Pangdam Cenderawasih Ungkap Kondisi Orang Asli Papua yang Jadi Korban Penganiayaan TNI

Korban penganiayaan teridentifikasi atas nama Devianus Kogoya.

Antara/Bagus Ahmad Rizaldi
Kadispenad Brigjen Kristomei Sianturi (tengah) bersama Pangdam XVII/Cendrawasih Mayjen TNI Izak Pangemanan (kiri) saat konferensi pers di Denma Mabes TNI, Jakarta Pusat, Senin (25/3/2024).
Rep: Bambang Noroyono Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Korban penganiayaan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Papua dikabarkan masih hidup. Panglima Kodam (Pangdam) XVII Cenderawasih Mayor Jenderal (Mayjen) Izak Pangemanan mengatakan, korban penganiayaan di Kabupaten Puncak, Papua Tengah tersebut teridentifikasi atas nama Devianus Kogoya (DK).

Baca Juga


Adapun, pelaku penganiayaan terungkap adalah para personel Batalyon Yonif 300 Raider Braja Wijaya dari Kodam III Siliwangi, Jawa Barat (Jabar). Mayjen Izak menerangkan, Devianus Kogoya yang terekam dalam video sebagai korban penganiayaan itu, merupakan salah-satu dari tiga orang asli Papua (OAP) yang ditangkap oleh Yonif 300 Raider pada 3 Februari 2024 lalu di Gome.

Selain Devianus Kogoya, dalam penangkapan ketika itu juga dilakukan terhadap Alianus Murib (WM), dan juga Warinus Kogoya (WK). Ketiganya, dituding oleh TNI adalah sebagai anggota kelompok separatisme bersenjata Papua Merdeka. 

“Ketiga orang Papua tersebut semula ditangkap karena keterkaitannya dnegan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB),” kata Mayjen Izak saat menjelaskan peristiwa tersebut di Markas Subden Denma Mabes TNI, di Jakarta Pusat, Senin (25/3/2024).

Penangkapan ketiga OAP tersebut, kata Mayjen Izak, lantaran ketiganya diketahui merencanakan untuk melakukan serangan ke pos militer, dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) di Gome. Jarak antara puskesmas dan pos militer tersebut sekitar 300-an meter.

Rencana aksi penyerangan tersebut, pun kata Mayjen Izak digagalkan dengan melakukan penangkapan. “Saat dilakukan penangkapan ketiganya melakukan perlawanan sehingga terjadi kontak senjata,” kata Mayjen Izak.

Saat terjadi kontak tembak tersebut, ketiga OAP tersebut, pun sempat berhasil melarikan diri. Namun, pengejaran oleh pasukan TNI, berhasil menangkap Warinus Kogoya.

Aparat militer pun membawa Warinus Kogoya ke Mapolres Puncak. Akan tetapi saat dibawa menggunakan truk tentara, Warinus Kogoya yang dalam kondisi tangan terikat nekat melompat paksa keluar dari pengawalan TNI.

Namun usaha melarikan diri itu, dikatakan Mayjen Izak berakhir tragis. Warinus Kogoya meninggal dunia lantaran kepalanya terbentur batu saat melompat paksa keluar dari kendaraan. “Dia melarikan diri, dengan meloncat dari kendaraan karena mungkin tidak ada keseimbangan sehingga terjatuh dengan kepalanya terbentur di batu lalu meninggal setelah dibawa ke puskesmas,” kata Mayjen Izak.

Menurut Warinus Kogoya berdasarkan informasi kepolisian, ternyata buronan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). “Warinus Kogoya ini adalah DPO yang diketahui anggota Kelompok Kriminal Bersenjata yang dalam riwayatnya pernah melakukan aksi-aksi penembakan terhadap anggota TNI, dan penyerangan-penyerangan kepada masyarakat,” kata Mayjen Izak.

TNI meyakini, aksi Warinus Kogoya yang nekat melompat dari mobil tentara setelah ditangkap, lantaran tak ingin dijebloskan ke penjara terkait dengan aksi-aksi separatisnya selama ini. Sementara itu penangkapan yang dilakukan oleh Yonif 300 berhasil mengamankan Devianus Kogoya, di Gome.

Nah di sinilah mereka (anggota Yonif Raider 300) melakukan penganiayaan seperti dalam video tersebut,” kata Mayjen Izak. 


 

Sedangkan satu yang ditangkap lainnya, yakni Alianus Murip, juga masih dalam kondisi hidup. “Jadi sekarang, ini mereka (Devianus Kogoya, dan Alianus Murib) dalam kondisi yang baik. Dan sudah dikembalikan kepada keluarganya,” ujar Mayjen Izak.

