Rasulullah SAW Juga Pernah Marah, Begini Batasannya
Rasulullah SAW sosok yang pemurah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lapang hati merupakan sifat mulia yang ada dalam diri Rasulullah SAW. Lapang hati yaitu mencegah diri melakukan pembalasan dengan setimpal dan membalas dendam.
Jika demikian bagaimana marahnya orang yang mempunyai sifat lapang hati? Sementara dalam diri manusia juga memiliki amarah?
Ahmad Muhammad al-Hufy dalam bukunya "Akhlak Nabi Muhammad SAW" menggambarkan bagaimana marahnya Rasulullah SAW sebagai yang mempunyai sifat lapang hati.
Ahmad mengatakan ada kejadian yang tidak bisa dihadapi dengan secara tenang oleh seorang yang lapang hati karena dia harus marah. Hanya saja, kemarahan itu wajar.
Rasulullah SAW adalah seorang penyampai risalah agama dan pejuang kebenaran. Maka sepatutnya, kata Ahmad, Rasulullah SAW berlapang hati terhadap apa yang menimpa dirinya dalam berdakwah tetapi bagaimana bisa berlapang hati jika yang dihina adalah dakwahnya?
Bagaimana Rasulullah SAW bisa legawa terhadap orang bodoh yang sangat lancang mulutnya mencaci dan mengejek Islam, mengingkari tauhid, hari kebangkitan setelah mati, dan norma-norma kebaikan dan kebenaran. Maka Rasulullah SAW akan marah dan seharusnya beliau marah.
Namun kemarahan Rasulullah SAW, lanjut Ahmad, bisa terkontrol. Kemarahan Rasulullah sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib bukan untuk kepentingan duniawi. Bila Rasulullah SAW marah dalam mempertaruhkan hak dan kebenaran, tidak seorang pun dapat menghadapinya sampai yang hak dan benar itu menang.
Seperti yang dikatakan Sayyidah Aisyah, Rasulullah SAW tidak pernah membalas dendam untuk pribadinya, kecuali apabila larangan Allah SWT dilanggar, beliau membalas karena Allah, sebab yang dilanggar larangan Allah SWT.
Kemarahan Rasulullah SAW adalah wajar sesuai dengan risalahnya dan keagungannya, tetapi kemarahan itu tidak melampaui batas-batas kewajaran.
Abdullah bin Amr bin Ash berkata, "Wahai Rasulullah, aku akan mencatat apa yang engkau ucapkan dalam keadaan marah
dan dalam keadaan suka." Beliau menjawab, "Tulislah demi Zat yang mengutus aku dengan benar sebagai Nabi, tidak akan keluar dari mulut ini kecuali ucapan yang hak." Beliau mengisyaratkan pada lisannya.
Beliau tidak mengatakan, "Aku tidak marah." Tapi berkata, "Sesungguhnya kemarahanku tidak keluar dari yang hak." Bila mendengar kata yang tidak disenangi, beliau marah sehingga merah kedua pipinya tetapi beliau tidak mengucapkan kecuali kata-kata yang benar.
Meskipun beliau marah untuk membela yang hak, beliau sedapat mungkin meringankan tekanan kemarahan dan memperpendek waktunya serta bertekad menguasai dirinya, yaitu dengan cara mengubah posisinya sehingga suasana dan keadaan berubah menjadi suasana dan keadaan yang lain.
Abu Hurairah berkata, "Apabila Rasul marah pada saat beliau sedang berdiri, beliau akan duduk. Sebaliknya bila beliau duduk, beliau akan berbaring sehingga kemarahan beliau reda. Demikianlah, beliau dengan kuat menjaga dirinya agar jangan sampai dikuasai oleh kemarahan."
Nabi berdoa, "Ya Tuhan, aku adalah manusia yang bisa marah seperti marahnya manusia. Maka siapa saja di antara orang Islam yang aku maki-maki, atau aku laknati, atau aku pukul, maka jadikanlah itu sebagai sholat dan zakat yang mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat."