Impor Barang Israel ke Indonesia Melonjak, Pengamat Menduga yang Mengatur Singapura
Dalam konteks perdagangan Singapura penghubung antara Indonesia dengan Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan ada lonjakan tajam impor dari Israel ke Indonesia hingga mencapai 340 persen pada periode Januari-April 2024. Hal itu terjadi meski saat ini Indonesia bersuara cukup lantang mengecam serangan brutal negara Zionis terhadap Palestina.
Sehingga data itu disinyalir menunjukkan seolah-olah kegiatan perdagangan Indonesia dengan Israel seperti diam-diam, padahal Indonesia tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel. Menanggapi hal itu, pengamat menduga, di balik kegiatan perdagangan itu ada ‘tangan’ Singapura.
BACA JUGA: Baca Surah Al-Waqiah Membuka Pintu Rezeki Padahal Artinya Hari Kiamat, Kok Bisa?
“Saya pikir yang mengatur itu Singapura. Singapura yang bermain sebagai pihak jasa ketiga,” kata Pengamat dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah saat dihubungi Republika, Senin (1/7/2024).
Menurut penjelasan Trubus, dalam konteks perdagangan, Singapura merupakan penghubung antara Indonesia dengan Israel. Hal itu menilik dari era Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dulunya menginginkan untuk membangun diplomasi dengan Israel, yang akhirnya dijembatani Singapura.
“Era Pak Gus Dur waktu ramai-ramai Gus Dur mau buka kedutaan, akhirnya menyerahkan kepada Singapura, karena kan kedutaan Israel ada di Singapura, dan Singapura yang terdekat dengan kita,” tuturnya.
Trubus berpendapat, walhasil Singapura diuntungkan dari adanya kegiatan perdagangan antara Indonesia dan Israel, yang rupanya melonjak begitu tinggi. Hal itu menurutnya jutsru bentuk lemahnya atau tidak konsistensinya pemerintah Indonesia dalam konteks perdagangan dengan Israel.
“Ini mengindikasikan Indonesia lemah dalam hal ini, ya kita bargaining soal Palestina lemah pada akhirnya begitu. Jangan-jangan produk-produk dari sana (Israel) banjir, kalau naik sampai 340 persen ya luar biasa berarti tinggi sekali permintaannya,” ujar dia.
Melihat kondisi itu, justru Trubus menilai agar pemerintah Indonesia bisa lebih tegas mengenai hubungan dagang dengan Israel. Jika memang memiliki keuntungan satu sama lain, lebih baik melakukan kegiatan secara government to government (G2G). Namun, jika memang secara political will-nya menutup diri berhubungan dengan Israel, lebih baik disetop saja.
“Yang jelas kita harus tegas. Kalau memang tolak, ya tolak. Kalau hubungannya kurang baik sebaiknya nggak memperjualbelikanlah karena ini menimbulkan sentimen publik, terkait ulah Israel belakangan yang sangat brutal karena banyak orang Indonesia di RS Indonesia di Palestina yang jadi korban sebab RS-nya dibom. Maksud saya, harusnya pemerintah mengevaluasi terkait produk-produk yang dari Israel yang beredar di sini, kalau bisa ya disetop,” jelasnya.
Sebelumnya diketahui, di tengah kecaman warga Indonesia atas serangan brutal yang dilakukan Israel ke Palestina, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan ada lonjakan tajam impor dari negara Zionis tersebut. Jika periode Januari-April tahun ini dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, terlihat ada peningkatan hampir 340 persen.
Indonesia sedianya tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Latar belakang utamanya karena konflik di Timur Tengah yang menahun. Indonesia secara tegas meminta Israel mengakui Palestina sebagai negara merdeka. Sejak Indonesia berdiri, sikap merah-putih selama sama, meski Presiden berganti-ganti.
Rupanya, situsi ini tak membuat kedua pihak tak memiliki hubungan dagang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Indonesia dan Israel tetap terlibat kegiatan ekspor impor. Republika mengambil data dari situs resmi BPS secara khusus hanya untuk periode Januari hingga April pada 2023 dan 2024.
Dimulai dari Ekspor. Perinciannya, pada Januari 2023 ekspor Indonesia ke Israel menyentuh angka 12.469.786,46 dolar AS. Lalu Februari 9.018.758,70 dolar AS, Maret 17.689.932,27 dolar AS, April 13.756.113,36 dolar AS. Totalnya 52.934.930,79 dolar AS (Sekitar Rp 868 miliar).
