Konflik Israel-Iran Bisa Berdampak pada Ekonomi Indonesia, Here's Why

Dampak pada pasar keuangan bisa dilihat dari IHSG besok.

EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Penduduk Iran merayakan serangan Garda Revolusi Iran ke Israel di depan Kedutaan Inggris di Tehran, Iran, 14 April 2024. Iran
Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan balasan Iran atas serangan Israel pada konsulatnya di Suriah 1 April lalu menjadi magnet bagi segala kemungkinan eskalasi konflik di Timur Tengah. Meski Iran menyatakan tidak berniat melanjutkan serangan, lembaga internasional, organisasi, dan para pemimpin dunia tidak kehilangan momen untuk berkomentar.

Baca Juga


Segala proksi sepakat peningkatan ketegangan di Timur Tengah akan 'melukai' perekonomian global. Bagi Indonesia, sebagai emerging market yang sangat bergantung pada negara-negara ekonomi raksasa, tentu dampak secara tidak langsung tidak akan terhindarkan. 

 

Dampak pada aliran modal asing

Sebagai negara anggota G20, Indonesia tentu jadi tempat seksi untuk investasi asing. Apalagi portofolio pasar keuangan Indonesia sangat menggiurkan dengan perekonomian yang terus tumbuh positif di segala macam tantangan.

Pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran Arianto Muditomo menyatakan bahwa pemerintah tetap perlu mengelola aliran modal asing keluar (capital outflow) untuk mengantisipasi dampak dari konflik Iran-Israel terhadap perekonomian nasional.

“Secara bersama-sama, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus memonitor capital outflow untuk memastikan cadangan devisa yang cukup,” kata Arianto Muditomo saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Ekonom sekaligus Menteri Riset dan Teknologi RI periode 2019 -2021 Bambang Brodjonegoro menilai serangan Iran ke Israel secara tidak langsung akan memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Namun dia memberikan penjelasan bahwa sebenarnya sentimen utama bagi pergerakan IHSG saat ini lebih dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang tinggi oleh Bank Sentral AS (The Fed).

"Kita lihat IHSG sebelum ramai Iran-Israel, masalah utamanya adalah tingkat suku bunga tinggi yang lebih berpengaruh pada IHSG. Jika ada keputusan The Fed yang tidak sesuai market, maka terjadi capital outflow. Di Indonesia instrumennya ada dua yaitu SBN maupun saham,” ujar Bambang dalam diskusi "Ngobrol Seru Dampak Konflik Iran-Israel ke Ekonomi RI" oleh Eisenhower Fellowships Indonesia Alumni Chapter secara virtual di Jakarta, Senin.

Oleh karena itu, eskalasi konflik di Timur Tengah yang mengakibatkan kemungkinan tertahannya suku bunga acuan The Fed secara tidak langsung akan memengaruhi kinerja IHSG.

Lebih lanjut, Bambang menjelaskan pemegang saham IHSG yang termasuk investor asing terbagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok jangka panjang dan jangka pendek atau hit and run.

Dalam kondisi global saat ini, kelompok jangka pendek akan memindahkan aset mereka ke instrumen yang lebih aman atau safe haven seperti dolar AS atau obligasi AS.

“Saya lebih melihat akan ada tekanan IHSG tapi tekanan itu juga dibagi dengan dampak tingkat bunga yang tinggi. Jika dilihat sebab akibatnya Iran Israel bersitegang, maka dolar AS dan US treasury bond (obligasi AS) akan dicari terus, itu menyebabkan tekanan IHSG karena orang memilih dolar AS,” jelasnya.

Kendati demikian, Bambang menilai dengan banyaknya emiten besar saat ini yang membagikan dividen, maka diharapkan dapat meredam tekanan global yang ditimbulkan pada IHSG.

