Dimulai dari Columbia, Aksi Mahasiswa Bela Palestina Meluas ke Berbagai Belahan Dunia
Kampus-kampus elite di Eropa kini juga ikut menggelar aksi bela Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, Aksi simpati untuk warga Palestina dan penolakan terhadap genosida oleh tentara Israel di Gaza dari kalangan kampus-kampus terus meluas. Gelombang unjuk rasa mengglobal itu berawal di Columbia University di New York, Amerika Serikat (AS).
Para mahasiswa yang berunjuk rasa dengan membuat perkemahan di dalam kompleks kampus itu kemudian menyebar ke 140-an perguruan tinggi di hampir semua negara bagian di AS. Termasuk di daerah khusus ibu kota Washington DC yang menjadi rumah untuk kampus-kampus elite (Ivy League) semacam George Washington University dan Georgetown University.
Hampir semua kampus terkemuka di AS menggelar aksi ini, termasuk kampus-kampus yang akrab di telinga sebagian warga Indonesia, di antaranya MIT, Johns Hopkins University, dan delapan kampus Ivy League (Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth College, Harvard University, University of Pennsylvania, Princeton University, dan Yale University).
Mengutip laporan BBC, perkembangan dramatis terjadi pekan lalu di Universitas Columbia ketika sekitar 100 mahasiswa ditangkap setelah polisi menyerbu masuk kampus. Manajemen kampus, yang tak kuasa menghadapi tekanan lobi pro-Israel, para politisi, kepala daerah, dan organisasi-organisasi pro-Israel, terpaksa memanggil polisi untuk membersihkan kampus dari protes pro-Palestina.
Universitas Columbia meminta polisi membubarkan demonstran karena telah menduduki Aula Hamilton yang namanya diubah oleh mahasiswa dengan Aula Hind, dari nama bocah perempuan Palestina berusia enam tahun yang tewas di Gaza, Hind Rajab. Peristiwa itu memaksa Presiden Amerika Serikat Joe Biden angkat bicara. Biden menyatakan polisi masuk kampus karena unjuk rasa sudah anarkistis.
"Menghancurkan properti kampus bukan unjuk rasa damai, itu sudah melawan hukum," kata Biden, sambil menegaskan bahwa AS tak akan menoleransi ujaran kebencian atau kekerasan, entah itu anti-Yahudi, Islamofobia atau diskriminasi terhadap warga Amerika Arab.
Mahasiswa-mahasiswa itu mendesak kampus-kampus mereka melepaskan tautan dan kemitraan dengan Israel, dengan cara menjual saham dan asetnya (divestasi) di perusahaan-perusahaan yang memiliki kaitan dengan Israel. Aksi damai mereka dinamai dengan 'gerakan divestasi'.
Gerakan divestasi mahasiswa AS kemudian menular ke belahan bumi lain yakni Eropa. Dari Universitas Oxford sampai Cambridge di Inggris, Sorbonne di Prancis, University of Amsterdam di Belanda, Helsinki University di Finlandia sampai University of Bologna, di Italia.
Para mahasiswa di negara Barat yang menggelar aksi demonstrasi menuding kampus mereka secara tak langsung ikut mendanai genosida di Gaza. Mahasiswa-mahasiswa ini menilai semua perguruan tinggi yang berinvestasi dalam perusahaan-perusahaan Israel atau organisasi-organisasi terkait Israel, terlibat dalam perang Gaza.
Diketahui, Perang Gaza telah merenggut 34.700 nyawa warga Palestina, yang kebanyakan anak-anak dan wanita. Perang juga telah mengusir lebih dari 1,5 juta warga Palestina untuk berdesak-desakan di Rafah, dan meratakan 70 persen bangunan di Gaza, termasuk kampus-kampus Palestina.
Mahasiswa di negara-negara Barat juga menyerukan gencatan senjata di Gaza. Mereka mendesak kampusnya menyatakan blokade Gaza oleh Israel sebagai genosida. Mereka menuntut kampus mereka mengutuk aksi Israel meratakan universitas-universitas Gaza.
Setelah rezim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kian tak mempedulikan dunia dengan tetap menggembur Rafah pada pekan ini, unjuk rasa ini semakin luas dan besar. Kini aksi itu terjadi di mana-mana, dari London dan Paris di bagian barat Eropa sampai Warsawa di Eropa timur, dari Malmo di Eropa utara sampai Roma di Eropa selatan, dari Madrid di Eropa barat daya sampai Budapest dan Athena di Eropa tenggara.
