Mereka Ramai-Ramai Menjadi Amicus Curae
Amicus Curiae merupakan salah satu unsur dalam sistem peradilan di Indonesia yang belum memiliki bentuk standar, karena belum ada regulasi yang jelas dan spesifik terkait hal tersebut.
KINGDOMSRIWIJAYA – Setelah membaca berita tentang Megawati mengajukan Amicus Curiae ke Mahkamah Konstitusi (MK), seorang teman yang bukan berlatar belakang pendidikan fakultas hukum bertanya, “Apa itu Amicus Curiae? Oke, ada yang menjelaskan Amicus Curiae artinya sahabat pengadilan. Apakah itu sama artinya dengan persahabatan kita berdua?”
Berita yang beredar menyebutkan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai Amicus Curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK), menyikapi sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang kini tengah ditangani lembaga peradilan tersebut.
Kabar Megawati Soekarnoputri mengajukan diri sebagai Amicus Curiae tersiar luas setelah sebelumnya Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat mewakili Ketua Umum PDIP tersebut menyerahkan pendapat tertulis ke MK.
“Kedatangan saya untuk menyerahkan pendapat sahabat pengadilan dari seorang warga negara Indonesia, yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri. Sehingga Ibu Mega dalam kapasitas sebagai warga negara Indonesia mengajukan diri sebagai Amicus Curiae atau sahabat pengadilan,” kata Hasto, Selasa (16/4/2024).
Dalam pengajuan tersebut, Hasto juga membawa tulisan tangan Megawati yang isinya: “Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa semoga ketuk palu Mahkamah Konstitusi bukan merupakan palu godam, melainkan palu emas. Seperti kata Ibu Kartini pada tahun (1911): Habis gelap terbitlah terang! Sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus-menerus oleh generasi bangsa Indonesia. Aamin Ya Rabbal Alamin!! Hormat Saya Megawati Soekarnoputri”.
Ternyata dalam perkara PHPU Pilpres 2024 yang mengajukan Amicus Curiae ke MK bukan hanya Megawati. Ada juga perseorangan dan lembaga atau organisasi yang mengajukan menjadi Amicus Curiae. Sampai Rabu (18/4) tercatat sudah ada 22 pihak mengajukan diri menjadi Amicus Curiae atau sahabat pengadilan ada juga yang menyebut teman pengadilan, dan menyerahkan dokumen pendapatnya terkait perkara sengketa PHPU Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi.
Pengajuan ada dari eks pemimpin FPI Muhammad Rizieq Shihab atau Habib Rizieq bersama eks Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Martak, dan Munarman. Juga ada dari Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad, Reza Indragiri Amril dan lainnya.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK Fajar Laksono, ini kali pertama Amicus Curiae muncul dalam sidang sengketa hasil pilpres. ”Amicus Curiae dari perorangan, dari kelompok, dari lembaga, dari kampus, semuanya kita serahkan kepada majelis hakim konstitusi”, katanya.
Sampai Kamis (18/4) sebanyak 33 orang atau kelompok telah mengajukan diri untuk menjadi Amicus Curiae atau sahabat pengadilan dan menyerahkan dokumen pendapatnya kepada MK. “Majelis hakim hanya membahas 14 pendapat Amicus Curiae atau amicus brief dalam rapat pembuatan putusan”, kata Fajar Laksono.
Hukum Romawi
Pertanyaan pada awal artikel ini jelas mewakili pertanyaan masyarakat pada umumnya yang bertanya apa itu Amicus Curiae, “makhluk” apa Amicus Curiae?
Pertanyaan tersebut adalah suatu yang wajar, karena tidak semua yang bertanya punya latar belakang pendidikan hukum atau lulus jadi sarjana dari fakultas hukum.
Linda Ayu Pralampita dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dalam penelitiannya berjudul “Kedudukan Amicus Curiae dalam Sistem Peradilan di Indonesia” (2020) menulis, “Amicus Curiae belum banyak dikenal tetapi telah dipraktikkan dalam sistem peradilan di Indonesia”. Kata “Amicus Curiae” adalah istilah dalam bahasa Latin yang jarang terdengar dalam pengadilan Indonesia.
Linda menyimpulkan, Amicus Curiae merupakan salah satu unsur dalam sistem peradilan di Indonesia yang belum memiliki bentuk standar, karena belum ada regulasi yang jelas dan spesifik terkait hal tersebut. Dalam sistem peradilan di Indonesia, posisi Amicus Curiae juga tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi maupun saksi ahli, karena Amicus Curiae lebih merupakan partisipasi masyarakat yang pendapatnya diterima dan dapat dipertimbangkan oleh para hakim.
Mengutip Soetanto Soepiadhhy dalam “Undang-Undang Dasar 45 Kekosongan Politik Hukum Makro” yang terbit tahun 2004 menjelaskan, bahwa praktik yang melibatkan Amicus Curiae berasal dari Hukum Romawi sejak abad ke-9. Awalnya praktik ini dimulai di negeri-negeri dengan sistem common law, khususnya di pengadilan tingkat banding atau pada kasus besar dan penting. Belakangan Amicus Curiae telah diatur oleh negara-negara dengan sistem civil law.
Dalam terjemahan bebas, Amicus Curiae diterjemahkan sebagai friends of the court atau sahabat pengadilan ada yang menyebut teman pengadilan, dimana pihak yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Konsep Amicus Curiae adalah masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara tetapi menaruh perhatian atau berkepentingan terhadap suatu kasus. Melalui mekanisme Amicus Curiae pengadilan diberikan izin untuk mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar.
