Kisah Dakwah Ulama di 'Kampung Maling'
Inilah kisah KH Raden Syamsul Arifin berdakwah di tengah masyarakat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Raden Syamsul Arifin merupakan seorang ulama besar dalam sejarah Indonesia. Khususnya bagi warga Nahdliyin, ia dikenang sebagai pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo, Jawa Timur. Kelak, putranya yang bernama Raden As'ad menjadi salah satu wasilah pendirian jam'iyyah Nahdlatul Ulama (NU).
Lahir dengan nama Ibrahim pada tahun 1841 M, secara nasab KH R Syamsul Arifin masih keturunan Wali Songo. Seperti dijelaskan dalam buku KHR As’ad Syamsul Arifin: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Ibrahim alias Raden Syamsul Arifin tumbuh besar dalam lingkungan santri, khususnya di Pesantren Kembang Kuning di Desa Lancar, Pamekasan, Madura.
BACA JUGA: Bahar Smith Murka ke Rhoma Irama Soal Ajaran Habib Nyeleneh
Saat berusia 12 tahun, Syamsul Arifin belajar di Ponpes Sidogiri, Jawa Timur. Di sana, kecerdasannya tampak menonjol. Bahkan, dalam beberapa bulan ia sudah diizinkan untuk menjadi asisten ustaz.
Dari Sidogiri, Syamsul Arifin meneruskan pendidikan ke Ponpes Langitan, Tuban. Setelah itu, ia kembali ke Madura untuk menuntut ilmu pada Kiai Kholil di Bangkalan. Seiring waktu, ia kian dekat dengan ulama karismatik berjulukan "syaikona" itu.
Berdakwah di sarang maksiat
Setelah menjadi santri Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Syamsul Arifin pulang ke kampung halaman. Ia telah meneguhkan tekad untuk menekuni jalan dakwah Islam.
Baca di halaman selanjutnya...
Sampailah ia di sebuah daerah di Madura. Kiai Syamsul Arifin mendapati kondisi masyarakat setempat yang curiga terhadap pesantren.
Bahkan, penduduk lokal lebih akrab pada perbuatan-perbuatan maksiat, alih-alih dakwah agama Islam. Mereka amat permisif pada berbagai penyakit sosial, seperti perjudian, sabung ayam, dan mabuk-mabukan. Konon, itulah yang menyebabkan desa ini masyhur dijuluki sebagai "kampung maling."
Sebagai seorang dai, Kiai Syamsul Arifin merasa terbebani dosa jika ia ikut membiarkan maksiat merajalela. Akhirnya, alumnus Pesantren Bangkalan ini pun terjun langsung ke tengah masyarakat desa itu untuk berdakwah.
Ia memahami betul cara dakwah yang mesti ditempuh untuk menghadapi orang-orang yang permisif pada kemaksiatan. Pada suatu ketika, Kiai Syamsul Arifin mendengar kabar adanya remongan di desa ini. Acara itu adalah semacam pesta pora, yang sering dihadiri macam-macam pelaku kriminal, semisal penjudi atau garong.
Dengan celurit dan sangkur di pinggang, Kiai Syamsul Arifin pun berjalan menyusuri keramaian di remongan tersebut. Para pengunjung pesta ini terkejut. Sebab, dai tersebut tampil bagaikan seorang jagoan.
Baca di halaman selanjutnya...
Sejak kejadian di remongan itu, orang-orang kampung tak lagi menyepelekan Kiai Syamsul Arifin. Kesombongan mereka mereda.
Terlebih lagi, kehebatan Kiai Syamsul Arifin tak hanya berhenti di penampilan. Beberapa kali terjadi bentrokan, dai tersebut berhasil melumpuhkan kekuatan para perusuh yang mengganggunya.
Dari sinilah, Kiai Syamsul Arifin akhirnya menjadi sosok yang paling ditakuti para penjahat setempat. Berbekal rasa segan mereka itu, sang mubaligh dapat lebih mudah menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat "kampung maling" ini.
Dakwah di tengah komunitas penjahat itu terus menerus dilakukannya. Tidak kenal lelah. Akhirnya, serangsur-angsur masyarakat setempat menjadi tersadarkan. Bukan lagi "kampung maling", kini daerah tersebut masyhur menjadi desa santri.
Demikianlah peran Kiai Raden Syamsul Arifin saat masih muda. Kelak, ia mendirikan Ponpes Salafiyah Syafiiyah Sukorejo pada 1908, atas saran Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, pun dibantu putranya, As’ad.