Revisi UU Kementerian Dinilai Cermin DPR Mengabdi pada Kepentingan Penguasa Bukan Rakyat
"Kalau publik keras menolak ya harus dipertimbangkan karena DPR wakil rakyat."
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Eva Rianti, Nawir Arsyad Akbar
Pengamat parlemen yang juga Peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengkritik Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyangkut pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Lucius menilai, para anggota parlemen lebih mengabdikan diri pada kepentingan elite.
"Entah masih relevan atau tidak ya bicara etika dalam proses pembentukan legislasi kita. Yang jelas sih DPR kali ini memang memperlihatkan betapa peran legislasi mereka lebih banyak atau bahkan hampir semuanya diabdikan untuk kepentingan elite saja," kata Lucius saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024).
Dia menuturkan, dari sisi legislasi untuk tujuan terciptanya 'bonum commune', menurutnya bisa dikatakan tidak etis ketika tugas legislasi DPR sebagai wakil rakyat dilakukan untuk mengabdi pada penguasa semata. Dia menekankan bahwa legislasi itu untuk rakyat atau untuk kepentingan bersama, bukan segelintir kalangan pejabat saja.
"Terkait revisi UU kementerian negara yang sebelumnya tak direncanakan dalam daftar Prolegnas 2024, DPR nampaknya lagi-lagi sedang menjalankan peran mereka sebagai abdi penguasa. Ya bisa penguasa yang sekarang, bisa yang akan datang, yang jelas kebutuhan penambahan kementerian itu milik pemerintahan mendatang sehingga bisa dikatakan kerja DPR sekarang untuk kepentingan penguasa yang akan datang," jelasnya.
Lucius menuturkan, tidak heran munculnya kecurigaan mengenai revisi UU Kementerian Negara karena bersamaan dengan wacana presiden terpilih Prabowo Subianto untuk menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kementerian. Sementara alasan atau latar belakang revisi beleid tersebut adalah Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2011 alias lebih dari satu dekade yang lalu.
"Kalau saja revisi UU Kementerian Negara didahului dengan studi serius mengenai evaluasi dan peta kebutuhan di kabinet dan di masyarakat, mungkin kita bisa menganggap revisi ini dilatari oleh munculnya sebuah tuntutan kebutuhan bangsa. Sayangnya ide revisi ini baru muncul ketika pembicaraan soal kabinet yang akan datang menemukan hambatan karena kuota menteri sesuai UU Kementerian dibatasi jadi 34 saja," tuturnya.
Padahal, lanjut Lucius, misi rekonsiliasi pemerintahan mendatang nampaknya ingin mengakomodasi semua parpol dan kekuatan politik. Itu artinya agar bisa merata, maka mesti dibuka ruang kementerian dengan jumlah yang lebih banyak.
"Ini benar-benar akan menjadi senjata Presiden untuk leluasa membagi-bagi kursi kabinet bagi mereka yang mendukungnya. Untuk kepentingan Presiden itu sajalah urusan revisi UU Kementerian Negara ini. Enggak lebih," tegasnya.
Ihwal argumentasi DPR bahwa revisi UU Kementerian Negara terkait dengan putusan MK nomor 79/PUU-IX/2011 yang diketok pada 2011 atau 13 tahun yang lalu, menurut Lucius, itu adalah alasan yang dicari-cari saja.
“Saya kira ngeles saja DPR ketika menyebutkan revisi ini untuk menindaklanjuti keputusan MK tahun 2011 silam. Ini alasan agar pembahasan RUU Kementerian Negara bisa masuk jalur kumulatif terbuka, sehingga tak perlu mengikuti standar prosedur pembahasan RUU Prioritas yang harus dimulai dengan pembuatan naskah akademik, penyusunan draf, pembahasan hingga pengesahan,” kata Lucius.
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, sebenarnya revisi UU Kementerian Negara pun dalam konteks kelancaran presiden dan wakil presiden dalam membentuk kabinet, itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Artinya, jika Prabowo memang ingin mengakomodasi banyak kalangan dengan cara menambah kementerian, yang dilakukan memang revisi UU karena UU saat ini membatasi jumlah kementerian hanya 34.
Kendati demikian, menurutnya, DPR dan pemerintah juga mesti mendengarkan aspirasi dari masyarakat yang bersuara menolak itu. Sebab, ada beban keuangan negara yang mesti ditanggung lebih besar.
“Dalam konteks itu ya kita harus melihat secara objektif mungkin Prabowo butuh penambahan nomenklatur, tapi di saat yang sama harus perhatikan keuangan negara dan efisiensi birokrasi dan sebagainya,” tutur Ujang saat dihubungi Republika, Rabu (15/5/2024).