Gerakan itu membesar, bukan saja karena tak ada yang bisa menghentikan aksi Netanyahu, tapi juga karena kemunafikan pemimpin Barat sendiri. Mahasiswa menganggap para pemimpin Barat tak konsisten karena gencar mempromosikan hak asasi manusia ke seluruh dunia tapi mendukung Israel tanpa syarat padahal puluhan ribu anak mati dan 70 persen bangunan di Gaza rata dengan tanah akibat ulah Israel.
Mereka mengkritik kampus mereka yang akan terus menjunjung kebebasan berekspresi tapi malah meminta polisi masuk kampus. Mahasiswa-mahasiswa itu marah karena kampus mereka memberi tempat kepada elemen pro-Israel, tapi tidak kepada mereka.
Gerakan mereka kini membuat para pemimpin Barat serba salah. Tapi ada juga juga yang terang-terangan bersimpati kepada mahasiswa.
"Saya juga kalau di usia mereka, pasti bergabung dengan mereka," kata Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo seperti dikutip The Guardian, menanggapi unjuk rasa serupa di Universitas Ghent, yang merupakan salah satu kampus terkemuka di Belgia.
De Croo melanjutkan, "Wajar jika ada suara protes dan tuntutan berdialog ketika konflik yang rumit malah menunjukkan ketidakmampuan dunia dalam mengatasinya."
Empat tahun silam, Barat mengkritik habis-habisan China karena aparat keamanan di Hong Kong menyerang mahasiswa yang bertahan di dalam kampus-kampus untuk memprotes undang-undang yang dianggap memberangus hak warga Hong Kong. Situasi mirip dengan Hong Kong kini dihadapi Barat ketika mahasiswa mereka membangun perkemahan untuk mendesak kampus mereka memutuskan kaitan dengan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga terafiliasi dengan Israel, yang dianggap mereka berlumuran darah anak-anak Palestina.
Dalam aksi unjuk rasa mahasiswa di kampus-kampus di AS, tak ada batu dan bom molotov yang terlempar dari tangan mahasiswa. Tapi, polisi antihuru hara di AS tetap merangsek masuk kampus.
Bayangkan kalau itu terjadi di kawasan lain termasuk Indonesia. Mungkin mereka akan berteriak kencang soal hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan berbicara. Padahal, hampir dalam setiap unjuk rasa mahasiswa di Indonesia, aparat keamanan tak pernah masuk area kampus.
Tekanan juga bisa berupa terhadap individu mahasiswa yang melancarkan demonstrasi. Salah satunya adalah ancaman tidak diterima di perusahaan-perusahaan tertentu ketika mahasiswa-mahasiswa itu menyelesaikan studi, gara-gara unjuk rasa mereka saat ini. Tak pernah ada ancaman seperti ini di Indonesia, khususnya sejak era reformasi.
Tetapi, meskipun menghadapi berbagai tekanan, gerakan divestasi ini mungkin akan berkembang lebih luas ketimbang unjuk rasa anti Perang Vietnam pada 1970-an. Gerakan itu juga bisa mengoreksi batasan yang selama ini memberi cap hitam untuk suara yang kritis terhadap Israel, khususnya definisi anti-semitisme, seperti saat ini sedang dilakukan University of London di Goldsmiths sebagai kompromi setelah unjuk rasa pro-Palestina di sana.
Selama ini, para pemimpin dan politisi Barat yang kerap mendapatkan dukungan dana dari kelompok lobi pro-Israel, selalu memasang dalih anti-semitisme untuk membunuh suara yang berani mengkritik Israel.
Bagaimana kelompok pelobi ini mengendalikan politik AS termasuk mencap suara kritis terhadap Israel sebagai anti-Yahudi dan oleh karena itu harus dibungkam atau disingkirkan, bisa dibaca dalam buku "They Dare to Speak Out: People and Institutions Confront Israel's Lobby" karya Paul Findley.
Kini, dengan semakin luasnya unjuk rasa mahasiswa di Barat, pendapat Paul Findley semakin mendapatkan pembenaran. Justru dari gerakan divestasi itu terlihat AS dan negara-negara Barat telah menjadi sandera sekelompok kecil masyarakat tapi sangat mengendalikan penguasa mereka.
Kenyataan ini lambat laun akan menggerogoti legitimasi Barat dalam menceramahi dunia mengenai HAM dan demokrasi. Mereka tak akan lagi memiliki lisensi untuk mengkritik praktik HAM dan demokrasi di kawasan lain, karena mereka sendiri tak berdaya menghentikan Israel yang mencemooh HAM, tak saja di depan dunia, tapi juga di hadapan sekutu-sekutunya sendiri di Barat.