Pelajaran Kematian Zhang Zhi Jie, Mendesaknya Pengetahuan Kegawatdaruratan dan Alat AED
Automated External Defibrillator (AED) wajib digunakan tenaga medis di event olahraga
Oleh: Israr Itah, wartawan Republika.co.id.
REPUBLIKA.CO.ID, Pengurus Pusat (PP) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) mendapat sorotan tajam saat menggelar Badminton Asia Junior Championships 2024. Penyebabnya, atlet bulu tangkis tunggal putra China, Zhang Zhi Jie, meninggal setelah kolaps ketika bertanding di GOR Amongrogo Yogyakarta, Ahad (30/6/2024) malam.
Video detik-detik tumbangnya Zhang serta respons tim medis kejuaraan beredar di media sosial. Mayoritas menyayangkan tenaga medis yang lamban bereaksi serta penanganan pertama yang dinilai kurang maksimal.
Namun PP PBSI sebagai panitia pelaksana menyatakan mereka telah bekerja sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku di setiap turnamen bulu tangkis internasional dari BWF dan Badminton Asia. Yakni, tenaga medis baru bisa masuk ke lapangan setelah mendapatkan tanda dan izin dari wasit pertandingan.
Humas dan Media Panpel PBSI Broto Happy saat konferensi pers di Kantor KONI DIY, Yogyakarta, Senin (1/7/2024), mengakui penanganan memang harus lebih cepat lagi bila terjadi keadaan darurat. Ia mengatakan, aturan itu harusnya bisa diperbaiki demi keselamatan atlet dan juga untuk kebaikan bagi seluruh pemain yang bertanding, bahwa tim medis tak perlu menunggu isyarat referee jika ada situasi emergensi.
Karena itu, ia mengatakan aturan tertulis dalam SOP yang menyatakan tim medis tidak bisa masuk ke lapangan sebelum ada call dari referee harus dikaji ulang. PP PBSI, kata Broto, akan membawa kasus ini ke BWF demi kebaikan dan keselamatan atlet pada masa mendatang.
Saya sepakat soal ini. Kebaikan dan keselamatan atlet seharusnya nomor satu. Kegiatan apa pun, utamanya olahraga, semestinya menghindarkan melayangnya nyawa manusia. Maka dari itu, saya ada di barisan orang-orang yang mendorong perubahan aturan di BWF perihal kegawatdaruratan.
Tak cuma itu, prosedur penanganan atlet juga harus diperhatikan lebih detail lagi agar tak lagi memakan korban. Sebab, secara kasat mata, alat penunjang untuk pertolongan pertama kegawatdaruratan dalam kasus Zhang tidak maksimal. Saya tak bisa mengomentari kredibilitas, kecekatan, dan ketepatan tenaga medis memberikan pertolongan karena di luar kapasitas saya.
Yang pasti tak ada Automated External Defibrillator (AED), perangkat portabel yang berfungsi untuk membantu orang yang mengalami henti jantung, dalam penanganan Zhang. AED menganalisa irama jantung secara otomatis. Ia akan menilai perlu tidaknya memberikan sengatan listrik melalui dada ke jantung.
Jika diperlukan, AED akan memberikan instruksi untuk tenaga medis mengikuti panduannya untuk mengembalikan irama jantung, yang akan sangat membantu dalam kasus seperti Zhang. Kita masih ingat bagaimana nyawa pesepak bola Denmark Christian Eriksen, yang kolaps saat berlaga di Euro 2020, terselamatkan dengan pertolongan petugas medis yang cekatan dan dibantu alat-alat mumpuni, di antaranya AED.
Jujur saja, sangat cukup trauma menyaksikan atau mendengar orang yang kolaps ketika atau setelah berolahraga. Sebab, mayoritas tak selamat, meskipun ada yang beruntung masih bisa melanjutkan hidup sampai sekarang.
Pengalaman pertama saya terjadi puluhan tahun lalu, saat masih duduk di sekolah dasar. Saya tak dapat mengingat tahunnya, tapi kejadiannya berlangsung di Lapangan Merdeka, Binjai, kota kelahiran saya. Di Jawa, Lapangan Merdeka mungkin bisa disebut alun-alun, tempat berkumpulnya orang-orang untuk bermain ataupun berolahraga.
Saat itu...
Saat itu, seingat saya, ada pertandingan sepak bola--mungkin laga ekshibisi--yang melibatkan PNS dan pejabat dari Kantor Wali Kota Binjai. Salah seorang di antaranya bertubuh agak gemuk dengan perut membuncit. Bapak ini mencoba mengikuti arah bola, berlari turun naik, tapi dengan kecepatan minimalis. Sampai suatu momen hendak mengejar bola, ia ambruk.
Orang-orang mengerubungi. Penanganan tak jelas. Andalan orang Indonesia adalah minyak angin yang tampaknya diberikan juga ke Bapak ini. Saya tak bisa pastikan. Namun yang pasti, ada jeda waktu cukup lama mulai Bapak ini kolaps sampai diangkut ke rumah sakit. Jarak Lapangan Merdeka dari RSU dr Zoelham hanya 500 meter, tapi nyawa Bapak ini tak tertolong karena penanganan pertama yang tak tepat.
Peristiwa kedua terjadi saat salah satu rekan saya dibawa ke RS karena mengalami serangan jantung setelah bermain dalam turnamen, yang kebetulan saya menjabat sebagai ketua panitia pelaksananya. Apesnya, saat itu saya tak berada di lapangan.
Beruntung, serangan jantung ini termasuk ringan dan terjadi setelah pertandingan usai. Rekan-rekan saya yang proaktif cepat menangani dengan melarikannya ke rumah sakit terdekat. Namun saya sempat panik juga ikut mendampingi teman tersebut menjalani operasi pemasangan ring di jantungnya di RS Harapan Kita. Alhamdulillah, sudah satu dekade lebih sejak kejadian itu, teman saya ini dalam kondisi sehat dan masih bisa bermain bola kembali.
Namun, ada juga rekan wartawan lain yang meninggal dunia saat bermain bulu tangkis di lapangan Kemenpora. Saya kebetulan tak berada di sana saat kejadian. Hanya mendengar cerita memilukan senior kami tersebut ambruk di tengah permainan dan mengembuskan nafas terakhir setelah mendapatkan pertolongan pertama dan bantuan tabung oksigen dari petugas medis yang ada di Kemenpora.
Berikutnya, Ricky Yacobi meninggal ketika bermain sepak bola. Saya cukup dekat dengan eks penyerang timnas Indonesia itu karena kami sama-sama berasal dari Sumatera Utara. Candaan khas Medan selalu terlontar saat kami bersua. Jelas saya sangat bersedih ketika ia wafat.
Terakhir ketika Markis Kido berpulang saat bermain bulu tangkis dengan sesama rekannya eks penghuni Pelatnas Cipayung. Saya sempat cukup intens meliputnya pada masa jayanya, meski hanya sebentar. Kematiannya mengejutkan saya. Apalagi beberapa waktu sebelum itu, saya sempat bertemu dengannya di Mall depan kantor ketika jam makan siang. Kami mengobrol sebentar dan berfoto bersama.
Dua hal menjadi catatan saya, yakni minimnya pengetahuan masyarakat awam perihal Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD). Bahkan mantan atlet pun belum tentu punya pengetahuan memadai dan mumpuni jika menghadapi situasi ini. Termasuk kami para wartawan olahraga yang seharusnya punya kemampuan untuk itu.
Materi PPGD ini mencakup penanganan pertama untuk perdarahan dan syok, luka, cedera patah tulang dan otot rangka, cedera kepala, leher dan spinal, luka bakar, paparan suhu ekstrem, serta awal kedaruratan medis (stroke, serangan jantung, pingsan, dan lainnya).
Biaya mengikuti PPGD ini mencapai jutaan. Tak heran, hanya kalangan tertentu yang punya keterampilan ini, terutama yang bersinggungan dengan pekerjaan. Biaya pelatihan umumnya ditanggung kantor tempat mereka bekerja. Padahal PPGD ini amatlah penting, karena situasi gawat darurat ini bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja.
Menurut saya, pemerintah seharusnya menggencarkan pelatihan PPGD ini. Semakin banyak masyarakat awam yang paham, semakin membantu tenaga medis untuk penanganan pasien gawat darurat.
Sering kita lihat orang mengangkat korban kecelakaan lalu lintas dengan serampangan, dengan kepala tak tertopang baik, padahal semestinya tak seperti itu. Salah mengangkat saja bisa memperberat cedera kepala, leher, dan spinal. Belum lagi penanganan selanjutnya sampai diangkut ke rumah sakit harus mengikuti prosedur yang tepat.
