Revisi UU Kementerian Negara, Demokrat: Kalau Kebutuhannya Nambah, Ya Harus Ditambah
Demokrat menilai wajar jika Prabowo ingin menambah jumlah kementerian.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron mengatakan, kebutuhan kementerian untuk pemerintahan periode 2024-2029 merupakan kewenangan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih. Jika melihat tantangan ke depan, ia menilai wajar jika jumlah kementerian bertambah.
"Tentu hal-hal yang memang terkait dengan dinamika perpolitikan nasional dan kebutuhan terhadap pemerintahan ke depan, kalau kebutuhannya nambah ya harus ditambah gitu, kalau size-nya negara ini penduduknya juga semakin meningkat yang harus ditambah," ujar Herman di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
"Kan demi keefektivan negara, pemerintah tentu harus secara spesifik bahwa kementerian juga bisa menggarap sektor-sektor yang tentu ini menjadi tujuan berbangsa bernegara," sambungnya.
Baleg sendiri merumuskan norma dalam revisi UU Kementerian Negara, kebutuhan kementerian merupakan kewenangan presiden dengan memepertimbangkan efektivitas pemerintahan. Karena itu, pihaknya tak mematok jumlah kementerian dalam UU Kementerian Negara.
"Pembahasan kita jangan memberikan judul yang terlalu sempit atau bidang yang terlalu sempit, sehingga bidang-bidang ini juga mungkin saja bisa dikembangkan. Oleh karena itu, bahwa pengembangan ini supaya tidak membatasi atas kebutuhan-kebutuhan," ujar Herman.
Di samping itu, ia menegaskan bahwa revisi UU Kementerian Negara tak berkaitan dengan susunan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Menurutnya, revisi yang berlangsung usai terpilihnya Prabowo hanyalah kebetulan saja.
"Timing-nya pas saja, timingnya pas. Kita juga mengevaluasi, kita juga memonitor perjalanan implementasi undang-undang ini dan tentu pada akhirnya klop," ujar Herman.
Sementara, anggota Badan Legislasi (Baleg) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ansory Siregar mengatakan, saat ini banyak persoalan di Indonesia yang belum teratasi. Beberapa yang menjadi sorotan seperti masalah kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Lewat masalah-masalah tersebut, menurut dia, memang perlu adanya penambahan kementerian. Di mana salah satu caranya merevisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
"Memang sih di kita terserah mau dia mau menambah, mau ngurang. Kalau saya mesti nambah, sudah pastikan dia nambah. Kenapa kita ubah-ubah ini, kalau saya udah pastikan dia nambah," ujar Ansory dalam rapat panitia kerja (panja) revisi UU Kementerian Negara, Rabu (15/5/2024).
Indonesia sendiri disebutnya mengadopsi sistem presidensial, di mana presiden yang mengatur pemerintahannya. Ia pun mendukung revisi UU Kementerian Negara langsung merumuskan jumlah kementerian yang diperlukan pemerintah.
"Jadi, kalau umpamanya dia ditambah kementeriannya itu, malah kalau perlu kita di sini, kita ubah ke-34 ke berapa," ujar Ansory.
Baleg DPR pun telah memulai pembahasan revisi UU Kementerian Negara. Pembahasan dimulai dengan mendengar kajian dari tenaga ahli Baleg terkait revisi yang diisukan untuk menambah nomenklatur kementerian dari 34 menjadi 40.
Latar belakang revisi UU Kementerian Negara diklaimnya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 79/PUU-IX/2011. MK dalam putusannya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 10 UU Kementerian Negara bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan MK tersebut juga menjelaskan, Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 tidak membatasi presiden dalam menetapkan jumlah menteri negara yang diangkat atau diberhentikan. Lalu, efektivitas penyelenggaraan pemerintahan negara hukum yang demokratis sesuai dengan UUD 1945.
"Maka kemudian diusulkan di dalam rancangan materi muatan RUU ini yang pertama penjelasan Pasal 10. Karena sebelumnya ada kata-kata wakil menteri adalah pejabat karier itu mengikuti putusan MK," ujar Tenaga Ahli Baleg dalam rapat pleno presentasi kajian revisi UU Kementerian Negara, Selasa (14/5/2024).