 

Ancaman inflasi

Arianto pun menyatakan bahwa pemerintah harus mampu mengendalikan inflasi, mengingat adanya potensi kenaikan harga komoditas global akibat disrupsi rantai pasokan dunia yang disebabkan oleh konflik yang terjadi di wilayah dekat Terusan Suez tersebut.

Analis intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro juga mengatakan aksi saling serang Iran dan Israel bakal berdampak secara ekonomi dan politik dalam negeri.

"Serangan ini terjadi di wilayah jalur perdagangan dunia. Jantung ekonomi global pasti akan terganggu," kata Simon, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

Apabila wilayah Terusan Suez terganggu, menurut dia, distribusi komoditas energi dan pangan dunia juga terganggu, Misalnya, minyak bumi, gandum, dan pasokan global bahan pangan lainnya.

"Penguatan nilai dolar terhadap rupiah saat ini, baru indikasi awalnya. Kita siap-siap untuk menghadapi dampak berikutnya seperti harga minyak naik, sejumlah harga pangan berbasis gandum bakal naik, dan seterusnya. APBN kita harus dipersiapkan secara layak untuk menyesuaikan dengan situasi ini," katanya.

 

Ancaman pada neraca perdagangan

Pemerintah juga diimbau sebaiknya tidak agresif dalam merealisasikan rencana-rencana pembangunan yang berasal dari utang. Menurut Arianto, pemerintah perlu mengelola anggaran dengan cermat, agar tidak terjadi defisit yang besar.

BI harus menerapkan strategi pengendalian suku bunga dan nilai tukar yang mampu membuat pelaku pasar menjadi tenang.

“Hal ini penting untuk menjaga stabilitas sistem keuangan,” ujarnya pula.

Ia juga meminta pemerintah dan Bank Indonesia untuk meningkatkan kerja sama dengan entitas internasional lainnya untuk mencegah dampak yang lebih signifikan jika terjadi eskalasi konflik.

“Kerja sama dan koordinasi luar negeri perlu diperkuat untuk saling memantau dan membantu bila kondisi memburuk,” ujar Arianto.

 

Ancaman pada harga BBM

Ekonom Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat (LPEI) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teuku Riefky memprediksi akan terjadi penyesuaian subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri akibat pecahnya konflik Iran-Israel.

“Kalau konfliknya cukup besar maka beban subsidi akan makin besar, dan mungkin perlu adanya tambahan atau penyesuaian lebih lanjut dari subsidi BBM,” kata Riekfy kepada ANTARA di Jakarta, Senin.

Menurut dia, meningkatnya harga energi secara signifikan telah terjadi sebelumnya. Kondisi tersebut mengakibatkan pembengkakan fiskal akibat subsidi energi. Hal itu yang membuat dia memprediksi pemerintah akan mengambil kebijakan fiskal terkait subsidi energi untuk memitigasi dampak konflik Iran-Israel.

“Ini perlu kita lihat lagi ke depannya, magnitude dari konflik ini sebesar apa,” ujar dia.

Meski demikian, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan menjamin stabilitas harga bahan bakar minyak (BBM) pascaserangan Iran ke Israel, yang dikhawatirkan akan menyebabkan meroketnya harga minyak mentah dunia.

"Kecenderungan harga minyak mentah naik, namun kami tetap memastikan pasokan BBM nasional dalam kondisi aman. Kami juga komitmen menjaga harga BBM domestik tetap stabil agar tidak berdampak pada inflasi dan daya beli masyarakat," ujar Riva di Jakarta, Senin.

Untuk sisi harga, kata dia, Pertamina telah mengambil kebijakan menahan tarif BBM sekali pun biaya produksi mengalami peningkatan seiring naiknya harga minyak mentah dunia. Hal ini merupakan arahan dari pemerintah untuk menahan harga BBM hingga paruh pertama 2024.

"Sebagai perusahaan negara, kami mendukung upaya pemerintah menjaga perekonomian nasional lebih stabil dan kondusif," kata dia.

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler