Pemerintah Rancang Peringatan Dini Banjir Bandang Berbasis Komunitas

BMKG telah menghitung kebutuhan EWS untuk jenis ini sebanyak 23 titik.

ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Tim SAR gabungan bersama relawan melakukan pencarian korban banjir bandang yang hanyut dari Nagari Pandai Sikek dengan menyisiri sungai di Lembah Anai, Tanah Datar, Sumatera Barat, Sabtu (18/5/2024). BPBD Sumbar mencatat, total jumlah korban meninggal dunia akibat bencana banjir bandang dan longsor di lima daerah di provinsi itu sebanyak 61 orang, termasuk 5 orang belum terindentifikasi, sementara 14 orang lagi masih dilakukan pencarian. ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/wpa.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah lembaga pemerintah berkolaborasi dalam perancangan sistem peringatan dini bencana galodo atau banjir bandang di Sumatera Barat (Sumbar). Berbagai evaluasi dilakukan dalam menyusun rancangan sistem peringatan dini yang efektif berdasarkan pada pengalaman bencana yang terjadi pada pertengahan Mei lalu itu.

Baca Juga


"Berbagai evaluasi dilakukan oleh kedua lembaga untuk menyusun rancangan sistem peringatan dini yang efektif pada potensi bencana banjir lahar hujan atau galodo berdasarkan pada pengalaman bencana yang lalu," jelas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (27/5/2024).

Dia menerangkan, kolaborasi perancangan sistem peringatan dini bencana galodo dilakukan bersama-sama antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

"Saat ini BMKG mengusulkan penguatan dan monitoring terkait peringatan dini bencana banjir dan longsor yang ada di sekitar Gunungapi Marapi," jelas diam

Kepala Stasiun Geofisika Padang Panjang Suaidi Ahadi dalam Rapat Koordinasi Penanganan Pengurangan Resiko Bencana Galodo yang digelar di Bukittinggi pada Sabtu (25/5/2024) lalu mengungkapkan, model EWS yang sedang dirancang oleh tim BMKG adalah sistem peringatan dini berbasis komunitas. 

Konsepnya adalah pemasangan alat monitoring sungai dengan menggunakan radar yang dapat memonitor tingkat ketinggian air sungai. Hal itu berdasarkan hasil pemantauan sungai di wilayah terdampak galodo yang memiliki jenis sungai intermitten.

"Jenis sungai ini memiliki aliran airnya tergantung pada musim, yaitu pada musim penghujan airnya melimpah dan pada musim kemarau airnya kering. Sungai intermitten ini memiliki fluktuasi yang sangat ekstrem antara musim," jelas Abdul.

Secara sederhana, cara kerja EWS ini adalah mengkonfirmasi peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG dari cuaca dan getaran tanah atau microtremor. Jika kemudian alarm EWS berbunyi, komunitas siaga bencana yang dimiliki oleh wali nagari disekitar Gunung Marapi dapat langsung berkoordinasi untuk melakukan evakuasi mandiri.

BMKG telah menghitung kebutuhan EWS untuk jenis ini sebanyak 23 titik untuk wilayah Kabupaten Agam, Tanah Datar, dan Padang Panjang yang mengelilingi luncuran sungai yang berhulu ke Gunungapi Marapi. Harapannya, jika ke-23 titik EWS sungai ini terpasang maka akan selamanya terbangun komunitas peringatan dini dan evakuasi dari nagari.

"Seiring dengan BMKG, saat ini tim BNPB tengah melaksanakan survei lokasi titik pemasangan EWS. Survei dilakukan dengan menggunakan teknologi drone maupun dengan pemantauan aerial dari helikopter," jelas dia.

Usulan BMKG ini nanti akan dibicarakan lebih detil dengan PVMBG dan usulan-usulan lain yang disampaikan oleh akademisi kepada BNPB sehingga perangkat EWS yang dibangun nantinya benar-benar bisa menjawab kebutuhan informasi di tingkat masyarakat.

Kelengahan dalam hadapi bencana....

 

 

Kelengahan Hadapi Bencana

Ahli Geologi dan Vulkanologi Sumatera Barat (Sumbar) Ade Edward mengatakan, peringatan akan dampak erupsi Gunung Marapi kepada pemerintah sudah dilakukan sejak awal erupsi terjadi. Menurut dia, sebelum terjadinya banjir bandang, warga telah meminta aparat pemerintahan untuk melakukan sosialisasi terkait langkah mitigasi apabila terjadi bencana, tapi tidak kunjung dilakukan.

“Sejak awal itu sudah diingatkan. Ketika 3 Desember itu terjadi erupsi Marapi,” tutur Ade kepada Republika lewat sambungan telepon, Rabu (15/5/2024).

Ade mengatakan, bentuk kelalaian pemerintah sejatinya sudah terlihat dengan jatuhnya 24 korban jiwa akibat erupsi Gunung Marapi. Di mana, ketika itu status gunung tersebut ada di level siaga, yang mana terlarang bagi wisatawan untuk memasuki kawasan tersebut dalam radius 3 km. Tapi, ternyata mereka diizinkan untuk berwisata ke puncak Gunung Marapi.

“Padahal itu adalah daerah terlarang itu dimasuki. Karena status itu masih siaga. Itu dilarang memasuki kawasan 3 km. Tetapi diizinkan oleh pemerintah daerah untuk wisata ke puncak Marapi. Itu bukti pertama kelalaian,” kata Ade.

Dari kejadian erupsi tersebut, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memperluas daerah yang dilarang untuk dimasuki menajdi radius 4,5 km dari puncak. Tak lama dari sana juga dibuat prediksi daerah mana saja yang berisiko terkena ancaman banjir lahar akibat erupsi.

“Akhirnya keluarlah peta itu. Versi terbaru. Desember minggu ketiga rasanya udah selesai. Dengan permodelan yang paling baiklah rasanya di Indonesia saat ini,” jelas dia.

Data tersebut kemudian diberikan dan disosialisasikan kepada para pegiat bencana Sumbar dan komunitas serupa untuk disosialisasikan lebih lanjut. Itu juga dilakukan untuk membantu pemerintah daerah dalam menyiapkan perencanaan mitigasi. Dari sana, pegiat bencana dan komunitas mengonversi data tersebut menjadi versi aplikasi yang dapat digunakan di ponsel pintar.

“Januari sudah selesai. Sudah kita rilis. Dan kita update terus. Sampai sekarang, di mana lokasi, korban, itu ada di Google Maps. Versi yang kita rilis itu 24 jam kita perbarui terus datanya. Namun, itu tidak ditindak lanjut,” ungkap Ade.

Upaya pencegahan dan kesiapsiagaan tak kunjung dilakukan, terjadilah banjir pertama sekitar April 2024. Ade mengaku, dia dan pegiat lainnya terus mengingatkan pemerintah akan pentingnya pencegahan dan kesiapsiagaan akan dampak lanjutan dari erupsi Gunung Marapi tersebut.

Setelah banjir bandang....

 

 

“Ironinya setelah banjir bandang pertama itu, BNPB itu mengadakan peringatan Hari Kesiapsiagaan Bencana di Padang. Dengan tema kesiapsiagaan gempa-tsunami. Kan ironis sekali. Yang siaganya itu Marapi. Kok latihan kesiapsiagaannya gempa-tsunami? Yang kebutuhan masyarakat kan harusnya mitigasi persepsiagaan Merapi. Dan itu tidak dilakukan sama sekali,” kata dia.

Menurut dia, sebelum terjadi banjir bandang akibat lahar dingin beberapa hari lalu pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah memberikan peringatan. Tapi, lagi-lagi tidak ada tindak lanjut akan peringatan tersebut. Padahal, pada masa itu pula, masyarakat desa di sekitar Marapi beserta relawan juga sudah meminta untuk diberikan pemahaman tentang upaya mitigasi bencana.

“Masyarakat desa itu sudah meminta untuk diberikan sosialisasi, pemahaman bagaimana upaya-upaya. Tidak direspon sama sekali. Jadi kalau menurut saya, Pak Muhajir itu bilang begitu (lengah), benar adanya,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengakui agak lengah dengan bencana lahar dingin dan banjir akibat Gunung Marapi di Sumatera Barat. Dia menyatakan akan mencari solusi permanen terkait bencana tersebut agar tak terjebak di dalam kebodohan.

“Yang itu yang kemarin mungkin agak lengah kita. Dan ini menjadi pelajaran yang sangat berharga walaupun sangat menyakitkan. Dan nanti saya akan segera datang ke sana untuk mencari solusi permanennya seperti apa. Karena kita tidak ingin terjadi berulang-ulang. Ciri kebodohan itu adalah kesalahan yang terjadi berulang-ulang,” ujar Muhadjir di Kemenko PMK, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Muhadjir mengatakan, bencana lahar dingin dan banjir yang terjadi di Sumatera Barat kali ini jauh lebih parah jika dibandingkan dengan yang terjadi sebelumnya. Kejadian kali ini pun memakan korban cukup banyak. Sebab itu, dia berharap pemerintah dapat mencari solusi yang permanen untuk mengantisipasi lahar dingin dari Gunung Marapi.

Menurut Muhadjir, beberapa waktu lalu sejatinya dirinya telah mengingatkan, Sumatera Barat adalah provinsi yang paling tinggi risiko bencana alamnya di antara provinsi lain di Indonesia. Sebab, pada 2023 lalu saja itu dari 5.400 kejadian bencana di Indonesia, 460 di antaranya terjadi di Sumatera Barat.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler