Ustaz Adi Hidayat, Kompleksitas Tipologi Salafi, dan Halal Haram Musik

Tensi antara Salafi dan non-Salafi akan terus terjadi di negeri ini.

Wordpress.com
Sampul depan buku Bersikap Adil kepada Wahabi.
Red: Erdy Nasrul

Oleh : Andri Rosadi, Ph.D.*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam seminar tentang sosiologi agama di Universitas Oslo tahun 2018, Mark Jurgenmayer, seorang sosiolog Amerika yang banyak meneliti tentang fundamentalisme agama menyatakan bahwa, sebenarnya agama bukanlah problem, tapi bisa menjadi problematik. Kapan agama bisa menjadi problematik? Tulisan berikut mencoba untuk mengulasnya dengan berkaca pada polemik pendapat Ustaz Adi Hidayat (UAH) tentang hukum musik dalam Islam.

Baca Juga


Dalam ceramahnya, UAH mengatakan bahwa hukum musik tidak berkaitan dengan faktor-faktor yang bersifat inheren. Dalam analogi yang sedehana, hukum musik sama dengan golok: jika digunakan untuk kebaikan, maka boleh; sebaliknya, jika digunakan untuk kejahatan, maka ia jadi terlarang. Dalam kacamata teori fungsionalisme, hukum tersebut lebih ditentukan oleh fungsi, manfaat dan mudharat. Dalam analogi yang berbeda, Ustaz Abdul Somad (UAS), dengan megutip pendapat hujjatul Islam Imam Ghazali, mengatakan bahwa hukum musik sama seperti kalam, pembicaraan. Jika pembicaraan itu baik, berarti boleh; sebaliknya, jika buruk, berarti terlarang.

Hukum musik, dalam konteks di atas bersifat relasional, tergantung pada fungsi dan manfaat, tidak melekat pada alat. Pada sisi lain, ada sekelompok kaum Muslim yang berpandangan berbeda: bahwa hukum musik melekat pada alatnya. Artinya: apapun jenis alat musiknya dianggap sebagai sesuatu yang terlarang. Pendapat terakhir ini direpresentasikan oleh kalangan Salafi. Polemik tentang pendapat UAH di atas yang terekspos di media sosial, yang dimotori oleh kelompok Salafi, pada tataran tertentu, merefleksikan potensi konflik di kalangan internal Muslim yang dipicu oleh perbedaan pendapat keagamaan. Harus dicatat bahwa konflik keagamaan sering kali lebih 'eksplosif' karena adanya dimensi keyakinan yang sakral, fiks dan (dianggap) tidak bisa dikompromikan. Dalam tataran ini, penting untuk memahami mode of believing kelompok Salafi agar tidak terjebak pada klaim absolut yang menegasikan paham dan eksistensi kelompok lain.   

Salafi: Definisi yang Ambigu

Dari sebaran informasi di medsos, dapat disimpulkan bahwa tokoh atau mereka yang mengecam UAH tergolong ke dalam kelompok Salafi. Pertanyaan lebih lanjut: Salafi faksi yang mana? Sulit untuk menemukan definisi tunggal Salafisme, yang mencakup seluruh aspek kelompok, karena adanya kompleksitas strategi, afiliasi politik, referensi kelompok, sentimen moral, agensi, dan perbedaaan tingkat interaksi mereka, dengan budaya lokal. Karena aktivisme politik mereka, Mneimneh (2011), misalnya, berpendapat bahwa Salafi secara keseluruhan dapat dianggap sebagai kelompok Islamis yang berupaya menempatkan Islam sebagai inti politik. Namun, lanjutnya, Salafisme secara ideologis lebih jelas dan dinamis dibandingkan kelompok Islam lainnya karena klaimnya atas kemurnian agama dan ketersediaan dana minyak yang disediakan oleh negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi.

Di sisi lain, Fradkin (2008) tidak membedakan antara Islamisme dan Salafisme, dan mengeklaim bahwa keduanya adalah sinonim. Definisi Salafisme di atas hanya didasarkan pada keterlibatan Salafi dalam politik, yang biasa disebut pendekatan keamanan-politik (Račius & Norvilaite 2014) tanpa memandang kesalehan pribadinya.