Menurut Linda, ketika yang menjadi Amicus Curiae lebih dari satu orang atau dilakukan oleh sekelompok orang, maka penyebutannya sebagai Amicus Curiae, sedangkan pengajuannya disebut sebagai Amici(s).
Penggunaan Amicus Curiae atau pendapat dari sahabat pengadilan tersebut seperti yang tengah diajukan ke Mahkamah Konstitusi dapat digunakan oleh hakim sebagai bahan untuk memeriksa, mempertimbangkan serta memutus perkara.
“Hakim dapat menggunakan informasi dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi para pihak yang merasa memiliki kepentingan dengan suatu kasus. Amicus Curiae ini berbeda dengan pihak dalam intervensi karena Amicus Curiae tidak bertindak sebagai pihak yang berperkara, tetapi menaruh perhatian terhadap suatu kasus secara khusus”, tulis Linda Ayu Pralampita.
Mengutip Amicus Brief (Komentar Tertulis) yang diajukan oleh tiga tiga kelompok masyarakat sipil yaitu Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam “Delik Kesusilaan dan Kemerdekaan Pers dalam Perkara Majalah Playboy di Indonesia” (2011) bahwa dalam tradisi common law, mekanisme Amicus Curiae pertama kalinya diperkenalkan pada abad ke-14.
Selanjutnya pada abad ke-17 dan 18, partisipasi dalam Amicus Curiae secara luas tercatat dalam All England Report. Dari laporan tersebut menjelaskan fungsi utama Amicus Curiae adalah untuk mengklarifikasi isu-isu faktual, menjelaskan isu-isu hukum dan mewakili kelompok-kelompok tertentu. Amicus Curiae juga berkaitan dengan fakta-fakta dan isu-isu hukum, tidak harus dibuat oleh seorang pengacara (lawyer). Amicus Curiae, tidak berhubungan penggugat atau tergugat, namun memiliki kepentingan dalam suatu kasus.
Amicus Curiae di Indonesia
Menurut catatan tiga kelompok masyarakat sipil tersebut, di Amerika Serikat, sebelum terjadinya kasus Green v. Biddle pada awal abad ke 19, lama sekali pengadilan menolak untuk memperbolehkan partisipasi Amicus Curiae dalam proses peradilan. Namun, sejak awal abad 20, Amicus Curiae memainkan peranan penting dalam kasus-kasus yang menonjol (landmark) dalam sejarah hukum Amerika Serikat, seperti misalnya kasus-kasus hak sipil. Dalam studi tahun 1998, Amicus Curiae telah berpartisipasi dalam lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung (US Supreme Court).
Masih menurut catatan IMDLN, ICJR dan ELSAM, di Indonesia, Amicus Curiae belum banyak dikenal dan digunakan, baik oleh akademisi maupun praktisi. Sampai 2011 yang berkaitan dengan kasus kebebasan berekspresi, ada tiga Amicus Curiae yang diajukan ke pengadilan di Indonesia. Pertama, oleh kelompok pegiat kemerdekaan pers yang mengajukan Amicus Curiae kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus majalah Time versus Soeharto.
Kedua, Amicus Curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar. Amicus Curiae diajukan sebagai tambahan informasi untuk majelis hakim yang memeriksa perkara. Ketiga, Amicus Curiae dalam kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang. Amicus Curiae diajukan sebagai informasi pelengkap bagi majelis hakim yang memeriksa perkara Prita Mulyasari.
Kemudian tahun 2022 dalam kasus Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang, Komnas HAM mengajukan Amicus Curiae ke Pengadilan Negeri Surabaya yang menangani perkara ini. Tujuannya adalah untuk memberikan perhatian pada pelanggaran HAM yang terjadi serta menjamin hak-hak korban serta keluarga korban atas keadilan ditegakkan.
Komnas HAM memaparkan fakta-fakta kejadian serta menyarankan supaya majelis hakim menjatuhkan hukuman maksimal kepada para terdakwa kasus Kanjuruhan. PN Surabaya menjatuhkan hukuman kepada tiga terdakwa polisi satu tahun enam bulan, sementara dua pelaku lainnya dinyatakan tidak bersalah. Komnas HAM menyesalkan putusan tersebut.
“Amicus Curiae merupakan salah satu perkembangan praktik penegakan hukum di Indonesia saat ini. Walaupun Amicus Curiae belum diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun sejumlah perkara di pengadilan sudah menggunakan praktik Amicus Curiae”, tulis Farina Gandryani & Fikri Hadi dalam penelitiannya “Peran Perguruan Tinggi dalam Penegakan Hukum di Indonesia Melalui Amicus Curiae Kajian Putusan Nomor 798/Pid.B/2022/Pn.Jkt.Sel” (2023).
Dalam hasil penelitiannya Farina Gandryani & Fikri Hadi memaparkan, tahun 2023, sejumlah kelompok dari masyarakat sipil seperti ELSAM, ICJR, dan PILNET mengirimkan Amicus Curiae kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyidangkan perkara atas nama terdakwa RE dengan Nomor Register Perkara 798/Pid.B/2022/PN JKT.SEL.
Perkara ini adalah kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat dengan terdakwa Bharada Richard Eliezer (RE). Amicus curiae tersebut menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam mengambil putusan, RE dituntut 12 tahun penjara oleh penuntut umum dan akhirnya diputus satu tahun enam bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Akankah Amicus Curiae yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Megawati Soekarnoputri dan lainnya, memberi warna pada putusan PHPU Pilpres 2024? Tunggu saja tanggal mainnya. (maspril aries)