IMF Ungkap Pemulihan Ekonomi Eropa Bakal Berjalan Lambat
Perekonomian China masih terkena dampak pelemahan sektor properti.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dana Moneter Internasional (IMF) menilai, pertumbuhan ekonomi di kawasan Eropa akan pulih namun dari tingkat yang sangat rendah. Itu karena guncangan di masa lalu dan kebijakan moneter yang ketat membebani aktivitas.
Pertumbuhan upah yang tinggi dan inflasi jasa yang terus-menerus dapat menunda kembalinya inflasi ke sasarannya. Hanya saja tidak seperti di Amerika Serikat, hanya ada sedikit bukti terjadinya overheating, dan Bank Sentral Eropa perlu secara hati-hati mengalibrasi arah pelonggaran moneter untuk menghindari inflasi yang terlalu rendah.
Meski pasar tenaga kerja tampak kuat, kekuatan tersebut bisa menjadi ilusi jika perusahaan-perusahaan Eropa menimbun tenaga kerja untuk mengantisipasi peningkatan aktivitas yang tidak terwujud. Kemudian kata IMF, perekonomian China masih terkena dampak pelemahan sektor properti.
Pertumbuhan dan kehancuran kredit tidak pernah dapat diselesaikan dengan cepat, dan hal ini tidak terkecuali. Permintaan dalam negeri akan tetap lesu kecuali ada upaya yang kuat untuk mengatasi akar permasalahannya.
Dengan menurunnya permintaan dalam negeri, surplus eksternal bisa meningkat. Risikonya adalah hal ini akan semakin memperburuk ketegangan perdagangan di tengah kondisi geopolitik yang sudah penuh tantangan.
"Banyak negara emerging market besar lainnya yang mempunyai kinerja yang kuat, terkadang mendapat manfaat dari konfigurasi ulang rantai pasokan global dan meningkatnya ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan Amerika Serikat," jelas IMF dalam keterangan yang dilansir, Rabu (17/4/2024).
Ditambahkan, jejak berbagai negara ini terhadap perekonomian global semakin meningkat.