Akan tetapi Mayjen Izak mengakui penyiksaan yang dilakukan oleh para anggota TNI tersebut merupakan pelanggaran hukum yang berat. Bahkan Mayjen Izak mengakui penyiksaan tersebut mengancam konsistensi TNI dalam usaha menjaga perdamaian maupun keamanan di Bumi Cenderawasih. 

Karena itu, Mayjen Izak memastikan proses penegakan hukum terhadap para pelaku penyiksaan dalam video tersebut tetap dilaksanakan. “Saya sebagai Pangdam XVII Cenderawasih atas nama TNI, atas nama TNI Angkatan Darat, mengakui bahwa perbuatan (penyiksaan) ini tidak dibenarkan, perbuatan ini melanggar hukum, perbuatan ini sangat mencoreng nama baik TNI, perbuatan ini mencoreng upaya penanganan konflik di Papua,”  kata Mayjen Izak.

Sebagai komandan militer tertinggi di Provinsi Papua, Mayjen Izak meminta maaf atas penyiksaan tersebut. “Saya sebagai Pangdam XVII Cenderawasih meminta maaf kepada seluruh masyarakat di Papua atas perbuatan tersebut,” kata Mayjen Izak.

Izak melanjutkan, dari hasil pengungkapan internal sementara ini, TNI sudah melakukan pemeriksaan terhadap 42 personel. Dan dari rangkaian pemeriksaan tersebut, terungkap 13 orang personel Yonif 300 Raider Braja Wijaya sebagai tersangka pelaku penyiksaan terhadap Devianus Kogoya.

“Sekali lagi, saya meminta maaf kepada seluruh masyarakat, dan khususnya kepada masyarakat di Papua,” begitu kata Mayjen Izak.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) AD Brigadir Jenderal (Brigjen) Kristomei Sianturi pun menambahkan penanganan internal terkait kasus penyiksaan oleh anggota TNI terhadap AOP ini tak bakal ditutup-tutupi dari publik. Pun TNI memastikan akan mengusut kasus tersebut sampai tercapainya keadilan bagi masyarakat di Papua. Serta memastikan peristiwa serupa tak akan terulangi.

“Ini adalah murni pelanggaran hukum. Dan terhadap anggota, kita akan tindak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujar Kristomei.

Menurut Kristomei, para tersangka tersebut, pun saat ini sudah dalam penahanan oleh POMDAM Siliwangi di Jabar. Karena kata dia, sejak awal Maret 2024 batalyon bantuan tersebut sudah dipulangkan ke markas setelah sembilan bulan bertugas di Papua.

Sebelumnya beredar video penyiksaan yang dilakukan oleh anggota TNI terhadap pemuda OAP. Dalam video pertama yang berdurasi 1 menit 1 detik memperlihatkan adegan seorang AOP dengan kondisi tangan terikat di bagian belakang, dan bertelanjang dada dimasukkan ke dalam sebuah drum berisi air jernih.

Kemudian sekitar empat anggota TNI melakukan penyiksaan terhadap orang dalam drum tersebut dengan cara memukul bagian kepala, dan wajah OAP itu dengan kepalan dangan dan siku. Lalu anggota TNI lainnya melakukan tendangan keras ke bagian wajah orang dalam drum tersebut sampai berdarah-darah dan tak berdaya. 

Anggota TNI lainnya, pun ada yang menyiksa dengan cambuk. Lalu di antara anggota TNI tersebut ada yang memukul wajah AOP tersebut dengan memaki-maki menggunakan kata-kata binatang. Anggota penyiksa lainnya, ada juga yang menyuruh anggota penyiksa lainnya untuk bergantian. Dalam video kedua dengan durasi yang lebih pendek, memperlihatkan OAP yang berada dalam drum tersebut mendapatkan penyiksaan berupa punggungnya yang disayat-sayat menggunakan sangkur. Pelaku penyiksaan dengan pisau militer itu, pun menusuk-nusuk bahu bagian belakang OAP tersebut sampai mengeluarkan darah.

Ilustrasi Anak Sekolah di Papua - (republika/mgrol100)

Para pegiat hak asasi manusia (HAM) di Papua menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar memerintahkan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) memecat para prajurit TNI yang tersebar melalui video melakukan penyiksaan terhadap warga sipil Papua beberapa waktu lalu. Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (YKKMP) juga meminta agar Komisi Nasional (Komnas) HAM segera menerjunkan timnya ke Papua untuk mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan para anggota TNI pelaku penyiksaan tersebut.

Direktur YKKMP Theo Hesegem mengatakan, surat resmi kepada Presiden Jokowi itu sudah dilayangkan sejak 23 Maret 2024. Dalam surat tersebut, Theo menerangkan ada lima permintaan para pegiat HAM di Papua, khususnya terkait dengan peristiwa penyiksaan tersebut.

