Sulit Terima Masukan? Jangan-Jangan Punya Kepribadian Narsisistik, Kenali Cirinya
Penderita gangguan narsistik merasa dirinya paling penting dibandingkan orang lain.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis kesehatan jiwa Rumah Sakit Soeharto Heerdjan, Suharpudianto, memaparkan sejumlah ciri gangguan narsisistik. Gangguan narsistik adalah gangguan kepribadian di mana penderitanya merasa paling penting dibandingkan orang lain.
Dalam siaran Kementerian Kesehatan berjudul "Bukan Sekadar Narsis! Kenali Gangguan Kepribadian Narsistik (Narcissistic Personality Disorder)" di Jakarta, Kamis (6/6/2024), ia menyampaikan perasaan tersebut diproyeksikan penderitanya tak hanya pada fantasinya. Namun juga perilakunya, meski secara objektif belum tentu dia memang sespesial itu.
"Seseorang dengan gangguan narsistik, terus menerus membutuhkan, boleh saya mengistilahkan supply, begitu ya, untuk dikagumi, sanjungan, yang jikalau ini dibutuhkan terus menerus, belum tentu lingkungan sekitarnya bisa menyuplai," kata Suharpudianto.
Dia mengatakan ciri paling sederhana adalah sulitnya bagi penderita gangguan ini untuk menerima masukan meskipun masukannya positif dan konstruktif. Bahkan, merespons masukan tersebut secara berlebihan, misalnya dengan marah-marah.
Suharpudianto menyebutkan hubungan mereka dengan orang lain pun cenderung rapuh, dan kalaupun ada relasi yang baik, hubungan tersebut dibangun guna mengeksploitasi pihak lain. "Relasi yang ia bangun itu seolah-olah tampak bisa berempati, tapi sebetulnya dia bersifat eksploitatif. Jadi, dia bersikap empati, baik, dekat, namun dia ingin mendapatkan sesuatu dari orang tersebut. Ketika seseorang tersebut sudah memberikan yang ia inginkan, akhirnya ditinggalkan," katanya.
Menurut dia, gangguan kepribadian tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor, yaitu genetik, di mana anggota keluarganya ada yang mengalami gangguan kepribadian itu. Selain itu, katanya, adalah faktor perkembangan, di mana orang tuanya yang memiliki gangguan narsisistik menunjukkan perasaan-perasaan serta perilaku yang menekankan pada keagungan atau spesialnya diri, akhirnya tertanam pada diri anak hingga menjadi sesuatu yang melekat saat kepribadiannya sudah matang.
Ia menyebut faktor psikososial atau lingkungan. Ketika lingkungan itu merespons penderita secara tidak tepat, seperti dengan mengikuti perilaku atau fantasinya yang selalu ingin dipentingkan, gangguan itu akan semakin parah.
"Ketika ia harus pindah ke lingkungan yang lain misalnya, yang ternyata tidak mendukung, rawan sekali teman-teman dengan gangguan kepribadian seperti ini, akhirnya mengalami komplikasi," ujarnya. Dia menuturkan menurut pengalamannya berpraktik klinis, orang dengan gangguan narsisistik punya komplikasi gangguan kepribadian lain berupa depresi.