Muhammadiyah Salafi Alias Musa Layaknya Benalu, Mengapa Patut Diwaspadai? 

Muhammadiyah menghadapi fenomena salafi

ANTARA
Kader-kader Muhammadiyah (ilustrasi). Muhammadiyah menghadapi fenomena salafi
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keberadaan Muhammadiyah Salafi (Musa) di internal Muhammadiyah, menjadi perhatian serius Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Lantas mengapa entitas Musa ini diwaspadai keluarga besar Muhammadiyah?

Baca Juga


Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syafiq A Mughni mengingatkan, memang Muhammadiyah harus hati-hati supaya amanah yang diberikan kepada Muhammadiyah itu tetap terjaga. Maka Muhammadiyah juga harus berhati-hati terhadap setiap usaha dari pihak yang ingin mengambil alih aset dari Muhammadiyah. 

Ditanya, apakah yang dimaksud mengambil alih aset Muhammadiyah itu hanya masjid saja atau ada aset lain? Prof Syafiq menjawab, sebenarnya aset yang lain (selain masjid) juga harus waspada agar tidak diambil alih. Tapi yang paling sering terjadi itu adalah masjid. 

"Karena (masjid) pintu masuknya lebih mudah dibandingkan dengan amal usaha yang lain (milik Muhammadiyah). Misalnya sekolahan, rumah sakit, perguruan tinggi, panti asuhan, itu lebih susah untuk dimasuki," ujar Prof Syafiq. 

Prof Syafiq menjelaskan, kalau masjid, siapa saja boleh masuk, siapa saja boleh sholat di sana, siapa saja boleh berdoa di sana, siapa saja boleh membersihkan masjid, mau adzan, mau komat, mau ngimami. Itu yang maksudnya masjid lebih terbuka sehingga lebih rawan disusupi dan diambil alih.

Prof Syafiq ditanya lagi, apa dampak buruknya jika varian musa dibiarkan masuk Muhammadiyah tanpa diwaspadai. Menurutnya akan menimbulkan ketegangan di tengah masyarakat. Karena Muhammadiyah ini menganut wasthiyah. 

"Islam itu agama wasthiyah, sehingga tidak mudah mengkafirkan orang, tidak mudah membidahkan orang. Kita bersikap proporsional, tetapi kalau ada orang yang memanfaatkan masjid Muhammadiyah untuk mencaci maki orang lain, nah ini akan menimbulkan persoalan bagi Muhammadiyah," jelas Prof Syafiq.

Prof Syafiq mengatakan, pesan yang mereka (varian musa) sampaikan itu bertentangan dengan paham atau ideologi Muhammadiyah, tentu merugikan Muhammadiyah. Juga bagi orang lain mungkin punya kesan seolah-olah (pesan dari varian musa) itu identik dengan Muhammadiyah. Sehingga Muhammadiyah mendapatkan citra yang buruk. Akibat orang yang sebenarnya tidak mendapatkan persetujuan 

Lebih lanjut, Prof Mughni menjelaskan Muhammadiyah tidak mudah mengkafirkan dan membid'ahkan orang lain, seperti mereka yang suka mengkafirkan dan membid'ahkan orang lain.

Prof Syafiq mengatakan, sebenarnya Muhammadiyah merupakan organisasi yang luas, yang sikapnya lues dan pikirannya luas. Sehingga Muhammadiyah cenderung untuk menerima siapa saja yang ingin mengabdi kepada Muhammadiyah. 

"Tetapi jangan sampai keterbukaan (Muhammadiyah) itu kemudian dimanfaatkan untuk mengganggu Muhammadiyah, termasuk menyerobot aset yang sebenarnya milik Muhammadiyah," kata Prof Syafiq saat diwawancarai Republika di Aula Masjid At-Tanwir PP Muhammadiyah, Senin (27/5/2024).

Lantas apa perbedaan antara Muhammadiyah dan Salafi?  

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Agung Danarto membeberkan perbedaan Muhammadiyah dengan Salafi. Dilansir dari laman Muhammadiyah.or.id yang dipublikasikan setahun yang lalu.

Pertama...

Pertama, meski Muhammadiyah dan salafi sama-sama memiliki slogan kembali pada Alquran dan Al Sunah, namun metode pembacaannya berbeda.

Menurut Agung, Muhammadiyah memahami dengan menggunakan akal pikiran yang sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Salafi memahaminya secara literal. Pemahaman literal inilah yang membawa mereka pada pendapat tersulit dengan dalih kehati-hatian.