“Kami meminta Presiden Joko Widodo, dan Komnas HAM untuk segera membentuk tim investigasi yang independen untuk mengungkap peristiwa dan pelaku penyiksaan terhadap warga asli Papua tersebut,” begitu kata Theo, dalam siaran pers yang diterima Republika di Jakarta, Senin (25/3/2024). 

Menurut Theo, juga agar Panglima TNI Jenderal Agus Sudibyo turut bertanggung jawab dengan mengirimkan tim penyelidikannya untuk mengusut peristiwa penyiksaan terhadap warga Papua tersebut. “Kami meminta kepada Panglima TNI agar anggota TNI para pelaku penyiksaan, dan komandan yang melakukan penyiksaan terhadap warga Papua itu, untuk segera dipecat secara tidak hormat, dan diproses secara hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia,” ujar Theo.

TNI, kata Theo harus menjelaskan kepada publik perihal latar belakang terjadinya penyiksaan tersebut.  “Kami meminta agar TNI terbuka mengungkapkan peristiwa penyiksaan tersebut secara terbuka, dan jujur,”  ujar Theo.

Theo tak ingin pengabaian pemerintah, dan TNI terkait penyiksaan tersebut semakin memperburuk kondisi, maupun situasi keamanan, serta keadaan sosila masyarakat di Bumi Cenderawasih. “TNI dan Polri harus bertanggung jawab terhadap keamanan seluruh masyarakat di Papua. Dan melindungi keamanan masyarakat di Papua,” ujar Theo.

Surat YKKMP untuk Presiden Jokowi tersebut respons para pegiat Papua yang marah dengan beredarnya video yang merekam penyiksaan oleh yang diduga anggota TNI terhadap orang asli Papua (OAP) beberapa hari lalu. Theo mengungkapkan, dalam rekaman video yang diterimanya, dan tersebar luas di masyarakat di Papua, menunjukkan bentuk penyiksaan yang tak manusiawi dilakukan orang-orang dengan pakaian alat militer, terhadap warga Papua yang tampak bertelenjang dada.

Dalam video pertama, Theo mengatakan, seorang Papua dengan kondisi telanjang dada dimasukkan ke dalam sebuah drum yang berisi air bening. Theo mengatakan pria Papua itu seperti dalam kondisi tangan di bagian belakang yang terikat. 

Di sekeliling drum berisi air tersebut, sekitar empat orang yang diduga anggota TNI, memukuli sampai babak belur wajah dan kepala laki-laki Papua tersebut. “Korban Papua tersebut disiksa dengan kepala dan wajahnya dipukuli berkali-kali sampai berdarah-darah. Dan satu anggota TNI lagi terlihat mencambuk, dan menendang ke arah wajah korban Papua tersebut sampai berdarah-darah tidak berdaya,” ujar Theo.

Dalam video pertama yang berdurasi sekitar dua menit tersebut, para anggota TNI yang melakukan penyiksaan itu, pun melakukan aksinya sambil memaki-maki pria dalam drum tersebut dengan kata-kata binatang. Di dalam video tersebut, tampak memang seorang anggota TNI yang berusaha untuk menyudahi aksi kebiadapan itu. 

Tetapi, dalam video kedua yang diterima oleh Theo menampilkan adegan yang lebih mengerikan. Yaitu berupa rekaman yang memperlihat pria Papua yang sudah tak berdaya tersebut disayat-sayat bagian punggungnya dengan menggunakan bayonet atau sangkur.

Bahkan dalam video kedua itu, pisau militer itu digunakan untuk menusuk-nusuk bagian pundak belakang pria Papua yang sudah terkulai lemas babak belur. Dari rekaman video kedua itu, air yang berada di dalam drum yang semula tampak biru di video pertama menjadi merah dalam rekaman video kedua. Hal tersebut menurut Theo perubahan warna dalam air drum itu menandakan darah yang keluar dari tubuh pria Papua korban penyiksaan itu yang tumpah dan bercampur dengan di dalam drum tersebut. 

“Itu sebuah bentuk penyiksaan yang sangat keji. Saya minta TNI harus menghukum anggotanya,” ujar Theo.

Diduga rekaman video tersebut dilakukan oleh personel militer di Yahukimo, Papua Pegunungan. Amnesty Internasional Indonesia dalam siaran pers yang diterima Republika, Senin (25/3/2024) menyampaikan informasi yang menyebutkan, bahwa video penyiksaan yang beredar di masyarakat tersebut merupakan bagian dari rangkaian kekejaman serupa yang dilakukan terhadap tiga pemuda asli Papua di wilayah Puncak, Papua, pada Februari 2024 lalu. 



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler