Studi: Krisis Iklim Berdampak Buruk Pada Pendidikan Anak
Suhu panas disebut menjadi penyebab penurunan prestasi akademik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekolah di seluruh Sudan Selatan diperintahkan untuk tutup karena gelombang panas mencapai 45 derajat Celcius melanda negara tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, banjir besar telah menyebabkan gangguan besar pada sekolah di Sudan Selatan, di mana rata-rata anak hanya menyelesaikan kurang dari lima tahun pendidikan formal sepanjang hidup mereka.
Menyikapi keterkaitan perubahan iklim dan sekolah, para peneliti dari University of Oslo, Macquarie University, dan Columbia University meneliti bagaimana dampak perubahan iklim terhadap pendidikan anak-anak di seluruh dunia.
Dalam studi yang dipublikasikan di Nature Climate Change, para peneliti mengulas penelitian yang menghubungkan peristiwa terkait perubahan iklim atau pemicu iklim dengan pencapaian akademik. Salah satu hubungan yang paling jelas adalah antara paparan panas dan penurunan prestasi akademik.
Sebuah studi di AS menemukan bahwa nilai matematika seorang siswa menurun secara signifikan pada hari-hari dengan suhu di atas 26 derajat Celcius. Di Cina, suhu yang lebih panas pada hari ujian dikaitkan dengan penurunan performa ujian yang setara dengan kehilangan beberapa bulan sekolah.
Namun, bukan hanya hari ujian yang penting. Studi menunjukkan bahwa peningkatan suhu juga memengaruhi pembelajaran dalam jangka waktu yang lebih panjang. Sebagai contoh, nilai ujian siswa menurun ketika ada lebih banyak hari yang panas sepanjang tahun ajaran, dan bahkan ketika cuaca yang lebih panas terjadi tiga sampai empat tahun sebelum hari ujian.
“Tinjauan kami juga menyoroti bagaimana bencana regional terkait iklim seperti kebakaran hutan, badai, kekeringan, dan banjir membuat banyak anak tidak dapat bersekolah. Banjir dapat menghalangi anak-anak untuk pergi ke sekolah dan menyebabkan kerusakan pada bangunan sekolah, jadi mengganggu proses belajar dan menurunkan nilai ujian,” kata salah satu peneliti dari departemen psikologi University of Oslo, Caitlin M Prentice, seperti dilansir Phys, Rabu (27/3/2024).
Di negara-negara berkembang, badai dan kekeringan biasanya menyebabkan anak-anak meninggalkan sekolah secara permanen untuk bekerja dan membantu keluarga mereka. Dampak bencana iklim juga dapat memengaruhi anak-anak sebelum mereka lahir dengan konsekuensi yang bergema sepanjang hidup mereka.
Sebagai contoh, anak-anak yang ibunya hamil saat Badai Sandy lebih mungkin di diagnosis attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), istilah medis untuk gangguan mental berupa perilaku impulsif dan hiperaktif.
Di India, para peneliti menemukan bahwa kenaikan suhu menyebabkan nilai ujian yang lebih rendah akibat gagal panen dan kekurangan gizi. Hal ini menyoroti pentingnya hubungan tidak langsung antara tekanan iklim dan partisipasi dan pembelajaran di sekolah.
“Analisis kami menunjukkan bahwa perubahan iklim akan memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada dalam akses dan pencapaian pendidikan global, dengan kelompok yang sudah kurang beruntung bisa menghadapi kemunduran pembelajaran terbesar. Di AS, panas berdampak lebih buruk pada nilai ujian untuk ras dan etnis minoritas dan anak-anak yang tinggal di distrik sekolah berpenghasilan rendah,” kata penulis studi lainnya, Helen Louise Berry dari Macquarie University.
Setelah terjadinya topan super di Filipina, anak-anak yang keluarganya memiliki sumber daya keuangan yang lebih sedikit dan jaringan sosial yang lebih kecil lebih mungkin untuk putus sekolah dibandingkan dengan tetangga mereka yang memiliki sumber daya yang lebih baik. Dalam konteks di mana pendidikan anak perempuan kurang diprioritaskan dibanding anak laki-laki, Tingkat kehadiran di sekolah dan nilai ujian mereka menjadi lebih menurun setelah adanya perubahan iklim seperti kekeringan dan badai.
Secara global, wilayah yang penduduknya lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim, dalam hal risiko terjadinya tekanan yang berbahaya dan sumber daya yang tersedia untuk beradaptasi, juga merupakan wilayah yang anak-anaknya telah menerima lebih sedikit waktu bersekolah.
“Dampak perubahan iklim terhadap pendidikan sudah terlihat secara luas. Meskipun skala masalahnya menakutkan, ada banyak cara untuk mengambil tindakan. Yang paling penting, pemanasan global harus segera dibatasi dengan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata para peneliti.
Pada saat yang sama, pendidikan anak-anak harus dilindungi dari tekanan perubahan iklim yang sudah terjadi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan antara lain dengan memasang teknologi pendingin, perencanaan tanggap bencana yang efektif, membangun sekolah yang tahan bencana, dan mengatasi ketidaksetaraan global yang terkait dengan diskriminasi sosio-ekonomi, gender, dan ras.
Mencegah kerusakan pada pendidikan anak-anak merupakan tujuan yang layak. Namun, meningkatkan pendidikan juga dapat berkontribusi pada kesadaran dan literasi iklim yang lebih baik, sekaligus memitigasi perubahan iklim dan membuat anak-anak lebih tangguh dalam menghadapi tekanan iklim.
“Pendidikan dapat membantu memerangi perubahan iklim. Namun, kita juga harus memerangi perubahan iklim untuk mencegah kerusakan pada pendidikan. Tanpa tindakan, masa depan anak muda di seluruh dunia berada di ujung tanduk,” kata peneliti.