Kedua, dalam wacana kemodernan, Muhammadiyah menerima kemodernan dan melakukan modernisasi. Salafi menolak modernisasi, tapi menerima produk teknologi.

“Muhammadiyah menerima budaya barat yang sesuai dengan ajaran Islam dan menolak yang tidak sesuai. Salafi menolak budaya Barat,” kata Agung dalam Pengajian Ramadhan 1444 H pada Sabtu (25/3/2023).

Ketiga, pada persoalan budaya lokal, Muhammadiyah menerima budaya lokal dan melakukan islamisasi terhadap budaya lokal yang tidak sesuai. Sementara Salafi menolak budaya lokal dan mengacu pada budaya Arab yang tergambar dalam hadis.

Keempat, Muhammadiyah melakukan amar maruf secara individual dan kelembagaan. Secara individual dilakukan melalui pengajian, kultum dan tabligh. Secara kelembagaan dilakukan secara sistematis melalui amal usaha.

Nahi Munkar dilakukan secara sistemik. Salafi melakukan dengan tahdzir dan hajr al-mubtadi’. Tahdzir adalah memperingatkan. Hajr al-mubtadi’ adalah mengisolasi/ menyingkirkan pelaku bidah.

Kelima, Muhammadiyah mendirikan NKRI dan memperjuangkannya agar menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sementara dalam tubuh salafi terdapat perbedaan pandangan.

Salafi Yamani patuh pada pemerintah NKRI tapi pasif. Dakwah mereka terfokus pada pembinaan akidah dan akhlak. Sedangkan Salafi Haraki dan Jihadi ingin mengganti dengan pemerintahan atau negara Islam.

“Muhammadiyah memandang NKRI sudah cukup, tinggal mengisinya agar sesuai dengan ajaran Islam. Salafi Yamani apolitik (tidak peduli politik), tetapi mengidolakan kehidupan berbangsa seperti zaman Nabi. Salafi Haraki dan Jihadi memperjuangkan terbentuknya negara Islam,” jelas Agung.

 

Keenam, Muhammadiyah berpandangan bahwa akal adalah perangkat yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk bisa survive. Akal berfungsi untuk memahami alam dan teks keagamaan.

Teks keagamaan perlu dipahami dengan menggunakan akal karena Islam diturunkan untuk semua umat manusia dengan berbagai latar budaya dan peradaban yang berbeda.

Salafi mengabaikan peran akal dalam menafsirkan teks keagamaan. Bagi mereka, kebenaran itu tunggal dan hanya terletak dalam wahyu. Wahyu adalah sumber pertama manusia dan sumber terakhir yang tidak bisa diperselisihkan.

Konsekuensinya, Muhammadiyah berpandangan bahwa rasionalitas dan pengembangan ilmu sosial diperlukan untuk memahami teks dan untuk membangun peradaban manusia yang maslahah dan islami. Salafi berpandangan bahwa rasionalitas dan pengembangan ilmu sosial adalah bid’ah. Anti filsafat dan anti tasawuf.

Ketujuh, menurut Muhammadiyah, perempuan memiliki peran domestik dan publik. Perempuan boleh menjadi pejabat publik dan boleh bepergian tanpa mahram bila keadaan aman dan terjaga dari fitnah. Menurut salafi, peran perempuan adalah sektor domestik, sedangkan sektor publik adalah milik laki-laki. Perempuan bepergian harus bersama mahram.

“Menurut Muhammadiyah, perempuan sebagaimana laki-laki harus mendapatkan pendidikan setinggi tingginya di semua bidang ilmu. Menurut Salafi, perempuan perlu mendapatkan pendidikan yang baik terutama keagamaan dan yang menopang peran domestiknya,” kata Agung.

Kedelapan, bagi Muhammadiyah, pakaian yang penting menutup aurat. Boleh memakai pakaian tradisional, lokal ataupun Barat. Batik, sarung, peci, jas, celana panjang, kebaya, dan sejenisnya, biasa dipakai di Muhammadiyah.

Cara berpakaian salafi membiasakan empat identitas: jalabiya (pakaian panjang), isbal (celana cingkrang), lihya (jenggot), dan niqab (cadar).

Kesembilan, bermusik, bernyanyi, main drama, teater menurut Muhammadiyah bisa menjadi media dakwah. Bagi salafi, seni jenis itu adalah bid’ah dan haram. Nonton TV, mendengarkan radio dan hiburan adalah dilarang.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler