kemudian menjadi polemik khususnya di media sosial. Hingga akhirnya dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beserta jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Gedung DPR, Senayan pada Selasa (19/3/2024), para anggota Komisi XI DPR mengkritisi rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen.
Anggota Komisi XI DPR RI Andreas Eddy Susetyo menilai kenaikan PPN 12 persen akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat. Khususnya, di kalangan kelas menengah yang pendapatannya di kisaran Rp 4-5 juta per bulan.
Menurutnya, berbeda dengan kelompok bawah atau masyarakat miskin yang menjadi target sasaran kebijakan bantuan sosial (bansos) pemerintah, kelompok menengah tidak memiliki ketahanan yang cukup untuk mengakomodasi kenaikan inflasi. Sementara itu, kelompok menengah memiliki peran signifikan dalam menopang perekonomian. Bila kelompok ini tidak mendapatkan perhatian, ada kemungkinan masyarakat kelas menengah turun kelas ke kelompok miskin.
“Kami ingin agar kenaikan PPN 12 persen dikaji kembali,” ujar Andreas dikutip dari kanal Youtube TV Parlemen.
Andreas mengakui, UU HHP dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR. Namun, menurut Andreas, saat itu keputusan dibuat dengan alasan agar kenaikan PPN secara bertahap tetapi juga mempertimbangkan kondisi perekonomian dalam negeri dan luar negeri contohnya suku bunga The Fed.
"Jangan kemudian kondisinya, The Fed belum tentu semester satu menurunkan tingkat bunga. Pada saat itu kalau kita istilahnya tadi golongan menengah ini digebuk lagi dengan kenaikan PPN, itu bukannya malah akan memperlambat pertumbunhan ekonomi? Yang nantinya juga akan berdampak pada penerimaan negara."
Anggota Komisi XI DPR dari PKS, Anis Byarwati juga mengutarakan hal senada dalam rapat itu. Sejak awal, menurutnya, PKS memang menolak rencana kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen.
"Tapi kami juga ikut prihatin. Di tengah harga beras naik, PPN juga ikut naik 12 persen, tol juga ikut naik. Jadi, daya beli masyarakat yang memang sudah lemah, makin terpuruk kembali," tuturnya dalam rapat.
Anis setuju dengan Andreas bahwa masyarakat kelas menengah pasti tidak akan dapat Bansos. Mereka memang tidak termasuk kelompok miskin yang berhak menerimanya. Namun secara finansial, mereka belum bisa dibilang aman.
"Dibilang sudah aman juga tidak, karena pendapatannya tidak memungkinkan dia untuk bergerak lebih lincah. Menahan belanja, mungkin."
Merespons kritik dari DPR, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo memastikan pemerintah terus mengkaji kebijakan kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 2025. Dia menjelaskan kebijakan tersebut telah ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, pemerintah juga memantau perkembangan terkini.
“Kajian akan terus kami jalankan, dan transisi pemerintah juga akan terjadi, jadi kami juga menunggu,” ujar Suryo saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta, Selasa.
Ekonom Center of Macroeconomics & Finance Indef Abdul Manap Pulungan menilai rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indef juga menaik PPN sebesar 12 persen akan menjadi PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Memang ketika diambil kenaikan tarif itu (PPN 12 persen) nanti dampaknya akan terasa terhadap perekonomian, jadi jangan sampai kenaikan PPN ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," kata Abdul dalam Diskusi Publik Indef 'PPN Naik, Beban Rakyat Naik' yang digelar virtual di Jakarta, Rabu.
Abdul memberikan catatan bahwa pada 2023 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami perlambatan menjadi 5,03 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 5,31 persen. Menurut Abdul, naiknya PPN akan berimbas pada kecenderungan masyarakat untuk lebih berhemat mengingat harga barang dan jasa yang turut naik.
Hal itu dikhawatirkan semakin menekan indikator konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi penyumbang produk domestik bruto (PDB) utama. Pada 2023, tingkat konsumsi rumah tangga telah mengalami perlambatan menjadi 4,82 persen dibandingkan 2022 yang tercatat 4,9 persen.
Komponen non makanan diprediksi menjadi komponen konsumsi yang paling terdampak adanya kenaikan PPN 12 persen nanti, yaitu kelompok transportasi dan komunikasi, serta restoran dan hotel.
"Ini khawatirnya ketika PPN itu naik, orang-orang cenderung menahan plesiran, yang pada akhirnya menyebabkan sektor-sektor konsumsi yang bukan kebutuhan pokok itu menurun," ujar Abdul.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa kenaikan PPN juga mempunyai potensi berdampak terhadap inflasi. Kendati pun ada berbagai komoditas yang tak dikenakan PPN seperti beras, jagung, sagu dan komoditas lainnya, menurut Abdul, tidak ada jaminan bahwa harga komoditas tersebut akan terkendali di pasaran.
"Penjual itu akan reaktif ketika terjadi kenaikan PPN. Mereka tidak peduli, apakah komoditas yang dinyatakan tidak naik itu justru mereka naik, apalagi di pasar tradisional yang tidak terpantau," katanya.
Peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef Ahmad Heri Firdaus menyebut, jika PPN resmi naik menjadi 12 persen, maka Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan PPN tertinggi di kawasan Asia Tenggara.
"Artinya kalau (PPN) kita jadi di 12 persen, akan jadi yang tertinggi. Apalagi kalau menggunakan skema single tarif ya, ini yang tentu akan memberatkan konsumen yang 95 persen pendapatannya digunakan untuk membeli kebutuhan pokok," kata Ahmad dalam diskusi yang sama.
Saat ini, negara Asia Tenggara yang mempunyai PPN tertinggi yakni Filipina sebesar 12 persen. Sedangkan negara lainnya seperti Kamboja sebesar 10 persen, Laos 10 persen, Vietnam dengan skema two tier system sebesar 10 persen dan 5 persen. Kemudian Malaysia yang menggunakan sistem pajak barang dan jasa (good and service tax/GST) sebesar 6 persen.
Ahmad menjelaskan, kenaikan PPN dengan menggunakan single tarif dapat menyebabkan semakin menurunnya daya saing industri, karena biaya produksi yang meningkat. Oleh karena itu, dia menilai perlu adanya pertimbangan untuk menggunakan skema multi tarif.
Selain itu, secara makro, kenaikan PPN akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah inflasi pangan yang relatif lebih tinggi. Semakin melemahnya daya beli masyarakat, maka akan berdampak pula pada penurunan penjualan dan utilisasi industri.
Selanjutnya dampak lain yang ditimbulkan dari adanya kenaikan PPN, yakni penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang terancam menurun. Seiring dengan kenaikan PPN, terjadi peningkatan biaya di saat permintaan melambat, maka dikhawatirkan akan terjadi penyesuaian dalam input produksi termasuk penyesuaian penggunaan tenaga kerja.
Tujuan dari naiknya PPN 12 persen sendiri sebenarnya agar semakin mengoptimalkan pendapatan negara, namun menurut dia, pemerintah perlu melakukan kalkulasi dengan matang. Efek jangka panjang dan pendeknya juga perlu dipertimbangkan.
"Saya sepakat bagaimana pemerintah mengoptimalkan penerimaan negara, tapi juga harus mengedepankan prinsip keberlanjutan, keadilan dan juga bagaimana memerhatikan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah," ujarnya pula.