 

BERBEDA...Lihat halaman berikutnya>>>

 

Berbeda dengan Mneimneh (2011), Fradkin (2008) dan Wiktorowicz (2006), yang fokus utamanya pada pendekatan keamanan, Ostebo (2011b) yang mempelajari Salafisme Ethiopia berfokus pada peran lembaga lokal Ethiopia dalam menyebarkan Salafisme. Menurutnya, gerakan reformasi Salafi “bukanlah sesuatu yang dipaksakan dari luar melalui aktor-aktor lokal, namun lebih merupakan gerakan yang tumbuh dari dalam yang diperkenalkan, dipelihara, dan diadopsi oleh beragam aktor lokal” (Østebø 2011a), termasuk para pedagang, pengkhotbah dan pelajar yang kembali dari Arab Saudi. Menurut Ostebo (2011a), meskipun Arab Saudi masih memainkan peran penting dalam menyebarkan Salafisme di Bale, Ethiopia, Salafisme semacam itu telah teradaptasi dalam lokalitas Ethiopia.

Dari sudut pandang lain, dapat dikatakan bahwa Salafisme juga bergantung pada tokoh-tokoh utamanya, seperti al Jamiyah (pengikut Muhammad Aman al Jami, wafat 1994) dan al-Madkhaliyah (pengikut Rabi' al Madkhaly). Mneimneh menyebutnya sebagai “Salafisme loyalis.” Tipologi ini berbeda dengan Salafisme skolastik yang secara eksplisit apolitis dan menghindari isu-isu politik. Fokus kelompok Salafi ini adalah masalah teologi dan yurisprudensi Islam.

Tipologi-tipologi di atas menunjukkan bahwa Salafisme sebagai sebuah fenomena bersifat kompleks. Menurut Meijer (2009), kompleksitas inilah yang menjadikan Salafisme bersifat ambigu dan rawan fragmentasi. Meskipun Salafisme telah terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok, masih ada satu kesamaan yang ditemukan di dalamnya, yang menurut Haykel (2009), adalah semangat reformasi agama dan sosial yang bertujuan untuk memurnikan keyakinan dan praktik Islam. 

Meskipun Salafisme memiliki kesamaan dengan gerakan reformasi lainnya di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Salafisme berbeda dalam hal kesatuan gerakan, pendirian politik, keterlibatan perempuan di ruang publik dan tingkat adaptasi terhadap budaya lokal. Pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa Salafisme sebenarnya adalah kelompok reformasi yang memiliki banyak segi, terpecah oleh berbagai faktor sosial-keagamaan dan politik. 

Mode of Believing dan Relasi yang Problematik

Fenomena Salafi menarik untuk ditelusuri lebih lanjut karena adanya kecenderungan untuk mencerabut agama dari konteks. Agama, dalam kacamata para Salafis dipandang sebagai ‘model for’ bagi seluruh dimensi kehidupan. Sebagai model, agama sudah fiks, tidak berubah, berfungsi sebagai cetakan atau template bagi seluruh realita sosial. Jarak waktu yang begitu jauh dengan Nabi Muhammad bukanlah kendala dalam mempraktikkan agama, sebab para Salafi tidak mengenal apalagi dituntut untuk melakukan kontekstualisasi. Sebaliknya, yang mereka lakukan, dalam ungkapan Halbwach, adalah contemporizing the past. Dalam ungkapan lain, salah seorang ustaz Salafi menyebutnya sebagai “mengkunokan ajaran Islam”. 

Bayangan idealitas di masa lalu adalah mimpi yang selalu mendorong para Salafi untuk selalu memurnikan ajaran Islam. Kemurnian itu bisa diraih dengan cara menyesuaikan diri secara konsisten dengan “template” yang sudah fiks, tidak berubah. Template itu adalah manhaj Salafussaleh sesuai dengan pemahaman mereka. Beragama tak lebih dari proses recalling, atau anamnesis pengalaman para Salafussaleh.

Disinilah akar konflik Salafi dengan kelompok lain dalam Islam. Recalling dan contextualizing adalah dua proses yang berbeda. Recalling berorientasi ke masa lalu, sementara contextualizig ke masa depan. Recalling berbasis remembrance tentang idealitas yang tidak terikat ruang dan waktu, sementara contextualizing berbasis pada usaha untuk membangun relasi dengan lokalitas yang terbatas. 

Dalam kacamata ini, maka tensi antara Salafi dan non-Salafi akan terus terjadi di negeri ini. Disinilah letak problem tersebut, ditambah lagi oleh adanya kecenderungan dari masing-masing kelompok untuk melintasi batas jamaahnya.

 

*Dosen Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler