Dua Organisasi Besar Nasrani 'Kompak' Soal Tambang untuk Ormas

PGI dan KWI tidak akan meminta konsesi tambang batu bara kepada negara.

Akbar Nugroho Gumay/AntaraFoto
(Ilustrasi) Foto aerial bekas tambang batu bara di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Rep: Fuji Eka Permana, Antara Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 membuka peluang organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola usaha pertambangan batu bara. Beleid itu sendiri merupakan perubahan atas PP Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Baca Juga


Dalam PP Nomor 25/2024, terdapat pasal baru, yakni Pasal 83 A PP yang menyebutkan, "Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan."

Kebijakan tersebut ditanggapi bukan hanya ormas-ormas keagamaan Islam, sebagai agama yang mayoritas dipeluk orang Indonesia. Lembaga-lembaga keagamaan Nasrani pun ikut merespons.

Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Gomar Gultom menyatakan, dirinya mengapresiasi kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut. Menurut dia, adanya PP Nomor 25/2024 menunjukkan komitmen Kepala Negara untuk melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat agar turut serta mengelola kekayaan negeri ini.

"Keterlibatan ormas keagamaan dalam tambang ini, jika dikelola dengan baik, juga hendaknya bisa menjadi terobosan dan contoh baik di masa depan dalam pengelolaan tambang yang ramah lingkungan," kata Pendeta Gomar Gultom lewat keterangan tertulis, Rabu (5/6/2024).

Namun, apresiasi ini tidak berarti bahwa PGI termasuk kelompok ormas yang siap menerima izin usaha pertambangan (IUP). Pendeta Gomar mengingatkan, organisasi umat Kristen Protestan tersebut memiliki keterbatasan dalam hal pengelolaan suatu tambang. Di samping itu, pertambangan bukanlah bagian dari pelayanan pihaknya.

"Ini benar-benar berada di luar mandat yang dimiliki oleh PGI," ucap dia.

Ketum PGI Pdt Gomar Gultom - (pgi.or.id)

Menurut Gomar, PGI selama ini aktif dalam mendampingi korban-korban kebijakan pembangunan, termasuk korban usaha tambang. Jadi, ada kemungkinan bila ikut menerima IUP, organisasi tersebut akan "berhadapan dengan dirinya sendiri." Dalam arti, sangat rentan kehilangan legitimasi moral.

"Saya tentu menghormati keputusan lembaga keagamaan yang akan memanfaatkan peluang yang ditawarkan oleh PP tersebut. Dalam kaitan inilah saya menyambut positif kebijakan ini, seraya mengingatkan perlunya kehati-hatian," ujar dia.

Senada dengan PGI, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) juga mengambil sikap hati-hati terhadap peluang yang diberikan PP Nomor 25/2024. Menurut Uskup Agung Jakarta Prof Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo, organisasi yang menghimpun uskup-uskup Katolik seluruh Tanah Air itu tidak akan mengajukan izin untuk usaha tambang batu bara.

"Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain ya, tetapi di KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu karena bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya," kata Prof Suharyo Hardjoatmodjo usai bersilaturahim di Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Jakarta, Jakarta Timur, Rabu (5/6/2024).

Ia menambahkan, ihwal pertambangan batu bara tidak termasuk dalam pelayanan yang disediakan KWI untuk umat Katolik dan bangsa Indonesia umumnya. "Pelayanannya kan jelas ya, KWI tidak masuk di dalam (usaha tambang) seperti itu," kata Prof Suharyo.

Prof Suharyo Hardjoatmodjo (foto tahun 2017) - (dok wiki)

Sejauh ini, di antara berbagai ormas keagamaan di Tanah Air hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang tegas menyuarakan kesiapan untuk menerima konsesi tambang batu bara. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf mengaku pihaknya siap memiliki IUP, sebagai sebuah hal yang dimungkinkan oleh PP Nomor 25/2024. Ia juga menyebut, beleid itu adalah sebuah "langkah berani" dari Presiden Jokowi.

“Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasional yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” kata tokoh yang akrab disapa Gus Yahya itu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (3/6/2024).

Menanggapi sikap PBNU, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan permohonan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) yang diajukan oleh ormas Islam tradisionalis tersebut berkaitan dengan kawasan tambang batu bara di Provinsi Kalimantan Timur.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM Yuliot Tanjung mengatakan, pihaknya akan menerbitkan IUPK ini dalam waktu 15 hari saja. Itu apabila PBNU memenuhi persyaratan, sebagaimana disebut dalam PP Nomor 25/2024.

"Setelah terpenuhi, 15 hari dapat diterbitkan IUPK-nya," ujar Yuliot Tanjung dihubungi di Jakarta, Selasa (4/6/2024).

Sementara, ormas keagamaan Islam lainnya yakni Muhammadiyah cenderung berhati-hati dalam merespons terbitnya PP Nomor 25/2024. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Abdul Mu'ti menilai, adanya beleid itu tidak lantas menjadi lampu hijau untuk sebuah ormas keagamaan meraih konsesi tanpa rambu-rambu yang mesti dipatuhi.

"Kemungkinan ormas keagamaan mengelola tambang tidak otomatis karena harus memenuhi persyaratan,” jelas Abdul Mu’ti dalam siaran pers yang diterima Republika pada Ahad (2/6/2024).

Menurut dia, Muhammadiyah tidak akan tergesa-gesa dan lebih suka mengukur kemampuan diri. Dengan demikian, pengelolaan tambang tidak akan menimbulkan problem di masa depan, baik bagi organisasi tersebut, masyarakat, bangsa, maupun negara. "Kalau ada penawaran resmi pemerintah kepada Muhammadiyah (terkait kemungkinan mengelola usaha pertambangan --Red), itu akan dibahas dengan saksama,” jelas dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler