MUI Bolehkan Murur di Muzdalifah, PPIH Daker Makkah Bahas Skema Barunya

Dibolehkannya murur memberikan solusi alternatif hukum bagi jamaah haji Indonesia.

Republika/Muhyiddin
Kepala Daker Makkah, Khalilurrahman
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, Laporan Jurnalis Republika Muhyiddin dari Makkah, Arab Saudi

MAKKAH -- Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang sahnya ibadah jamaah haji Indonesia yang melakukan murur (melintas) di Muzdalifah, yaitu melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan.

Saat ini, Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi Daerah Kerja (Daker) Makkah masih melakukan pembahasan terkait skema baru pelaksanaan ibadah wukuf di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).

"Untuk skemanya saat ini masih kami bahas," ujar Kepala Daker Makkah Khalilurrahman saat diwawancara di Daker Makkah, Jumat (31/5/2024).

Pembahasan tentang murur ini sebagai hasil permohonan Dirjen Haji Kemenag seiring bertambahnya jamaah haji dan menyempitnya kawasan Muzdalifah. Kemenag ingin menjamin terlaksananya layanan ibadah bagi jamaah haji sesuai dengan ketentuan syariat.

Terkait masalah murur ini, Kemenag tidak hanya berkonsultasi kepada MUI, tapi juga kepada Lembaga Bahtsul Masail (LBM) pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

"Terkait dengan skema murur di Muzdalifah ini memang mendapat respons dari MUI dan terakhir dari Lembaga Bahtsul Masail PBNU. Jadi, kedua organisasi besar di Indonesia ini memberikan sebuah perhatian yang besar terhadap skema murur di Muzdalifah," ucap dia.

Baca Juga


Keputusan hukum tentang masalah murur...

Khalil menjelaskan, keputusan hukum tentang masalah murur diperlukan demi kemaslahatan jamaah haji Indonesia. Karena, luas Muzdalifah jika dibandingkan dengan jumlah kapasitas jamaah yang akan mabit di Muzdalifah sangat tidak ideal.

"Dan kalau dipaksakan untuk melaksanakan mabit di Muzdalifah, terlebih untuk jamaah haji Indonesia, yang berdasarkan data jumlah lansianya itu mencapai 40 ribu lebih sehingga kalau dipaksakan jamaah mabit di Muzdalifah, maka akan berdampak terhadap kemafsadatan atau kerusakan yang besar," kata Khalil.

Jika seluruh jamaah haji Indonesia dipaksakan mabit di Muzdalifah semua, kata dia, maka bisa mengakibatkan kematian dan menimbulkan bahaya kesehatan bagi jamaah haji Indonesia.

"Oleh karena itu, kami sangat mengapresiasi dengan adanya keputusan MUI terkait murur di Muzdalifah dan juga kepitusan dari lembaga Bahtsul Masail PBNU," jelas dia.

Dia menilai, keputusan dibolehkannya murur itu memberikan solusi alternatif hukum bagi jamaah haji Indonesia yang akan menjalani ibadah pada puncak haji di Armuzna.

Itu memberikan solusi alternatif hukum...

"Itu memberikan solusi alternatif hukum, bukan menjadi masalah yang kemudian menjadi penghambat bagi jamaah yang akan melaksanakan murur di Muzdalifah. Artinya, secara hukum itu sah dan boleh-boleh saja," ucap Khalil.

Lalu , bagaimana penentuan sebagian jamaah haji Indonesia yang akan murur? Terkait penentuan jamaah yang murur, menurut Khalil, para stakeholder masih menunggu keputusan dari pihak masyarik. "Tentu kita akan mempertimbangkan kemaslahatan yang terbaik, yang itu memperhatikan untuk kemaslahatan jamaah haji Indonesia," kata dia.

Sebelumnya, Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Sholeh menjelaskan hukum jamaah haji yang mabit di Muzdalifah dengan cara hanya melintas di Muzdalifah dan melanjutkan perjalanan menuju Mina tanpa berhenti (Murur).

"Jika murur (melintas) di Muzdalifah dilakukan selepas tengah malam dengan cara melewati dan berhenti sejenak tanpa turun dari kendaraan di kawasan Muzdalifah, maka mabitnya sah," kata Niam dalam keterangan tertulisnya, Kamis (30/4/2024).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler