Terkait RUU Cuti Ibu Hamil, Apindo Jabar Minta Kejelasan Soal Indikator 'Kondisi Khusus'
RUU KIA dikhawatirkan memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk bekerja
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG---Rancangan Undang - Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) terkait aturan cuti bagi ibu hamil hingga enam bulan, saat ini menjad polemik di masyarakat. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar) menilai, perlu kejelasan aturan terkait aturan tersebut. Hal ini penting karena menyangkut produktivitas kerja dan hak pekerja.
“Pada dasarnya Apindo Jabar mendukung upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan ibu dan anak, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan. Hal ini sejalan dengan program Apindo Nasional dalam berpartisipasi menurunkan prevalensi stunting,” ujar Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik, Jumat (7/6/2024).
Namun terkait hal itu, kata dia, pengusaha memerlukan kejelasan mengenai indikator “kondisi khusus” yang tertera pada Undang-Undang tersebut agar tidak multitafsir dalam penerapannya. Termasuk di dalamnya pengaturan tentang dokter spesialis yang menjadi rujukan bagi Ibu hamil atau melahirkan.
“UU KIA FHKP berpotensi menambah beban baru bagi dunia usaha, khususnya yang masih dalam skala kecil, di mana perusahaan diwajibkan untuk membayarkan gaji pekerja yang cuti hamil secara penuh di empat bulan pertama kemudian 75 persen gaji untuk bulan kelima dan keenam,” paparnya.
Selain itu, kata dia, perusahaan mungkin perlu merekrut dan melatih pekerja baru untuk menggantikan pekerja yang sedang cuti, yang dapat menimbulkan biaya tambahan. Apindo Jabar berpandangan bahwa UU KIA FHKP dapat berdampak pada produktivitas tenaga kerja, baik nasional maupun di Jabar.
Saat ini, kata dia, Indonesia masih menghadapi masalah rendahnya tingkat produktivitas di mana berdasarkan Human Capital Index tahun 2022, Indonesia berada di peringkat 96 dari 174 negara. Sedangkan secara nasional, berdasarkan data BPS tingkat produktivitas Jabar pada 2022 sangat rendah, yakni peringkat ke-22 dari seluruh provinsi di Indonesia.
Selain itu, tingkat partisipasi angkatan Kerja (TPAK) Jabar juga masih rendah, di mana pada 2023 TPAK Perempuan 47,98 persen yang jauh lebih kecil daripada laki-laki yang mencapai angka 84,63 persen. “Disahkannya Undang-Undang ini dikhawatirkan memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dikarenakan dapat menurunkan tingkat produktivitas pada perusahaan,” katanya.
Apindo Jabar berpandangan bahwa dibutuhkan dialog sosial yang efektif antara pekerja dan pengusaha. Sehingga, tetap tercipta perlindungan pekerja perempuan dan juga keberlangsungan dunia usaha. Serta, kebijakan mengenai cuti hamil atau melahirkan yang sudah disepakati di dalam Peraturan Perusahaan (PP) Peraturan Kerja Bersama (PKB) di perusahaan masing-masing agar tetap menjadi acuan bersama sepanjang belum diubah.
Perlu diketahui, RUU KIA FHPK, telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa, 4 Juni 2024. Undang undang tersebut mengatur ketentuan cuti bagi Ibu hamil dan suami yang mendampingi istri selama masa persalinan sebagai berikut.
Di aturan tersebut, setiap Ibu berhak mendapat cuti selama 3 bulan pertama dan ditambah 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Kemudian, kewajiban suami untuk mendampingi istri selama masa persalinan dengan pemberian hak cuti selama 2 hari dan dapat diberikan tambahan 3 hari berikutnya atau sesuai kesepakatan pemberi kerja.