Salahkah tak Berpuasa Saat Sedang Mudik Jauh? Ini Penjelasannya
Mudik lebaran telah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mudik lebaran telah menjadi tradisi turun temurun masyarakat Indonesia. Jarak tempuh mereka yang mudik mayoritas mencapai lebih dari 100 km meskipun waktu yang ditempuh bermacam tergantung kepada kendaraan yang digunakan dan rintangan di perjalanan. Dan mudik merupakan kategori musafir.
Mudik dilakukan pada saat puasa sehingga akan menguras banyak energi karena perjalanan jauh. Sebagian orang memilih tetap berpuasa dan sebagian lagi tidak berpuasa. Salahkan tidak berpuasa saat melakukan perjalanan jauh di bulan ramadhan?
Yusuf Qardhawi dalam bukunya "Fiqih Puasa" menjelaskab tentang masalah tersebut. Menurut Qardhawi diperbolehkan untuk tidak berpuasa ramadhan ketika dalam perjalanan jauh. Itu merupakan dispensasi yang disyariatkan Islam. Dan anjuran itu sangat kuat karena didukung oleh Alquran, hadis dan pendapat para ulama.
Surah al-Baqarah ayat 184 dan 185 menjelaskan tentang hal tersebut. Dalam penggalan ayat 184 berbunyi:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ
faman kāna minkum marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar(a), wa ‘alal-lażīna yuṭīqūnahū fidyatun ṭa‘āmu miskīn(in),
Artinya: "Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin."
Dan pada ayat 185 terdapat penggalan sebagai berikut:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
faman syahida minkumusy-syahra falyaṣumh(u) wa man kāna marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar(a), yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usr(a),
Artinya: "Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran."
Alquran menegaskan mereka yang tidak berpuasa karena sakit atau musafir diperbolehkan namun mereka wajib menggantinya di hari lain di luar ramadhan. Dan dalam riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan, Dari Aisyah r.a bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami (ia orang yang banyak berpuasa) bertanya kepada Nabi saw, "Apakah saya boleh berpuasa dalam safar?" Beliau saw menjawab, "Jika mau, berpuasalah dan jika mau, berbukalah." (Muttafaq 'Alaih, Al-lu'lu' wal Marjan).
Qardhawi menambahkan bahwa semua imam madzhab juga sepakat tentang boleh tidak berpuasa bagi musafir. Sebagian sahabat dan tabiin mewajibkan berbuka dalam safar. Orang berpuasa dianggap tidak sah dan harus mengqadaknya.