Mengapa Armenia Berani Menantang Israel dengan Mengakui Palestina?
Aksi Armenia mengakui Palestina dilihat juga sebagai aksi balas dendam kepada Israel
Oleh Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN – Republik Armenia secara resmi mengumumkan pengakuan atas kedaulatan Negara Palestina pada Jumat. Secara langsung, mereka menentang ancaman Israel yang langsung memanggil dubes Armenia usai langkah tersebut. Apa dibalik tindakan Armenia tersebut?
Pengakuan Armenia menambah jumlah negara yang mengakui negara Palestina menjadi 149 dari 193 negara anggota Majelis Umum PBB. Dalam pernyataan yang dilansir pada Jumat, Kementerian Luar Negeri Armenia menyoroti situasi kemanusiaan yang sangat buruk di Gaza dan perang yang sedang berlangsung sebagai isu kritis dalam agenda politik internasional yang memerlukan penyelesaian.
Kementerian menekankan upaya Armenia untuk mencapai resolusi damai dan komprehensif terhadap masalah Palestina berdasarkan solusi dua negara sebagai satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian dan keamanan. “Berdasarkan hal-hal di atas dan menegaskan kembali komitmennya terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip kesetaraan, kedaulatan, dan hidup berdampingan secara damai antar negara, Republik Armenia mengakui Negara Palestina,” kata pernyataan itu.
Israel tak menunggu lama untuk menunjukkan kemarahan mereka. Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan telah memanggil duta besar Armenia untuk “teguran keras” menyusul pengumuman negara tersebut bahwa mereka akan mengakui negara Palestina.
Pengakuan itu juga salah satu ironi di dunia. Armenia yang tercatat sebagai kerajaan pertama yang mengadopsi Kristen sebagai agama resmi pada 301 Masehi kini melawan Israel. Sementara pemerintah Azerbaijan, tetangganya yang mayoritas Muslim justru mendukung Israel.
Meski mayoritas Muslim, pemerintah Azerbaijan yang berakar pada tinggalan Uni Soviet belakangan dituding membatasi kebebasan Muslim di sana. Pada Februari, sejumlah Muslim ditangkap di seantero negeri. Menurut kelompok pembela hak asasi manusia, lebih dari 500 Muslim telah ditangkap hanya dalam satu setengah tahun terakhir.
Pada Januari 2024, Amerika Serikat memasukkan Azerbaijan sebagai negara yang masuk dalam Daftar Pengawasan Khusus “karena terlibat atau menoleransi pelanggaran berat terhadap kebebasan beragama.” Keputusan tersebut didasarkan pada rekomendasi laporan tahunan Komisi Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) Amerika Serikat pada 2023.
Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth melihat bahwa aksi Armenia mengakui Palestina adalah sinyal balas dendam. Hal itu terkait dengan memanasnya hubungan Yerevan dan Tel Aviv Belakangan.
Yang pertama, Armenia dan Azerbaijan sejauh ini terlibat dalam konflik militer mengenai wilayah sengketa Nagorno-Karabakh. Sementara Israel menjual senjata ke Azerbaijan, yang melancarkan serangan kilat di Nagorno-Karabakh pada September 2023 lalu, yang memicu eksodus massal etnis Armenia dari wilayah tersebut. Pemerintah Armenia menyebut aksi itu sebagai bentuk pembersihan etnis.
Surat kabar Israel Haaretz pada 11 April 2024 menerbitkan sebuah artikel yang mengungkap tentang hubungan tingkat tinggi yang luas antara Azerbaijan dan Israel. Artikel tersebut ditulis oleh reporter investigasi Gur Megiddo.
Investigasi itu membongkar soal Avigdor Lieberman, pejabat tinggi pemerintah Israel yang telah melakukan beberapa kali perjalanan ke Baku. Kunjungannya lebih banyak dibandingkan politisi Israel lainnya, dan selalu bertemu dengan Presiden Ilham Aliyev dan para pemimpin tinggi Azeri lainnya.
Lieberman menjabat dua kali sebagai wakil perdana menteri Israel dan berturut-turut menjadi menteri di enam kementerian berbeda. Lieberman bukan satu-satunya pejabat Israel yang melakukan perjalanan ke Azerbaijan. Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz dan Yoav Gallant juga pernah mengunjungi Baku, selain Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada tahun 2016 dan Presiden Isaac Herzog pada tahun 2023.
Megiddo menyatakan bahwa “hubungan Israel-Azerbaijan bergantung pada koalisi kotor minyak, senjata, dan intelijen. Israel membeli minyak dari Azerbaijan (sekitar setengah dari minyak mentah Israel berasal dari Azerbaijan), dan menjual peralatan militer canggih kepada Azerbaijan. Sebagai imbalannya, Azerbaijan dilaporkan memberikan Israel akses ke perbatasan darat dan lautnya guna mengadang musuh nomor satu Israel: Iran.”
Azerbaijan menang dalam perang Artsakh, sebutan di Armenia untuk wilayah Nagorno-Karabakh pada 2020 dan 2023, “sebagian besar berkat persenjataan menentukan yang dipasok oleh Israel.” Termasuk diantaranya drone Hermes dan Harop Israel serta senjata canggih lainnya yang dibeli seharga miliaran dolar AS. “Azerbaijan membeli beberapa drone ini ketika Lieberman menjabat Menteri Pertahanan,” kata artikel tersebut.
Armenian Weekly melansir, selama kunjungan Lieberman ke Baku pada 2012, ia ditanya tentang artikel majalah Foreign Policy yang mengutip seorang pejabat senior pemerintah AS yang mengatakan, “Israel telah membeli sebuah lapangan terbang, dan lapangan terbang tersebut bernama Azerbaijan”.
Nama-nama beberapa bekas pangkalan angkatan udara Soviet, menurut sumber-sumber majalah tersebut, sedang atau akan digunakan Israel untuk mengantisipasi kemungkinan serangan udara terhadap Iran. Lieberman menyebut cerita tersebut sebagai “fiksi ilmiah” yang “tidak ada hubungannya dengan kenyataan”. Namun, the Times of London melaporkan bahwa agen spionase Israel, Mossad, memiliki basis di Azerbaijan.
Beberapa perusahaan Israel seperti Pegasus dan Candiru menjual spyware ke Azerbaijan untuk meretas telepon lawan rezim. Saat ini, 18 jurnalis Azerbaijan dipenjara atas hasil penggunaan perangkat lunak tersebut.
Persekusi Kristiani di Israel... baca halaman selanjutnya
Selain persoalan dengan Azerbaijan ini, antagonisme Armenia dengan Israel juga terkait dengan ancaman yang dihadapi diaspora Armenia di Yerusalem.
Tahun lalu, merujuk the Guardian, sebidang tanah di Yerusalem yang dikenal sebagai Taman Sapi, telah disewakan Israel selama 98 tahun kepada pengembang Xana Capital Ltd, untuk pembangunan sebuah hotel mewah. Xana mengatakan kesepakatan itu mencakup ruang makan seminari Armenia, taman pribadi dan tempat parkir Bapa Bangsa, bangunan kepala gereja Armenia, dan rumah lima keluarga Armenia.
Warga Armenia mengatakan kesepakatan itu ilegal dan akan menghancurkan diaspora Kristen tertua di Yerusalem, menghancurkan hati spiritualnya, dan memecah belah komunitas kecil, yang saat ini berjumlah sekitar 2.000 orang.
Sementara sejak Benjamin Netanyahu naik tampuk dan gerakan sayap kanan Israel mendapat angin, umat Kristiani di Yerusalem turut jadi korban. Sejak awal tahun 2023, tercatat banyak kasus vandalisme di Kota Tua Yerusalem. Pada hari pertama tahun itu, misalnya, sekitar 30 kuburan di Pemakaman Protestan Gunung Zion dirobohkan dan dirusak serta belum diperbaiki. Daftar insiden anti-Kristen, yang disusun oleh Tami Lavie Nissim di Jerusalem Intercultural Center, mencakup 20 kejahatan rasial terhadap umat Kristen sejak awal tahun, mulai dari grafiti bertuliskan hinaan pada umat Kristiani, perusakan gereja, hingga pelecehan terhadap ritual ibadah Kristen.
Belum lagi, merujuk Jewish Telegraphic Agency, ada sekitar seribu Yahudi yang melarikan diri dari perang Rusia-Ukraina kini membanjiri Yerevan. Kehadiran mereka memicu keresahan di ibu kota tersebut. Tiga hari sebelum 7 Oktober, untuk pertama kalinya sinagog di sana jadi target serangan.
Kombinasi berbagai sirkumstansi tersebut agaknya punya meningkatkan ketegangan Armenia dan Israel belakangan.
Tanggapan Palestina... baca halaman selanjutnya
Otoritas Palestina, yang menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat di bawah pendudukan militer Israel, menyambut baik keputusan Armenia.
“Pengakuan ini memberikan kontribusi positif dalam melestarikan solusi dua negara, yang menghadapi tantangan sistematis, dan mendorong keamanan, perdamaian, dan stabilitas bagi semua pihak yang terlibat,” kata kepresidenan Palestina dalam sebuah pernyataan.
Hussein al-Sheikh, pejabat senior Otoritas Palestina, menyambut baik langkah tersebut. “Ini adalah kemenangan atas hak, keadilan, legitimasi, dan perjuangan rakyat Palestina untuk pembebasan dan kemerdekaan,” ujarnya di media sosial. “Terima kasih, teman kami Armenia,” katanya.
Berbicara di Madrid, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan pengakuan negara Palestina merupakan pesan penting untuk menolak standar ganda.
Menyusul serangan brutal Israel ke Gaza, sejumlah negara mengakui Palestina tahun ini. Diantaranya Spanyol, Irlandia, dan Norwegia adalah Bahama, Trinidad dan Tobago, Jamaika, dan Barbados. Hal itu mendorong Israel menarik duta besarnya dari Madrid, Dublin dan Oslo bulan lalu.
Sebelum gelombang pengakuan negara Palestina itu, 143 dari 193 anggota Majelis Umum PBB memberikan suara mendukung Palestina untuk bergabung dengan PBB. Sebagian besar negara-negara Timur Tengah, Afrika dan Asia mengakui negara Palestina. Namun, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan banyak negara Eropa Barat tak punya kebijakan serupa.
Pada 2011, meskipun Palestina gagal bergabung dengan PBB setelah berkampanye untuk mendapatkan keanggotaan penuh, UNESCO memberikan Palestina keanggotaan penuh di badan kebudayaan PBB, sehingga Amerika Serikat membatalkan pendanaan badan tersebut.
Pada 2012, Majelis Umum menyetujui perubahan status Palestina menjadi “negara pengamat non-anggota”, dan pada tahun 2015, Pengadilan Kriminal Internasional mengakui Palestina sebagai negara pihak. Pada tahun 2014, Swedia menjadi negara pertama di Eropa Barat yang mengakui Palestina. Berdasarkan Perjanjian Oslo, pada tanggal 4 Mei 1999, Palestina diharapkan merdeka. Namun, milenium baru menandai dimulainya Intifada kedua.
Mengapa pengakuan Palestina penting? Baca halaman selanjutnya
Rencana pembagian PBB pada tahun 1947 menyerukan pembentukan negara Yahudi berdampingan dengan negara Palestina, namun masyarakat Palestina dan negara-negara Arab menolaknya karena hal tersebut hanya akan memberi mereka kurang dari separuh tanah meskipun penduduk Palestina merupakan dua pertiga populasi dari total luas wilayah yang ada.
Perang Arab-Israel pada tahun berikutnya membuat Israel memiliki lebih banyak wilayah, Yordania menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan Mesir menguasai Gaza. Pada perang tahun 1967, Israel merebut ketiga wilayah tersebut, dan perundingan perdamaian yang berulang-ulang selama beberapa dekade telah gagal.
Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Barat lainnya mendukung gagasan negara Palestina merdeka yang berdiri berdampingan dengan Israel sebagai solusi terhadap konflik paling sulit di Timur Tengah, namun mereka bersikeras bahwa negara Palestina harus menjadi bagian dari penyelesaian yang dinegosiasikan. Tidak ada negosiasi substantif sejak 2009.
Simbolisme pengakuan internasional akan membantu meningkatkan kedudukan internasional Palestina dan memberikan tekanan lebih besar pada Israel untuk membuka negosiasi guna mengakhiri perang. Selain itu, langkah ini menambah pentingnya isu Timur Tengah menjelang pemilu Parlemen Eropa pada 6-9 Juni.
Tekanan diplomatik terhadap Israel semakin meningkat ketika pertempuran dengan Hamas memasuki bulan kedelapan. Majelis Umum PBB memberikan suara dengan selisih yang signifikan pada tanggal 11 Mei untuk memberikan “hak dan keistimewaan” baru kepada Palestina sebagai tanda meningkatnya dukungan internasional terhadap pemungutan suara mengenai keanggotaan penuh dalam pemungutan suara. Otoritas Palestina saat ini berstatus pengamat.
Para pemimpin Spanyol, Irlandia, Slovenia dan Malta sebelumnya telah mengakui negara Palestina sebagai “kontribusi positif” dalam mengakhiri perang. “Ini adalah keputusan bersejarah yang memiliki satu tujuan, yaitu membantu Israel dan Palestina mencapai perdamaian,” kata Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez sebelum kabinetnya mengesahkan keputusan tersebut. Bendera Palestina dikibarkan di Dublin di luar Leinster House, tempat kedudukan parlemen Irlandia.
“Ada tindakan praktis yang dapat Anda ambil sebagai sebuah negara untuk membantu menjaga harapan dan tujuan solusi dua negara tetap hidup pada saat negara lain mencoba untuk melupakannya,” Perdana Menteri Irlandia Simon Harris.
Menteri Luar Negeri Norwegia Espen Barth Eide mengatakan bahwa “selama lebih dari 30 tahun, Norwegia telah menjadi salah satu pendukung terkuat negara Palestina. Hari ini, ketika Norwegia secara resmi mengakui Palestina sebagai sebuah negara, merupakan sebuah tonggak sejarah dalam hubungan antara Norwegia dan Palestina.”