Lalu pada Januari 2024 ekspor Indonesia ke Israel menyentuh angka 10.412.405,33 dolar AS, Februari 12.201.061,17 dolar AS, Maret 14.878.436,18 dolar AS, lalu April 14.961.066,72 dolar AS. Total mencapai 52.452.969,40 dolar AS (Rp 860 miliar). Ada sedikit penurunan secara year on year (Januari- April 2024 dibandingkan dengan Januari-April 2023.
Berikutnya, impor. Sama seperti impor, pengambilan datanya dari Januari-April 2023 dan 2024. Ada tren kenaikan yang cukup signifikan secara year on year (yoy), selama periode tersebut.
Pada Januari 2023, Indonesia mengimpor barang dari Israel dengan harga 1.460.030,00 dolar AS, Februari 2.346.948,00 dolar AS. Maret 1.727.451,00 dolar AS. April 1.197.417,00 dolar AS. Totalnya mencapai 6.731.846,00 dolar AS atau (Rp 109 miliar, dengan asumsi Rp 16.082 per dolar AS).
Lalu pada Januari 2024, Indonesia mengimpor barang dari Israel senilai 9.835.544,00 dolar AS, Februari 1.858.084,00 dolar AS, Maret 16.586.596,00 dolar AS. Kemudian April 945.503,00 dolar AS. Totalnya mencapai angka 29.225.727,00 dolar AS (Rp 479 miliar).
Angka itu menunjukkan ada peningkatan tajam impor sebanyak lebih dari 4 kali lipat atau ada peningkatan impor sebesar 339.4 persen.
Apa saja barang-barang yang diimpor dari Israel?
Berdasarkan catatan dari BPS, Indonesia mengimpor peralatan dan suku cadang pemanas dan pendingin, boiler dan suku cadang pembangkit uap atau pembangkit lainnya, pompa untuk cairan dan suku cadangnya, alat untuk digunakan dengan tangan atau mesin, hingga peralatan dan suku cadang telekomunikasi.
Contoh Turki hentikan aktivitas ekspor impor dengan Israel... (baca di halaman selanjutnya)
Turki Setop Total Aktivitas Impor-Ekspor
Indonesia tercatat melakukan kegiatan impor yang masif dari Israel dengan lonjakan tajam yang terjadi pada Januari-April 2024 secara year on year (yoy), padahal Indonesia mengecam keras Israel atas tragedi kemanusiaan di Palestina. Menanggapi hal itu, pengamat menilai sebenarnya Indonesia bisa saja menyetop total kegiatan impor-ekspor dengan Israel, sebagaimana yang dilakukan Turki pada Mei 2024 lalu.
“Harusnya bisa (seperti Turki), tergantung kemauan politik atau political will pemerintah,” kata Trubus.
Trubus menjelaskan, Turki memang bersikap tegas dalam menghentikan kegiatan ekspor-impor dengan Israel karena dipicu aksi bombardir Israel terhadap pengungsi di Rafah baru-baru ini. Menurutnya, bukan tanpa perhitungan, Turki memiliki alternatif atas penghentian aktivitas ekspor-impor dengan Israel tersebut dengan mengalihkan ke negara Afrika.
Sementara itu, jika Indonesia menyetop aktivitas ekspor-impor, diprediksi cukup sulit jika menembus pasar Afrika. Sehingga alternatifnya adalah negara-negara di Eropa Timur yang notabene Muslim.
“Eropa Timur banyak negara kategori muslim tapi produk kita nggak pernah masuk ke sana. Selama ini kan masuknya lewat Rusia,” ujar Trubus.
Boikot senjata kolektif dukung Palestina...
Boikot senjata kolektif dukung Palestina
Dosen Perbankan Syariah, Universitas Ahmad Dahlan, Hilma Fanniar Rohman mengatakan meskipun boikot sering kali dianggap sebagai upaya langsung untuk memberikan tekanan ekonomi, pengaruh utamanya mungkin terletak pada kemampuan untuk meningkatkan kesadaran politik dan memicu aksi kolektif.
