Sebelum Ada Pesawat Terbang, Seperti Apa Perjalanan Haji?

Perjalanan haji via jalur darat menyebabkan timbulnya kota-kota transit jamaah.

dok wikipedia
Lukisan Masjidil Haram dari masa akhir abad ke-19.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum zaman modern, para peziarah memanfaatkan hanya jalur darat dan laut untuk mencapai Makkah. Barulah sesudah ditemukannya pesawat tebang, jalur udara menjadi opsi mereka.

Pada abad pertengahan, misalnya, kaum Muslimin yang hendak berhaji menempuh rute darat. Mereka biasa berkumpul di beberapa kota besar yang ada di negeri-negeri sekitar Jazirah Arab. Adapun alat transportasi utama bagi mereka ialah unta. Pilihan lainnya adalah keledai atau kuda.

KN Chaudhuri dalam tulisannya di The Cambridge Illustrated History of the Islamic World menjelaskan, pada abad pertengahan tempat transit utama karavan jamaah haji dari Afrika Utara ialah Kairo. Adapun mereka yang datang dari kawasan Balkan, Anatolia (Turki), dan Syam akan berhimpun di Damaskus. Rombongan dari arah Transoksania (Asia Tengah), Afghanistan, dan Persia berkumpul terlebih dahulu di Baghdad.

Sebagai ibu kota kekhalifahan, Baghdad memiliki infrastruktur yang relatif lebih bagus. Khalifah ketiga Abbasiyah, al-Mahdi mulai membangun jalan penghubung antara Irak dan Hijaz. Proyek itu diteruskan anak-anaknya dan akhirnya tuntas pada masa Harun al-Rasyid.

Jalan sepanjang 1.400 kilometer (km) itu membelah Gurun Nafud hingga Madinah dan Makkah. Sang sultan menamakannya Jalan Zubaidah, demi mengenang istrinya, Zubaidah binti Ja’far. Tiap 20 km atau sejarak satu hari perjalanan, terdapat pos pemberhentian. Karavan haji dapat memperoleh air minum, makanan, atau sekadar tempat bernaung di sana.

Sesudah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada 1258, Kairo dan Damaskus menjadi tempat persinggahan utama bagi jamaah haji yang melalui jalur darat. Yang pertama tetap menjadi basis transit mereka yang berarak dari Afrika Utara dan Afrika Barat. Adapun kota yang kedua mulai ketambahan karavan-karavan yang sebelumnya singgah di Baghdad.

Untuk sampai di Baitullah, gelombang jamaah dari Damaskus akan melalui beberapa kota di sepanjang perjalanan, seperti al-Karak, Ma’an, Tabuk, Hijr atau Mada’in Shalih, al-Ula, dan akhirnya Madinah dan Makkah. Sejak zaman Umayyah, tiap menjelang musim haji di Kota Ma’an (kini bagian dari Yordania) bermunculan pasar-pasar dadakan. Masyarakat setempat memanfaatkan kedatangan rombongan haji untuk menggerakkan ekonomi.

Arus jamaah dari Kairo biasanya singgah di sana selama empat hari. Kemudian, mereka bertolak ke arah Ajrud, lalu Suez. Sesudah itu, mereka akan melintasi Gurun Sinai hingga tiba di Aqaba. Sejak dari sana, mereka akan menyusuri pesisir Laut Merah, untuk sampai di Madinah dan akhirnya Makkah.

 

Bagaimana dengan jamaah haji dari Asia tenggara, termasuk Indonesia?

Muslimin dari pesisir Anak Benua India dan Asia Tenggara umumnya menggunakan jalur laut. Begitu pula dengan jamaah dari Afrika Timur. Mereka mengikuti rute yang biasa dilalui kapal-kapal niaga di Samudra Hindia hingga Laut Arab.

Baca Juga



Eric Tagliacozzo dalam The Longest Journey mengatakan, sejarah Asia Tenggara sebelum 1511, yakni tahun jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, cukup sukar diteliti lantaran amat sedikitnya sumber-sumber tertulis. Oleh karena itu, cukup sukar memastikan bagaimana awal mulanya rute haji via Samudra Hindia yang dilalui Muslimin asal Kepulauan Indonesia.

Sejauh ini, biografi karya seorang Hadramaut pada akhir abad ke-15 menjadi sumber tertua yang berhasil diteliti terkait orang Indonesia pertama yang naik haji. Sumber itu menyebutkan, ada seorang Muslim Jawi (Nusantara) di Hijaz antara tahun 1277 dan 1367 M. Meskipun teks tersebut tidak menegaskan apakah orang itu menunaikan haji atau tidak, menurut Tagliacozzo, amatlah muskil dipercaya bila ia tak melakukannya selama di Tanah Suci.

Barulah 100 tahun kemudian, berbagai catatan orang Nusantara naik haji mengemuka. Misalnya, Syekh Hamzah Fansuri yang berhaji pada awal abad ke-16. Ulama tarekat sekaligus penyair itu mengikuti pelayaran dari Aceh (atau Siam) ke Arab. Pencipta “Syair Perahu” itu bahkan sampai menyambangi Masjid al-Aqsha.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler