Praktik Kawin Tangkap Mengatasnamakan Budaya Diharap tak Terjadi Lagi di Indonesia

Perkawinan yang dimulai dengan kekerasan dinilai akan berdampak tidak sehat.

www.freepik.com
Setop praktik kawan tangkap (ilustrasi). Praktik kawin tangkap diharapkan tidak berlanjut pada masa depan.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Qommarria Rostanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satunya adalah praktik kawin tangkap yang mengatasnamakan budaya di Kabupaten Sumba Barat. 

Baca Juga


KemenPPPA mengapresiasi diluncurkannya Kesepakatan Bersama Tokoh Adat Sumba Tengah untuk menghentikan praktik budaya kawin tangkap. "Kesepakatan ini menjadi bukti keseriusan seluruh pihak mulai dari pemerintah daerah, lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat dalam menyudahi perkawinan paksa yang mengatasnamakan budaya," kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati dalam keterangan pers pada Selasa (14/5/2024).  

Upaya melindungi perempuan dan anak dari kekerasan diperkuat dengan disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Dalam UU TPKS disebutkan bahwa perkawinan paksa merupakan salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Ratna menilai kesepakatan bersama ini merupakan tindak lanjut yang positif dari penandatanganan MoU di tahun 2020 antara empat bupati di Provinsi Sumba. 

"Ini harus kita kawal bersama agar seluruh pihak bisa terlibat dalam mencegah terjadinya kekerasan terhadap perempuan terutama praktik kawin tangkap yang masih marak," ujar Ratna.

Ratna mendorong dibentuknya Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPTD PPA) di tingkat provinsi dan kabupaten sesuai dengan mandat UU TPKS. Dengan dibentuknya UPTD PPA, diharapkan korban kekerasan bisa mendapatkan pelayanan yang cepat, tepat dan komprehensif sesuai dengan kebutuhannya.

Ketua Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyampaikan perkawinan yang dimulai dengan kekerasan akan memberikan dampak yang tidak sehat bagi kelangsungan rumah tangga. Oleh karenanya, upaya transformasi budaya dan transformasi pemikiran yang dilaksanakan di Sumba Tengah patut diapresiasi dan terus didukung seluruh pihak. 

Komnas Perempuan telah melakukan analisis terkait kawin tangkap. Nantinya, melalui konsultasi bersama akan diterbitkan rekomendasi umum terkait cara penanganan kawin tangkap dan pemaksaan perkawinan yang bisa menjadi rujukan bagi aparat penegak hukum (APH) dan para pendamping. 

"Harapannya, permasalahan kawin tangkap ini tidak berlanjut pada masa mendatang karena memberikan trauma spesifik kepada perempuan korban, maupun pada laki-laki yang yang turut membangun rumah tangga, serta memengaruhi kehidupan di jangka panjang,” kata Andy.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler