Gagal di Gaza, Jenderal Israel Ribut Sendiri

Para jenderal senior menyoal tak adanya strategi jitu di Gaza.

IDF
Tentara Israel merawat mereka yang terluka di Jalur Gaza.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Sejumlah perwira senior tentara penjajahan Israel (IDF) menyerang secara verbal Kepala Staf Herzi Halevy akibat sengkarut operasi militer di Jalur Gaza. Mereka berselisih akibat kerugian yang terus menerus diderita IDF dalam serangan ke Gaza.

Channel 12 Israel melaporkan bahwa pertengkaran verbal terjadi dalam pertemuan pada Senin antara jenderal senior militer Israel dan Halevy. Para jenderal menyalahkan Halevy atas kerugian yang diderita tentara Israel di Gaza, dan atas kegagalannya mencapai prestasi yang signifikan di Gaza.

Media tersebut mengutip para perwira senior yang mengatakan, "Kami terseok-seok dan tidak meraih kemenangan. Kami tidak diajak berkonsultasi ketika mengambil keputusan. Kami seperti berjalan di atas air dalam perang ini." 

Kepala Staf menjawab, "Tidak ada konsultasi di masa perang." “Saya sekarang fokus untuk mencapai tujuan perang, dan saya berharap semua orang merasakan hal ini.” 

Halevy baru-baru ini mengeluh bahwa kurangnya strategi politik pada periode pascaperang menyebabkan tentara berulang kali dipaksa berperang di wilayah Jalur Gaza yang mereka klaim sudah dikuasai. Dia mencontohkan wilayah Jabalia.

Pada Senin malam, Senin, IDF mengumumkan bahwa 14 tentara terluka dalam pertempuran di Jalur Gaza selama 24 jam terakhir. Mereka juga mengakui, ada 41 tentara yang terluka dalam pertempuran sejak Jumat lalu.

Sejak awal perang, 3.703 personel militer, termasuk perwira dan prajurit, terluka, termasuk 1.878 personel selama operasi darat, termasuk 254 perwira dan prajurit yang masih menjalani perawatan, 32 di antaranya mengalami luka berat.

Perang Israel di Gaza menyebabkan lebih dari 117.000 warga Palestina tewas dan terluka, kebanyakan dari mereka adalah anak-anak dan wanita, dan sekitar 10.000 orang hilang di tengah kehancuran besar-besaran dan kelaparan yang merenggut nyawa anak-anak dan orang tua.

Israel terus melanjutkan perang meskipun ada perintah dari Mahkamah Internasional untuk segera menghentikan serangan darat di kota Rafah di selatan Gaza. Israel juga melawan perintah Mahkamah Internasional untuk mengambil tindakan sementara untuk mencegah genosida dan memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza.

IDF disebut gagal mengenyahkan para pejuang Palestina dari wilayah utara Gaza. Jumlah pejuang di wilayah itu disebut lebih banyak dari Rafah, lokasi yang sedang diserang Israel dan disebut sebagai benteng terakhir pejuang Palestina.

Tentara Israel membawa rekannya yang terluka di Jalur Gaza. - (IDF)

Lebih dari 1 juta orang telah meninggalkan Rafah, kota paling selatan Gaza, setelah dipaksa Pasukan IDF. Ini adalah gelombang pengungsian terbesar sejak bulan-bulan awal serangan ke Gaza. IDF telah berulang kali mengatakan bahwa empat brigade Hamas berpangkalan di Rafah.

Fakta di lapangan, pasukan Israel justru mendapati perlawanan paling sengit di Jabalia, kota terpadat kedua di Gaza utara. Pertempuran di sana digambarkan oleh pejabat IDF sebagai yang paling sengit sepanjang serangan yang telah berlangsung selama tujuh bulan.

“Kita harus ingat bahwa ada lebih banyak pejuang bersenjata Hamas di utara Gaza, tempat di mana IDF telah mundur dibandingkan di Rafah. Inilah sebabnya IDF harus kembali ke Jabalia dan al-Zeitoun. Hamas mengendalikan semua wilayah itu,” kata Eyal Hulata, ketua Dewan Keamanan Nasional Israel dari 2021 hingga tahun lalu, kepada wartawan, dilansir the Guardian, kemarin.

Para pejabat Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah lama mengeklaim bahwa serangan yang sedang berlangsung di Rafah, meskipun mendapatkan tentangan kuat dari banyak sekutu, akan mencapai tujuan perang mereka untuk menghancurkan kemampuan Hamas. 

Pertempuran di Jabalia antara pejuang Palestina yang bersenjata ringan dan pasukan IDF yang kuat menggarisbawahi kemampuan Hamas untuk kembali ke wilayah Gaza yang telah diklaim Israel. Hal itu membuat Israel terancam menjalani perang tak berkesudahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun.

“Hamas memegang kendali penuh di Jabalia sampai kami tiba beberapa hari yang lalu,” kata IDF sebelum operasinya pada bulan Mei, empat bulan setelah juru bicaranya Daniel Hagari mengklaim bahwa militan beroperasi di wilayah tersebut hanya secara sporadis dan “tanpa komandan”. Pekan lalu, Israel mengatakan, serangannya di Jabalia telah selesai, tapi tidak jelas apakah para pejuang telah dikalahkan atau hanya berpindah ke tempat lain.

Kebangkitan Hamas dan kelompok pejuang Palestina lainnya tidak hanya terbatas pada pengiriman orang-orang bersenjata kembali ke daerah-daerah seperti Jabalia, tetapi juga melibatkan upaya bersama untuk mempertahankan otoritas kelompok tersebut atas semua aspek kehidupan sipil.

Kesulitan Israel di Gaza... baca halaman selanjutnya

Kesulitan yang dihadapi IDF dalam mencapai kemenangan yang menentukan mungkin membuat Hamas enggan menyetujui perjanjian perdamaian baru yang disampaikan oleh Presiden AS Joe Biden pada Jumat.

Sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan Yahya Sinwar, pemimpinnya di Gaza, percaya bahwa krisis kemanusiaan di wilayah tersebut dan meningkatnya kemarahan internasional terhadap Israel akan memperkuat Hamas dalam negosiasi.

Belakangan, jaksa di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) ingin menangkap Netanyahu dan Yoav Gallant, menteri pertahanan Israel, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jaksa ICC  juga menyatakan akan mengeluarkan surat penangkapan untuk Sinwar, wakilnya, Mohammed Deif, dan Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas yang tinggal di luar negeri, dengan tuduhan serupa.

Hamas mengecam tindakan tersebut, meski kecil kemungkinannya akan memengaruhi pengambilan keputusan secara signifikan.

“Sinwar dan Deif sangat yakin mereka akan mati dalam perang atau Israel akan membunuh mereka setelahnya dan mereka tidak memiliki rasa hormat terhadap hal seperti ICC. [Tuduhan] ICC merupakan ketidaknyamanan kecil bagi Haniyeh tetapi ada banyak tempat yang bisa dia datangi agar dia aman dari penangkapan atau apa pun,” kata salah satu sumber yang sering berbicara dengan pimpinan Hamas.

Lebih dari 36 ribu orang syahid di Gaza sejak awal serangan Israel, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, menurut otoritas kesehatan setempat. Angka-angka tersebut tidak membedakan antara kombatan dan warga sipil.

Ragam Faksi Militer di Palestina - (Republika)

Banyak analis memperingatkan bahwa Hamas dapat dengan mudah merekrut anggota baru untuk membangun kembali kekuatannya. Sementara untuk Israel, berperang melawan “tentara gerilya” dengan dukungan rakyat di antara populasi lebih dari 2 juta jiwa adalah hal yang mustahil.

“Penilaian saya adalah bahwa Hamas masih memiliki banyak senjata …. Anda dapat mengambil anak berusia 16 atau 17 tahun dan memberinya senapan atau granat berpeluncur roket dan akan ada pejuang baru,” kata Milshtein.

Mkhaimar Abusada, profesor ilmu politik di Universitas al-Azhar di Gaza, yakin tingginya korban sipil akan memacu perekrutan. “Ada keyakinan luas bahwa Israel tidak berperang dengan Hamas, tapi melawan rakyat Palestina,” katanya. “Hamas tidak akan mengeklaim kemenangan, tidak setelah semua kematian dan kehancuran ini, tapi tidak akan menyerah. Itu tidak ada dalam kosakata mereka.”

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler