Pakar: Budi Daya Padi di Lahan Sawit Dukung Ketahanan Pangan

Petani bisa ada pemasukan dari padi gogo saat tunggu sawit berbuah pasca-replanting.

Kementan
Padi gogo (ilustrasi)
Red: Fuji Pratiwi

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof Totok Agung Dwi Haryanto menilai pengembangan budi daya tanaman padi di lahan sawit dapat mendukung ketahanan pangan.

Baca Juga


"Pengembangan produksi pangan di lahan-lahan sawit itu adalah salah satu strategi ketahanan pangan di Indonesia," kata Prof Totok Agung Dwi Haryanto di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sabtu (27/4/2024).

Dalam hal ini, kata dia, Indonesia memiliki sembilan strategi ketahanan pangan. Yakni intensifikasi, peningkatan indeks pertanaman, pemanfaatan lahan pekarangan, pemanfaatan lahan kering, lumbung pangan, pemanfaatan perkebunan sawit, dan food estate.

Ia mengatakan luas lahan sawit di Indonesia lebih dari 15 juta hektare. Setiap tahun ada wilayah-wilayah yang menjalani fase replanting atau penanaman kembali.

"Replanting sawit itu membutuhkan waktu paling tidak 4-5 tahun untuk bisa berproduksi pertama. Sisa waktu untuk menunggu panen pertama itu sangat memungkinkan untuk ditanami padi atau tanaman lain," kata Totok.

Akan tetapi, kata dia, komoditas yang ditanam di lahan sawit tersebut harus sesuai dengan kondisi iklim pertanian setempat. Yakni tanaman-tanaman pangan yang bisa ditanam pada lahan kering. Dengan demikian, lanjut dia, tanaman padi yang bisa ditanam di lahan sawit berupa padi gogo.

"Kami punya pengalaman beberapa kali mengembangkan tanaman padi gogo kita di lahan kering, salah satunya di lahan sawit yang berlokasi di Pelalawan, Riau, pada 2019, dengan menanam padi gogo Inpago Unsoed 1," kata dia.

Menurut dia, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian sudah mengembangkan tanaman padi gogo pada lahan perkebunan di dua tempat, salah satunya Sukabumi, Jawa Barat. Ia mengaku sangat mendukung kebijakan pemerintah melakukan penanaman padi di lahan kering maupun lahan kelapa sawit tersebut.

"Kalau istilah saya itu parikesit, pari (bahasa Jawa tanaman padi, red.) di tengah sawit. Ini sudah kami uji, tidak akan mengganggu pertumbuhan tanaman kelapa sawit muda dan produktivitas," kata Guru Besar Fakultas Pertanian Unsoed itu.

Bahkan, kata dia, sisa pupuk yang diberikan pada tanaman padi dalam jangka panjang justru bisa dimanfaatkan oleh tanaman sawit ketika penanaman padi dihentikan pada tahun keempat.

Ia mengatakan penanaman padi di lahan sawit juga membutuhkan teknologi khusus seperti bagaimana membenahi tanah sehingga bisa mendukung pertumbuhan padi atau tanaman pangan yang lain dengan produktivitas yang memadai.

Dengan teknologi penanaman padi tersebut, lanjut dia, memberikan ketahanan pangan dan ketersediaan pendapatan bagi pekebun sawit rakyat pada fase replanting.

"Pada fase replanting yang tadinya tidak mendapatkan income dari sawit, bisa mendapatkan income dari padi atau tanaman pangan. Pengalaman kami, kalau pekebun sawit rakyat itu minimal memiliki 3 hektare lahan sawit," kata dia.

Dengan demikian, kata dia, pekebun tersebut bisa panen padi seluas 3 hektare dalam satu tahun ketika melakukan penanaman kembali sawitnya.

Ia mengatakan berdasarkan pengalaman di Pelalawan, dari lahan seluas 1 hektare bisa menghasilkan 2,5 ton gabah kering panen (GKP), dalam satu tahun bisa memperoleh 7,5 ton GKP. "Itu berarti bisa menjamin ketersediaan pangan di kebun-kebun sawit rakyat selama menunggu panen sawit pertama. Untuk kebun-kebun sawit industri atau perusahaan, ini akan membantu ketahanan pangan nasional, apalagi mereka memiliki lahan yang sangat luas," katanya.

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler