Impor Senjata Indonesia dari Singapura juga Melonjak Tajam
Sejumlah warga Singapura mendesak kerjasama industri senjata dengan Israel disetop.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data ekspor impor Badan Pusat Statistik mencatatkan lonjakan tajam impor pada item "senjata, amunisi, atau bagiannya" dari Singapura sepanjang awal 2024 ini dibandingkan periode yang sama dua tahun sebelumnya. Angka lonjakan itu tercatat di tengah sorotan atas kerja sama perdagangan dan produksi senjata antara Singapura dan Israel.
Dalam pendataan BPS, pada periode Januari-Mei 2022 tercatat Indonesia mendatangkan item HS 93 yang terkait item tersebut senilai 128.907 dolar AS. Angka itu merosot tajam pada 2023 hampir mencapai angka tak ada impor sama sekali alias 1.256 dolar AS.
Sementara pada Januari 2024, item HS 93 yang diimpor dari Singapura sebesar 367 dolar AS, kemudian melonjak jadi 518.029 dolar AS pad Februari, 1.425 dolar AS pada Maret, 126.016 dolar AS pada April, dan 2.347 dolar AS pada Mei.
Total sepanjang Januari-Mei 2024, Indonesia mendatangkan item HS 93 senilai 648.273 dolar AS. Angka itu setara kira-kira Rp 10,5 miliar dengan kurs terkini. Jika dibandingkan nilai impor pada 2022, terjadi peningkatan sebesar 402,9 persen.
Jika melihat angka tahunan, pada 2022 Indonesia secara total mengimpor HS 93 senilai 2,3 juta dolar AS. Kemudian pada 2023 totalnya 1,52 juta dolar AS.
Singapura saat ini adalah salah satu negara yang terkait erat industri senjatanya dengan Israel. Pada April 2024 lalu, sekelompok warga Singapura melakukan protes secara damai di negara kota tersebut untuk menyerukan kepada pemerintah agar menghentikan perdagangan senjata dengan Israel. Aksi itu sebagai bagian dari hari aksi global yang diluncurkan oleh A15 Action, sebuah kelompok yang menyerukan kepada pemerintah untuk mengakhiri hubungan yang membuat Singapura terlibat dalam genosida di Gaza.
Seorang juru bicara kelompok tersebut mengatakan kepada MalaysiaNow dalam sebuah pernyataan bahwa Singapura harus membuktikan bahwa mereka tidak terlibat dalam genosida Israel di Gaza, meskipun pemerintah telah menanggapinya dengan ungkapan simpati dan bantuan kemanusiaan untuk Palestina.
“Sikap dan niat baik ini sangat dirusak, dan menjadi tidak berarti jika Singapura terus membiarkan kekerasan yang menciptakan kebutuhan akan bantuan kemanusiaan,” kata pernyataan itu.
A15 mempertanyakan Singapura karena melanjutkan hubungan pertahanan dan perdagangan senjata dengan Israel meskipun ada kritik dari negara tersebut. “Singapura telah menjadi pendukung setia selama bertahun-tahun melalui penjualan senjata, kolaborasi industri pertahanan, dan hubungan bilateral yang telah terjalin lama,” katanya.
Antara 2018 dan 2022, Singapura mengimpor senjata senilai total 73 juta dolar AS dari Israel. “Meskipun merupakan negara kecil, Singapura adalah pelanggan terbesar kesepuluh industri pertahanan Israel; kami telah membeli rudal, drone, tank, dan perangkat elektronik lainnya yang dipasang pada jet tempur dan kapal perang kami dari produsen senjata Israel seperti IAI dan Elbit.
“Pemerintah kami telah memilih untuk berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan bersama dengan entitas Israel, dan Singapura telah terlibat dalam usaha patungan untuk mengembangkan dan memasarkan senjata seperti rudal anti-penjelajahan – beberapa di antaranya, seperti Matador, telah digunakan oleh Angkatan Pertahanan Israel di Gaza."
Pabrikan senjata Israel juga mengambil bagian dalam Singapore Airshow tahun ini, memamerkan senjata yang saat ini digunakan untuk melawan warga Palestina. Rencana sejumlah warga Singapura berunjuk rasa menentang kesertaan Israel itu dihalangi pemerintah.
BPS sebelumnya mencatatkan ada lonjakan tajam impor dari Israel ke Indonesia hingga mencapai 340 persen pada periode Januari—April 2024. Hal itu terjadi meski saat ini Indonesia bersuara cukup lantang mengecam serangan brutal negara Zionis terhadap Palestina.
Sehingga data itu disinyalir menunjukkan seolah-olah kegiatan perdagangan Indonesia dengan Israel seperti diam-diam, padahal Indonesia tidak ada hubungan diplomatik dengan Israel. Menanggapi hal itu, pengamat menduga, di balik kegiatan perdagangan itu ada ‘tangan’ Singapura.
“Saya pikir yang mengatur itu Singapura. Singapura yang bermain sebagai pihak jasa ketiga,” kata Pengamat dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah saat dihubungi Republika, Senin (1/7/2024).
Menurut penjelasan Trubus, dalam konteks perdagangan, Singapura merupakan penghubung antara Indonesia dengan Israel. Hal itu menilik dari era Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang dulunya menginginkan untuk membangun diplomasi dengan Israel, yang akhirnya dijembatani Singapura.
“Era Pak Gus Dur waktu ramai-ramai Gus Dur mau buka kedutaan, akhirnya menyerahkan kepada Singapura, karena kan kedutaan Israel ada di Singapura, dan Singapura yang terdekat dengan kita,” tuturnya.
Trubus berpendapat, walhasil Singapura diuntungkan dari adanya kegiatan perdagangan antara Indonesia dan Israel, yang rupanya melonjak begitu tinggi. Hal itu menurutnya jutsru bentuk lemahnya atau tidak konsistensinya pemerintah Indonesia dalam konteks perdagangan dengan Israel.
“Ini mengindikasikan Indonesia lemah dalam hal ini, ya kita bargaining soal Palestina lemah pada akhirnya begitu. Jangan-jangan produk-produk dari sana (Israel) banjir, kalau naik sampai 340 persen ya luar biasa berarti tinggi sekali permintaannya,” ujar dia.
Melihat kondisi itu, justru Trubus menilai agar pemerintah Indonesia bisa lebih tegas mengenai hubungan dagang dengan Israel. Jika memang memiliki keuntungan satu sama lain, lebih baik melakukan kegiatan secara government to government (G2G). Namun, jika memang secara political will-nya menutup diri berhubungan dengan Israel, lebih baik disetop saja.