Berpuasa Ramadhan di Era Artificial Intelligence
AI membuka jendela pengetahuan seluas-luasnya bagi para pencari ilmu agama.
Oleh : Endro Dwi Hatmanto (Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UMY)
REPUBLIKA.CO.ID, Pada tahun 2024 ini kita menjalani ibadah puasa di tengah era kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI adalah teknologi berbasis komputer yang mampu melakukan tugas-tugas seperti pengenalan pola, pemecahan masalah, pembelajaran, dan pengambilan keputusan, tanpa memerlukan intervensi manusia secara langsung. Dalam konteks kehidupan beragama, AI ternyata juga telah ditanam dalam sebuah robot yang menyampaikan ceramah agama.
Dalam bukunya "God in the Machine: What Robots Teach Us About Humanity and God" (2004), Anne Foerst mengatakan bahwa AI dapat mendorong manusia untuk merenungkan pertanyaan eksistensial tentang sifat kesadaran dan jiwa. Teknologi AI juga dapat memunculkan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang apa artinya menjadi manusia dan tempat kita di alam semesta sehingga dapat mendorong manusia untuk mencari pemahaman spiritual dan filosofis yang lebih dalam.
Gagasan Foerst terkonfirmasi oleh sebuah peristiwa spiritual di negara Jepang. Sebuah kuil di Kyoto, yang dikenal sebagai Koidaji Temple, menjadi pusat perhatian. Para penganut agama tertentu di sana duduk dengan khidmat sambil mendengarkan khutbah yang disampaikan oleh seorang bhikkhu. Sang bhikkhu dengan lancar mengutip ayat-ayat suci dan memberikan nasihat kehidupan. Namun, yang menarik adalah bahwa sang bhikkhu itu sebenarnya adalah seorang robot dengan kecerdasan buatan.
Bhikkhu dari kuil tersebut, yang bernama Tensho Goto, menjelaskan bahwa kuil ini sudah berusia lebih dari 400 tahun. Baru beberapa tahun belakangan, mereka mulai mempertimbangkan untuk menampilkan seorang pendeta yang sangat cakap dalam bentuk robot dengan kecerdasan buatan. Robot pendeta ini diberi nama Mindar. Mereka menghabiskan dana sekitar 1 juta dolar AS, atau sekitar Rp 15 miliar, untuk menciptakan robot ini. Mereka bekerja sama dengan seorang ahli robot, yaitu Profesor Hiroshi Ishiguro dari Universitas Osaka.
Era AI sungguh membuka pintu ilmu pengetahuan termasuk ilmu agama dengan cara yang tidak terbayangkan sebelumnya. Dengan AI seperti ChatGPT, seseorang dapat menanyakan berbagai pertanyaan agama mulai dari persoalan hukum fikih, bab halal dan haram, akidah, bahkan mampu untuk mencarikan ayat-ayat Alquran dan hadits yang terkait dengan persoalan yang ditanyakan. AI membuka jendela pengetahuan seluas-luasnya bagi para pencari ilmu agama.
Pertanyaannya adalah, apakah kesempatan yang lebih luas manusia untuk mencari ilmu agama melalui mesin AI tegak lurus dengan membaiknya spiritualitas manusia? Dalam banyak hal ternyata belum. Di balik gedung pencakar langit, di balik emas yang bertumpuk di pertambangan, dan di balik kemajuan AI dan teknologi tinggi, banyak individu yang kehilangan makna hidup. Berbagai patologi psikologis seperti penggunaan narkoba, kasus bunuh diri maupun krisis sosial seperti tingkat korupsi yang tinggi, perusakan lingkungan hidup, kriminalitas yang keji menjadi bukti bahwa membanjirnya ilmu agama tidak serta merta memunculkan kehidupan yang lebih baik.
Dalam perspektif Islam, berbagai musibah kemanusiaan disebabkan oleh penguasaan ilmu namun tidak diikuti dengan amal. Bahkan dalam Alquran, orang yang memiliki pengetahuan dari kitab yang dibacanya namun tidak mengamalkan apa yang ia baca diibaratkan seperti seekor keledai (QS. Al-Jumu’ah: 5). Orang semacam ini memiliki ilmu, namun ilmunya tidak produktif dalam membangun kebaikan hidupnya. Sebaliknya, amal adalah komponen yang harus dimiliki oleh setiap Muslim untuk menggenapi keimanannya agar tidak menjadi orang-orang yang merugi. "Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. al-‘Ashr: 1-5).
Ibadah puasa di bulan Ramadhan sejatinya menawarkan tiga komponen penting yang disebutkan dalam surat al-‘Ashr ini. Pertama, buah dari puasa di bulan Ramadhan adalah meningkatnya derajat keimanan dan ketakwaan. Kedua, bulan Ramadhan adalah bulan ilmu pengetahuan. Pengetahuan agama didiseminasi melalui nasehat-nasehat dalam forum-forum kajian baik di tempat ibadah maupun di lembaga pendidikan. Namun kita didorong tidak hanya menguasai ilmu agama.
Bulan Ramadhan menyediakan tempat kita untuk memaksimalkan amal-amal shaleh seperti shalat wajib, shalat sunnah, shalat tarawih, berzikir dan membaca Alquran, serta membayar zakat, infaq dan sedekah untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Tentu, kaum Muslim juga dapat memanfaatkan berbagai teknologi seperti AI dan teknologi lainnya untuk mencari pengetahuan agama di bulan suci Ramadhan. Namun satu hal yang bulan Ramadhan ingatkan kepada kita: menguasai ilmu harus diikuti oleh produktifitas amal kebaikan. Semoga bulan Ramadhan 2024 ini menjadi landas pacu kita dalam meraih ilmu dan meningkatkan produktivitas amal kebaikan.