Kesaksian Warga: Ricuh di Pamulang Bukan Persoalan Ibadat Rosario

Warga sebelumnya sudah mengingatkan aksi kumpul-kumpul yang dinilai mengganggu.

Republika/Ali Mansur
Kondisi rumah kontrakan tempat kejadian perkara (TKP) kericuhan antara sejumlah mahasiswa Universitas Pamulang (UNPAM) dengan warga di Jalan Ampera RT 007/RW 002 Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, Banten, Rabu (8/5/2024).
Rep: Ali Mansur Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA — Warga Kampung Poncol, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, menegaskan bahwa kericuhan antara sekelompok mahasiswa Universitas Pamulang (Unpam) dengan masyarakat setempat tidak terkait dengan persoalan ibadat doa Rosario. Disebutnya kericuhan yang terjadi pada hari Ahad (5/5/2024) malam tersebut merupakan persoalan sebelum-sebelumnya.

Baca Juga


“Kejadian kemarin kan puncaknya. Karena sebelum warga sini sudah sering ingetin, mereka itu sering kumpul-kumpul ramai gitu, jadi ganggu warga sini,” ujar Haji Sedi (70 tahun) saat ditemui di kediamannya, Rabu (8/5/2024). 

Ia melanjutkan, warga sekitar sudah mengetahui jika mereka rutin melakukan peribadatan di dalam kontrakan tersebut. Namun, dia memastikan bahwa warga tidak mempersoalkan hal itu dan warga juga tidak pernah melarang mereka untuk melakukan peribadatan di kontrakan.

Sehingga dia pun heran kericuhan yang viral di medsos tersebut dinarasikan karena persoalan larangan ibadat. “Kita di sini enggak pernah larang siapa pun beribadah di tempat tinggal, agama apa pun,” ucap Sedi.

Hal senada juga disampaikan oleh Alam (45 tahun) yang juga warga pendatang di kampung tersebut. Menurut dia, banyak mahasiwa Unpam yang mengontrak di kampung tersebut, tetapi mereka tetap menjaga kerukunan dan saling menghargai tidak pernah membuat gaduh. Karena itu di berharap kasus kericuhan tidak dibesar-besarkan tidak dilebih-lebihkan. 

“Saya kira itu bisa diselesaikan secara musyawarah. Enggak benar itu informasi ada yang kena bacoklah apalah. Sampaikanlah sesuai fakta,” kata Alam.

 

Menurut Alam, sebelum kericuhan itu terjadi, ketua Rukun Tetangga (RT) sudah sering menegur agar tidak membuat kegaduhan. Teguran itu juga bukan inisiatif dari ketua RT sendiri, tapi dari desakan warga yang sudah resah menyaksikan sikap mereka yang dianggap meresahkan. Namun, disebutnya, sekelompok mahasiswa tersebut tidak memedulikan teguran dari ketua RT.

“Kasihan Pak RT, dia orang baik banget, selalu bantu warga. Saya rasa Pak RT punya beban moral untuk nyampein keluhan warganya. Sekarang dijadikan tersangka, anak-anak gimana coba perasaannya?” keluh Alam.

Pintu kontrakan yang menjadi lokasi kejadian perkara tertutup rapat. Sebanyak lima pintu kontrakan berderet dan semuanya tertutup dan sekilas tidak penghuninya. Posisi kontrakan yang menjadi tempat kejadian perkara berada di barisan ketiga dari arah jalan. Republika.co.id pun tidak dapat menemui korban untuk dimintai kesaksiannya terkait kasus yang menimpa mereka.

Namun sebelumnya, kuasa hukum korban, Siprianus Edi Hardum, menyampaikan bahwa pihaknya tidak ingin kasus dugaan penyerangan terhadap kliennya yang sedang menjalankan doa Rosario diselesaikan dengan restorative justice (RJ) atau musyawarah. Hal itu dilakukan sebagai pertanggungjawaban hukum dan memberikan efek jera kepada pelaku.

"(Agar) para pelaku ini akan bertobat, pengampunan boleh, tapi pendidikan hukum harus ditegakkan," tegas Edi.

Edi menjelaskan, para tersangka telah melanggar hukum. Disebutnya, para tersangka sudah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni mengganggu orang sedang beribadah dan melukai. Di samping itu para pelaku yang terlibat adalah orang tahu hukum, bukan anak di bawah umur.

"Mereka bukan orang gila, mereka bukan anak-anak. Oleh karena itu, mereka harus dimintai pertanggungjawabannya hukum di depan pengadilan. Lalu ketiga, ada sanksi pidana sesuai perbuatan mereka," terang Edi.

Dalam kasus ini, Penyidik Polres Tangerang Selatan telah menetapkan empat tersangka dalam kasus kekerasan terhadap sejumlah mahasiswa saat melakukan ibadah di sebuah kontrakan di Jalan Ampera RT 007/RW 002 Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan pada Ahad (5/5/2024) malam. Keempat tersangka masing-masing berinisial yakni D (53 tahun), I (30 tahun), S (36 tahun) dan A (26 tahun)

“Kami dari Polres Tangsel telah melaksanakn upaya penegakan hukum terhadap pelaku yang dilaporkan saudari berinisial A,” ujar Kapolres Metro Tangerang Selatan AKBP Ibnu Bagus Santoso dalam konferensi pers di Polres Tangerang Selatan, Selasa (7/5/2024).

Dalam kesempatan itu, Ibnu membeberkan ihwal peristiwa tindak kekerasan yang terjadi di wilayah hukumnya tersebut. Berawal pada saat sekelompok mahasiswa Universitas Pamulang sedang dilaksanakan kegiatan doa bersama. Lalu, datang seorang laki-laki dengan inisial D sembari berteriak-teriak agar membubarkan diri.

Ibnu melanjutkan, kemudian datang tersangka lainnya, yaitu I, S, dan A sambil membawa senjata tajam untuk mengancam para mahasiswa yang sedang beribadah.

Akibat teriakan tersebut terjadi kegaduhan dan kesalahpahaman yang memicu kekerasan dan menimbulkan korban. Kegaduhan dan kekerasan tersebut terekam oleh salah satu penghuni kontrakan di TKP, dan dua orang laki-laki terekam membawa senjata tajam jenis pisau. 

“Tersangka S dan A membawa senjata tajam jenis pisau untuk melakukan kekerasan dan menakuti korban agar membubarkan diri,“ kata Ibnu.

Selanjutnya, Ibnu mengatakan, korban berinisial A (19 tahun) merasa terancam dengan para pelaku melaporkan kejadian tersebut ke Polres Metro Tangerang Selatan dengan nomor LP/B/1046/V/2024/SPKT/Polres Tangerang Selatan/ Polda Metro Jaya dengan dasar laporan pasal UU Darurat RI No. 12 tahun 1951 dan/atau 170 KUHP dan/atau 351 KUHP dan/atau 335 KUHP jo 55 KUHP. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler