Agar Kasus WNA China Jatuh ke Jurang Ijen tak Terulang, Ini yang Perlu Dipahami Wisatawan
Wisatawan asal China jatuh ke jurang Kawah Ijen ketika sedang befoto.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peristiwa wisatawan asal China yang jatuh ke jurang Kawah Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, sedalam 75 meter dan meninggal dunia menjadi kabar duka di dunia pariwisata. Wisatawan tersebut jatuh ke jurang ketika sedang berfoto.
Kawah Ijen bisa dibilang merupakan salah satu tempat wisata yang "berisiko" sehingga perlu adanya kehati-hatian dan kepatuhan. Travel Blogger Arief Pokto menyampaikan rasa prihatinnya terhadap kejadian tersebut. Ia menegaskan, ketika memutuskan untuk berwisata ke Kawah Ijen, maka harus ada persiapan matang. “Tidak hanya fisik tapi juga mental, termasuk mengikuti aturan,” ucap dia saat dihubungi Republika.co.id, Senin (22/4/2024).
Ia mengaku sudah cukup lama tidak mengunjungi Kawah Ijen. Namun dari pengelola sudah banyak hal yang dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya seperti pembatasan jumlah pengunjung lewat pendaftaran online hingga imbauan dan papan informasi soal keselamatan.
“Saya sudah lama pergi ke sana, sudah agak lupa soal ada tidaknya petugas, tapi kita sebagai wisatawan sudah harus datang dengan kesadaran dan kewaspadaan masing-masing. Ada petugas atau tidaknya, kita harus menjaga keselamatan dan menghindari potensi celaka. Apalagi, jika kita sudah dapat info kalau tempat wisata yang Kita kunjungi cukup beresiko seperti Kawah Ijen ini,” ucap Arief menjelaskan.
Jika dilihat dari area tempat wisatawan, ia berpendapat bahwa berpose mendekati pembatas kayu memang sangat berbahaya. “Jangan sampai karena ingin mendapat foto atau video bagus jadi celaka seperti ini. Kita bisa mainkan angle foto atau video supaya dapat hasil maksimal,” kata Arief.
Arief yang sudah menjelajahi seluruh wilayah Indonesia itu menegaskan untuk saling mengingatkan sesama teman seperjalanan tentang keamanan. Begitu pula dengan tour guide dan juga petugas, perlu membantu mengingatkan.
Apalagi dari pemberitaan yang beredar, korban terjatuh karena terserimpet rok sendiri. Ini seharusnya bisa dihindari dengan menggunakan pakaian yang sesuai dengan medan pendakian, serta faktor kenyamanan dan keselamatan.
Arief memaparkan 9 tips untuk wisatawan ketika pergi ke tempat wisata yang berisiko:
1. Pelajari tempat wisata yang dituju. Cari info soal pro dan kontranya, lalu cek apakah kita mampu menjelajahi tempat tersebut.
2. Kalau naik gunung selalu mendapatkan Simaksi secara legal, dan terdaftar sebelum mendaki karena pengelola bisa mengecek keadaan kita demi keselamatan bersama.
3. Gunakan pakaian sesuai dengan medan dan bawa perlengkapan sesuai kebutuhan.
4. Pakai pemandu lokal yang paham medan.
5. Latihan fisik dan kuatkan mental agar bisa menjelajah sesuai kemampuan.
6. Kalau ada penyakit bawaan, informasikan pada teman.
7. Lihat kondisi, jika tidak mampu, jangan paksakan.
8. Lebih waspada soal keselamatan, jangan menganggap enteng situasi, dan jangan membahayakan diri dengan melakukan tindakan berbahaya. Selalu ikuti aturan karena keselamatan adalah paling utama.
9. Jika bawa anak, maka upaya keamanannya harus lebih ekstra. Orang tua juga harus berpengalaman. Jika belum berpengalaman, sebaiknya dipikirkan kembali karena kondisi pegunungan berbeda dengan kota. Faktor cuaca yang mudah berubah dan medan yang berat, harus diperhatikan.
Dia menyarankan orang tua membawa anak ke tempat wisata yang "mudah", jangan dibawa ke tempat ekstrem. "Kalau soal umur, saran saya umur di mana anak sudah bisa mandiri, berjalan sendiri dan bisa menikmati perjalanan. Kalau masih bayi saya kurang menyarankan, karena bayi harus selalu ada di tempat aman dan pastinya nggak akan ingat kalau dibawa ke gunung,” kata dia.
Arief berharap pemerintah lebih memperketat SOP jika memang kejadian tak diinginkan sudah terjadi berkali-kali. Tempatkan lebih banyak penjaga, terutama di area beresiko sesuai lokasinya.
Perbanyak lagi pengumuman soal keselamatan. Bisa dibuat dengan versi Bahasa Indonesia dan bahasa asing agar bisa dimengerti banyak orang termasuk turis asing. Serta melakukan pelatihan kepada tour guide yang biasa membawa turis, agar bisa menjadi garda awal soal safety pada turis yang mereka bawa.
“Pengalaman saya ketika harus mendaki sebuah gunung berbatu dengan fasilitas keselamatan yang minim, sebenarnya kalau lihat di media sosial banyak yang bisa naik. Tapi melihat tidak ada petugas, rumah sakit jauh karena daerahnya terpencil, saya hanya pergi sama tour guide, akhirnya setengah pendakian saya batalkan karena turun hujan, licin,” ujar Arief.