Emisi Karbon Bahan Bakar Fosil Perparah Gelombang Panas di Sahel Afrika
Kenaikan suhu di malam hari bahkan mancapai dua derajat celcius.
REPUBLIKA.CO.ID, BAMAKO -- Gelombang panas mematikan berkepanjangan di wilayah Sahel Afrika diperparah oleh penggunaan bahan bakar fosil di wilayah tersebut. Sebuah penelitian analisis yang dilakukan World Weather Attribution mendata bahwa Mali, Burkina Faso dan daerah sekitarnya menjadi 1,5 derajat celcius lebih panas akibat kerusakan iklim.
"Hal ini disebabkan oleh pembakaran gas, minyak, batu bara, dan pepohonan, khususnya di belahan bumi utara dan faktor yang sama telah mendorong kenaikan suhu malam hari sebesar 2 derajat celsius," kata para peneliti seperti dilansir laman The Guardian, Kamis (18/4/2024).
Di wilayah yang lebih luas, penelitian ini menemukan gelombang panas selama lima hari akan menjadi 1,5 derajat Celcius lebih dingin tanpa adanya pengaruh manusia terhadap iklim. Ilmuwan Red Cross Red Crescent Climate Centre di Burkina Faso, Kiswendsida Guigma mengatakan, masyarakat di Sahel dan Afrika barat terbiasa dengan panas sepanjang tahun, namun suhu di bulan April belum pernah terjadi sebelumnya.
"Bagi sebagian orang, gelombang panas menjadi 1,4 atau 1,5C lebih panas karena perubahan iklim mungkin tidak terdengar seperti peningkatan yang besar, namun tambahan panas ini akan menjadi penentu antara hidup dan mati bagi banyak orang," ujar Guigma.
Menurut dia, Mali dan Burkina Faso biasanya mengalami suhu siang hari yang tinggi dan berkepanjangan, sekitar sekali dalam setiap 200 tahun. Studi tersebut juga memperkirakan kejadian ini akan 10 kali lebih sering terjadi jika pemanasan global mencapai 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, seperti yang diperkirakan akan terjadi pada tahun 2040-an atau 2050-an jika emisi tidak segera dihentikan.
Fenomena El Niño telah meningkatkan suhu di seluruh dunia selama setahun terakhir, namun para peneliti menemukan bahwa dampak El Niño dapat diabaikan di Mali dan Burkina Faso dibandingkan dengan pemanasan global yang disebabkan oleh manusia. Penelitian-penelitian lain telah menggarisbawahi bagaimana negara-negara yang paling tidak bertanggung jawab terhadap krisis iklim justru menderita dampak terburuknya.
Pada Maret, zona pesisir selatan Afrika bagian barat mengalami suhu indeks panas rata-rata, termasuk kelembapan, sebesar 50 C, yang dianggap berbahaya. Di beberapa daerah, suhu mencapai 60 derajat Celcius, yang diklasifikasikan sebagai “bahaya ekstrim”.
Analisis yang dilakukan oleh World Weather Attribution mengenai peristiwa ini menemukan bahwa pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia telah meningkatkan suhu di wilayah tersebut sebesar 4C dan membuat kombinasi kelembapan dan panas 10 kali lebih mungkin terjadi. Para penulis pun segera mendesak para pemimpin dunia untuk membatasi emisi gas, minyak dan batu bara secepat mungkin untuk mengurangi dampaknya di masa depan.
Mereka mengatakan pemerintah daerah juga harus menyiapkan rencana aksi terhadap panas sehingga rumah sakit, sekolah, dan masyarakat rentan siap menghadapi gelombang panas. Mereka juga mengatakan perusahaan bahan bakar fosil juga harus dibuat lebih akuntabel.
“Panas ekstrem, yang disebabkan oleh perubahan iklim, mengakibatkan kematian bagi orang-orang yang rentan. Studi atribusi seperti ini dengan jelas menunjukkan bahwa jika dunia terus menggunakan bahan bakar fosil, iklim akan terus memanas dan orang-orang yang rentan akan terus meninggal,” kata Friederike Otto, dosen senior ilmu iklim di Grantham Institute di Imperial College London.
"Di masa depan, kemungkinan besar hubungan antara emisi bahan bakar fosil dan kematian akibat panas ini akan digunakan dalam litigasi terhadap perusahaan bahan bakar fosil," ujarnya menambahkan.