Sindrom Anak Emas, Tanda, dan Cara Mengatasinya
Tak semua orang tua menyadari adanya sindrom anak emas di keluarga.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Disadari atau tidak, orang tua terkadang memberikan perlakuan yang lebih istimewa untuk satu anak dibandingkan anak-anak mereka yang lain. Dalam tingkat yang ekstrem, perilaku favoritisme ini dikenal dengan istilah Golden Child Syndrome atau Sindrom Anak Emas.
Sindrom Anak Emas merupakan praktik favoritisme toxic yang dilakukan oleh orang tua terhadap "anak emas" mereka. Dalam kasus Sindrom Anak Emas, orang tua cenderung memberikan pujian, perhatian, hingga perlakuan yang lebih baik untuk anak emas mereka dibandingkan anak-anak mereka yang lain.
Bila dibiarkan, kondisi ini bisa membawa pengaruh buruk bagi si anak emas dan juga anak-anak yang lain. Hubungan antara orang tua dan anak-anak pun bisa ikut terdampak oleh Sindrom Anak Emas.
Sebagai contoh, terapis Becca Reed LCSW PMH-C menyatakan bahwa perlakuan istimewa dari orang tua bisa membuat anak emas berpikir bahwa cinta dan penerimaan merupakan hal yang bersyarat. Hal ini dapat membuat anak emas merasa harus memenuhi semua ekspektasi orang tua.
"Ini bisa berujung pada timbulnya kecemasan yang disebabkan oleh perfectionism, tekanan intens untuk berprestasi, hingga kebutuhan berlebih akan validasi," jelas Reed, seperti dilansir BestLife pada Rabu (16/5/2024).
Di usia dewasa, pola-pola ini bisa membawa pengaruh buruk untuk beberapa aspek kehidupan si anak emas. Beberapa dari aspek tersebut adalah kesehatan mental, hubungan dengan orang lain, serta identitas diri.
Meski bisa membawa pengaruh buruk, tak semua orang tua menyadari adanya praktik favoritisme yang toxic atau sindrom anak emas di dalam keluarga mereka. Berikut ini adalah 10 tanda adanya Sindrom Anak Emas di dalam keluarga yang perlu diperhatikan:
1. Pujian dan perlakuan istimewa
Dalam kasus Sindrom Anak Emas, orang tua cenderung memberikan lebih banyak pujian dan perlakuan istimewa untuk anak emas mereka. Orang tua cenderung memberikan pujian untuk berbagai pencapaian anak emas, sekecil apa pun pencapaian tersebut.
2. Jadi sempurna atau sebaliknya
Anak emas biasanya mendapatkan perlakuan istimewa dari orang tua karena dianggap sebagai anak yang sempurna. Hal ini akan membuat anak emas merasa bahwa dia merasa bertanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi orang tua. Tak jarang, anak emas merasa bahwa memenuhi ekspektasi orang tua merupakan bagian dari identitas dirinya.
Di sisi lain, tak jarang anak emas juga menerima tanggung jawab dan konsekuensi yang lebih sedikit dibandingkan saudara-saudaranya. Situasi ini bisa membuat anak emas merasa bisa melanggar aturan tanpa harus mengkhawatirkan konsekuensinya.
3. Anak yang lain jadi perbandingan negatif
Psikoterapis Rachel Goldberg MS LMFT menyatakan bahwa saudara dari anak emas sering kali menjadi bahan perbandingan yang negatif. Mereka biasanya kerap didorong oleh orang tua untuk mengikuti sikap atau pencapaian yang diraih oleh anak emas.
"Ketika beranjak dewasa, (anak emas) bisa bertengkar lebih sering dengan saudara-saudara mereka karena saudara-saudara mereka tak lagi bisa menerima peran sebagai anak yang lebih rendah dan mulai melawan," ujar Goldberg.
4. Orang tua proyeksikan harapan dan mimpi
Tak jarang, orang tua "menempel" pada anak emas karena mereka merasa mimpi dan harapan yang tak bisa mereka raih dapat diwujudkan oleh si anak emas. Anak emas juga cenderung dimotivasi dan disemangati untuk melakukan aktivitas yang disukai oleh orang tua. Tak hanya itu, kasus Sindrom Anak Emas juga kerap berkaitan dengan orang tua yang memiliki gangguan kepribadian narsistik.
5. Kecewa tak mendapatkan perlakuan istimewa
Anak emas bisa menyimpan kebencian terhadap orang-orang di luar keluarganya. Perasaan ini muncul karena orang-orang di luar keluarganya tidak memberikan pujian atau perlakuan istimewa seperti orang tua mereka.
"Anak emas bisa kesulitan untuk memahami alasan mereka tidak sering dipuji di luar lingkup (keluarga), seperti di sekolah, di grup pertemanan, atau di tempat kerja," ujar Goldberg.
6. Haus akan kesempurnaan
Anak emas cenderung haus akan kesempurnaan dan takut melakukan kesalahan karena itu bisa mengecewakan orang tua. Mereka biasanya menggantungkan penghargaan atas diri mereka sendiri berdasarkan pujian dan validasi orang tua. Ketika dewasa, situasi ini bisa membuat anak emas merasa mereka baru bisa diterima oleh orang lain bila menjadi sosok sempurna dan berpencapaian tinggi.
7. Menyembunyikan kegagalan
Anak emas kerap merasa bahwa mereka harus sempurna. Oleh karena itu, ketika mengalami kegagalan, mereka akan cenderung menutupinya. Mereka ingin menjaga status mereka sebagai anak yang sempurna agar orang tua tidak merasa kecewa dan mereka tidak merasa bersalah.
8. Kepercayaan diri rendah
Prioritas dan perlakuan istimewa yang diterima oleh anak emas dapat membuat mereka memiliki kepercayaan diri yang rapuh. Karena sering berpaku pada validasi dari orang lain, ego mereka dapat terluka sangat dalam bila menerima kritik atau tidak dilibatkan dalam grup pertemanan.
9. Tak mengenali diri sendiri
Karena selalu berusaha memuaskan dan menyenangkan orang lain, anak emas bisa kesulitan untuk mengenali diri mereka yang sebenarnya. Mereka bahkan mungkin tidak tahu hal-hal yang mereka sukai dan tidak sukai. Tak jarang, anak emas juga tidak tahu cita-cita yang ingin mereka wujudkan.
10. Rasa bersalah, kecemasan, serta stres berlebih
Seiring waktu, sikap favoritisme orang tua yang berlebih bisa mempengaruhi kesehatan mental anak emas. Anak emas bisa menjadi lebih stres, cemas, dan bahkan depresi karena semua tekanan untuk bisa mempertahankan status anak emas.
Menurut Reeds, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memulihkan diri dari Sindrom Anak Emas di dalam keluarga. Berikut ini adalah beberapa saran dari Reeds:
1. Libatkan tenaga kesehatan mental profesional untuk membangun persepsi diri yang lebih sehat.
2. Prioritaskan eksplorasi diri untuk membentuk diri dengan lebih autentik.
3. Bangun batasan yang sehat dalam hubungan.
4. Belajar menagtakan tidak tanpa merasa bersalah.
5. Dekatkan diri dengan lingkungan atau orang-orang yang memberikan penghargaan dengan tulus bukan karena pencapaian atau prestasi.
6. Latih diri untuk menerima kekurangan dan kesalahan, dan beri lebih banyak cinta untuk diri sendiri.