Yang kedua adalah penyediaan AED di tempat-tempat umum, terutama di arena olahraga. AED sifatnya wajib digunakan tenaga medis saat bekerja di event-event olahraga dalam skala apa pun. Andi Kurniawan, dokter spesialis kedokteran olahraga yang belakangan kerap aktif menjadi penanggung jawab kesehatan pada event lari besar nasional, juga menegaskan ini. Menurut dokter Andi, AED seharusnya diperlakukan layaknya tabung pemadam kebakaran, wajib di tempat-tempat umum dan harus ada di semua gedung.
Tahun lalu, saya sempat ngobrol singkat dengan salah satu anggota DPRD DKI Jakarta soal ini. Sang anggota dewan ini mengatakan, penyediaan AED dia area publik Kota Jakarta ini merupakan salah satu program kerja yang ingin dicapainya. Jika tak bisa mencakup semua, minimal di pusat-pusat kegiatan olahraga dan di tempat yang ramai, AED harus tersedia. Ia meminta doa saya kala itu agar programnya ini bisa terwujud.
Sebab, bukan perkara mudah menyediakan AED dalam jumlah besar karena harganya yang cukup mahal, mulai 20 jutaan sampai 100 jutaan. Sementara kesadaran pentingnya alat ini masih kurang di pemangku kebijakan karena penggunaannya yang insidentil dan kebutuhannya mungkin dianggap tak begitu mendesak. Padahal, ini menyangkut nyawa manusia.
Berbeda...
Berbeda misalnya dengan tabung pemadam kebakaran. Efek destruktif kebakaran lebih kasat mata. Harga tabung pemadam kebakaran juga relatif lebih terjangkau sehingga kita bisa mudah melihatnya di gedung-gedung pemerintahan dan swasta, meskipun saya yakin tak semuanya berfungsi normal saat dibutuhkan.
Jujur, saya iri dengan negara tetangga Singapura. Ada lebih dari 10.000 AED yang dapat diakses publik di negara yang luasnya mirip-mirip dengan Kota Samarinda ini. Anda dapat menemukannya di banyak tempat umum, seperti perumahan, properti komersial dan industri, stasiun kereta api dan simpang susun bus, serta fasilitas umum. Anda juga dapat menemukan satu AED di lobi lift setiap dua blok perumahan publik (HDB) negara ini.
Dikutip dari laman Singapore Heart Foundation, untuk menemukan AED yang dapat diakses publik, kita dapat mengunduh aplikasi seluler myResponder dan melihat peta langsung. Dalam keadaan darurat, aplikasi myResponder dapat mengarahkan kita ke AED terdekat yang tersedia dalam jarak 400 meter dari lokasi kita berada.
Ada juga lebih dari 200 taksi dan kendaraan sewaan pribadi yang dipasangi AED di bawah inisiatif AED-on-Wheels, yang meningkatkan ketersediaan AED di masyarakat. Dengan sekitar 5,6 juta penduduknya, jumlah AED cukup memadai. Sementara Jakarta yang penduduknya dua kali lipatnya tak punya fasilitas sebaik ini.
Namun yang lebih utama dari itu, saya percaya warga Singapura pasti sudah dibekali pengetahuan cukup tentang penanganan awal kedaruratan medis menggunakan AED. Pengetahuan ini membuat penyediaan AED di sana tak menjadi sia-sia.
Kita haruslah mengikuti tetangga kaya kita ini. Langkah awal, gencarkan pelatihan PPGD ke masyarakat awam dengan biaya terjangkau, lebih baik gratis. Semakin teredukasi masyarakat dan terlatih menghadapi situasi kegawatdaruratan, semakin banyak nyawa bisa diselamatkan. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemuda dan Olahraga bisa mendorong pelatihan-pelatihan seperti ini.
Kemudian wajibkan penggunaan tenaga medis yang kompeten dengan bekal AED di setiap event olahraga skala apa pun. Terakhir, sediakan AED di tempat-tempat publik di mana orang-orang banyak melakukan aktivitas olahraga.
Duka cita mendalam untuk Zhang Zhi Jie dan keluarga. PBSI pastinya (dan harusnya) belajar dari kehilangannya. Semoga berpulangnya atlet remaja berbakat China ini memberikan pelajaran besar, tak hanya untuk PBSI dan olahraga kita, melainkan juga bagi semua.