Ujang menegaskan perlunya pembahasan yang lebih mendalam mengenai perlu atau tidaknya penambahan jumlah kementerian ke depan. Dampaknya pada akhirnya juga akan ke publik.
“Efisiensi anggaran perlu didengar dan diperhatikan. Kalau publik keras menolak ya harus dipertimbangkan aspirasinya karena DPR kan wakil rakyat, Prabowo juga terpilih dari rakyat,” kata dia.
Sebelumnya diketahui, Badan Legislasi (Baleg) DPR memulai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pembahasan dimulai dengan mendengar kajian dari tenaga ahli Baleg terkait revisi yang diisukan untuk menambah nomenklatur kementerian dari 34 menjadi 40.
Latar belakang revisi UU Kementerian Negara diklaimnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan MK tersebut juga menjelaskan, Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 tidak membatasi presiden dalam menetapkan jumlah menteri negara yang diangkat atau diberhentikan. Lalu, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945.
"Maka kemudian diusulkan di dalam rancangan materi muatan RUU ini yang pertama penjelasan Pasal 10. Karena sebelumnya ada kata-kata wakil menteri adalah pejabat karier itu mengikuti putusan MK," ujar Tenaga Ahli Baleg dalam rapat pleno presentasi kajian revisi UU Kementerian Negara, Selasa (14/5/2024).
Selanjutnya, mereka juga akan merevisi Pasal 15 UU Kementerian Negara. Sebab dalam pasal tersebut, mengatur secara khusus jumlah kementerian sebanyak 34.
"Kemudian yang kedua berkaitan dengan rumusan Pasal 15. Pasal dirumuskan berbunyi sebagai berikut, 'Jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 semula berbunyi paling banyak 34 kementerian', kemudian diusulkan perubahannya menjadi 'ditetapkan sesuai dengan kebutuhan presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan'," ujar Tenaga Ahli Baleg tersebut.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas juga mengatakan, alasan revisi karena Putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
"Bisa saja kebetulan (revisi bertepatan dengan penyusunan kabinet Prabowo-Gibran), menyangkut soal itu yang jelas bahwa semua undang-undang yang hasil putusan MK. Badan Legislasi sesegera mungkin menindaklanjuti supaya bisa menyesuaikan dengan Mahkamah Konstitusi," ujar Supratman di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024).
Ia juga menjelaskan alasan revisi UU Kementerian Negara baru dilakukan oleh DPR saat ini, padahal MK sudah mengeluarkan putusan tersebut pada 2011. Sebab, Baleg memiliki daftar putusan MK yang harus diselesaikan oleh DPR.
"Kami diberi daftar, kami menugaskan kepada Badan Keahlian, mana nih daftar yang sudah. Karena yang memeriksa putusan kan bukan sedikit, tenaga ahli kami tugaskan untuk melihat, salah satunya adalah UU Kementerian Negara," ujar Supratman.
Sekali lagi, ia menegaskan bahwa pembahasan revisi UU Kementerian Negara tak berkaitan dengan isu penambahan nomenklatur kementerian era Prabowo-Gibran. Jelasnya, pembahasan usai terpilihnya Prabowo sebagai presiden hanya kebetulan saja.
"Kalau soal kebetulan bahwa ada isu yang terkait dengan perubahan nomenklatur dan jumlah kementerian itu hanya soal kebetulan saja," ujar politikus Partai Gerindra itu.
Wakil Ketua Baleg DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, pada akhir periodenya, para anggota Baleg DPR RI meliputi lintas fraksi memang melakukan kesepakatan untuk menindaklanjuti sejumlah UU yang harus direvisi dan lantas diinvestarisasi.
“Ya itulah hebatnya anggota Baleg hari ini gitu. Jadi yang tidak dipikirkan di periode sebelumnya,” kata Baidowi kepada wartawan di Gedung Parlemen, Rabu (15/5/2024).
Menurut penuturannya, ada puluhan beleid yang mesti ditindaklanjuti atau direvisi. Di antaranya adalah UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang telah dibahas pada Selasa (14/5/2024) dan dilanjutkan pada Rabu (15/5/2024). Contoh lainnya yang turut dibahas pada hari ini adalah revisi UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
“Ini dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi, dan belum ditindaklanjuti menjadi revisi UU,” tegasnya.
Lantas, dia menyinggung soal momen yang pas pembahasan revisi beleid tersebut dengan wacana bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto akan menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 kementerian. Dia mengakui memang ada unsur politis di baliknya.
“Praktik-praktik yang selama ini kami anggap kurang kami perbaiki, soal kemudian bertepatan dengan momentum setelah Pilpres, ya namanya DPR politik, ya bersinggungan dengan momentum politik, kita tidak bisa menghindari itu karena DPR adalah lembaga politik. Ya kebetulan saja isunya bebarengan gitu,” ungkapnya.