Baru-baru ini, pemegang waralaba Starbucks di Timur Tengah, Alshaya Group, mengumumkan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 2.000 karyawan, atau sekitar empat persen dari total tenaga kerjanya. Keputusan ini, yang diambil akibat kondisi perdagangan yang semakin sulit setelah terjadi boikot regional dan internasional pada perusahaan yang dianggap mendukung Israel atau tentaranya.
Dengan serangan Israel di Gaza, Tepi Barat maupun Rafah, seruan untuk boikot juga semakin kuat di Barat. Hilma mengatakan, teknologi memainkan peran kunci, dengan tagar di platform media sosial seperti X dan TikTok yang mengajak untuk memboikot perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Israel.
"Aplikasi seluler seperti NoThanks dan Buycott juga membantu orang mengidentifikasi merek-merek yang relevan untuk diboikot," ujarnya dalam siaran pers, Ahad (30/6/2024).
Apakah boikot cukup?
Banyak yang bertanya-tanya: Apakah boikot saja cukup untuk mempengaruhi perusahaan dan menghasilkan perubahan? Bagi mereka yang berharap boikot dapat membuat perbedaan, ada kabar baik.
Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan politik Harvard, Erica Chenoweth, menunjukkan hanya butuh sekitar 3,5 persen dari populasi dunia untuk mendorong perubahan politik. Ini menunjukkan bahwa meskipun suara-suara proaktif adalah minoritas, mereka tetap dapat membuat perubahan.
Sejarah dipenuhi dengan contoh boikot yang berhasil. Contohnya, pada tahun 1791 di Inggris, seruan untuk memboikot gula yang diproduksi oleh pedagang budak menyebabkan penurunan keuntungan dan mengubah opini publik terhadap perdagangan budak transatlantik, yang berakhir beberapa dekade kemudian.
Boikot anti-apartheid di Afrika Selatan juga efektif, mendorong pembeli internasional untuk “Melihat Labelnya.” Dikombinasikan dengan aktivisme internasional dan domestik yang lebih luas serta tekanan terhadap pemerintah Barat, boikot tersebut membantu mengakhiri rezim apartheid secara resmi pada tahun 1994.
Namun, ada catatan penting menurut Hilma. Meskipun boikot mungkin sedikit mengurangi keuntungan perusahaan dan ekonomi Israel, boikot juga dapat meningkatkan kesadaran politik. Untuk membuat dampak yang signifikan, boikot harus dikombinasikan dengan perubahan kebijakan pemerintah.
Sejumlah penyanyi seperti Taylor Swift hingga Beyonce menolak untuk tampil di Israel bahkan sebelum perang berlangsung, sebagian karena tekanan politik. Anggota band seperti Rage Against the Machine, Cypress Hill, dan System of a Down, telah lebih vokal, bergabung dengan ratusan artis lainnya yang berjanji untuk tidak tampil di Israel.
Dalam beberapa tahun terakhir, ada bentrokan antara aktivisme akar rumput dan pemerintah di Barat. Beberapa pemimpin Barat secara eksplisit mengecam BDS, dan beberapa sekutu utama Israel, termasuk Inggris dan AS, telah mengejar undang-undang untuk membatasi kegiatan boikot domestik terhadap ''negara sahabat'' yang jelas menghambat upaya untuk memboikot Israel.
Meskipun ini mungkin menjadi hambatan bagi gerakan boikot, keretakan yang lebih luas dalam dukungan Barat mulai muncul. Ada peningkatan tekanan hukum dan aktivisme atas penjualan senjata, yang merupakan pilar utama dukungan Barat untuk Israel. Tantangan hukum domestik telah terjadi di seluruh Eropa, termasuk baru-baru ini di Belanda, Denmark, Belgia, Spanyol, dan bahkan Inggris.
Dengan semakin memburuknya situasi di Gaza, tekanan dari kelompok hak asasi manusia dan kemanusiaan yang lebih luas telah mendorong para pemimpin untuk menyatakan keprihatinan atas tindakan Israel, meskipun hal ini belum terwujud dalam perubahan kebijakan yang signifikan.
"Jelaslah, tekanan kolektif diperlukan untuk mendorong perubahan politik, dan sejarah menunjukkan bahwa respons pemerintah diperlukan untuk menciptakan perubahan tersebut. Boikot mungkin memainkan peran penting dalam hal ini," kata Hilma.