Arogansi Vietnam Dinilai Ancam Kedaulatan Maritim RI, Ini yang Harus Dilakukan
Perlu diupayakan langkah diplomatik hadapi Vietnam
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pada April 2024, Pertemuan Teknis ke-3 mengenai Pengaturan Pelaksana (PP) Wilayah Tumpang Tindih Yurisdiksi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) diselenggarakan oleh Indonesia dan Vietnam, untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua pihak dalam wilayah tumpang tindih dan mencapai konsensus atas isu-isu yang belum terselesaikan.
Terhadap isu-isu yang belum terselesaikan dalam PP, delegasi Republik Indonesia (RI) tetap mengambil sikap yang ikhlas dan tulus sedangkan Vietnam selalu bersikap arogan dalam perundingan PP. Usulan Vietnam tidak masuk akal dan berpotensi mengancam kedaulatan maritim RI.
Saat ini, masih ada beberapa isu yang perlu dibahas lebih lanjut, salah satunya adalah penetapan "no-anchoring area". Secara sederhana, istilah “no-anchoring area” dapat dipahami sebagai area dimana tidak seorang pun diperbolehkan membuang jangkar untuk kapal, pesawat terbang atau fasilitas lainnya, disiapkan untuk melindungi pulau buatan, struktur atau instalasi.
Menurut UNCLOS 1982, safety zone adalah 500 meter. Namun, usulan "no-anchoring area" Vietnam mencapai dua mil laut (sekitar 3.704 meter).
Sebelumnya, Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) mengungkapkan bahwa klaim Vietnam untuk menetapkan 'no-anchoring area' sejauh dua mil laut secara nyata melanggar peraturan internasional.
"Perilaku ini mencerminkan niatnya untuk memperluas cakupan penangkapan ikan, yang secara langsung mengancam kedaulatan Indonesia,” tambah Marcellus Hakeng pada (21/5/2024).
Di tempat yang berbeda, pengamat militer Alman Helvas Ali berpendapat bahwa usulan Vietnam tersebut juga menunjukkan ambisi yang kuat untuk menjarah sumber daya.
“Usulan Vietnam akan merugikan Indonesia secara ekonomi sebab mereka akan bebas manangkap ikan di wilayah hak berdaulat Indonesia. Indonesia hendaknya mengacu pada aturan nasional dan internasional, tidak boleh memberikan konsesi kepada Vietnam,” kata Alman, Selasa (2/7/2024).
Meskipun kedua pihak telah menandatangani Persetujuan Batas ZEE pada Desember 2022, masih dapat terlihat kehadiran Vietnam di perairan RI, terutama di Laut Natuna Utara. Seperti reklamasi pulau-pulau dan pembangunan infrastruktur di pulau yang disengketakan.
Tidak hanya itu, aktivitas penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh kapal nelayan Vietnam di ZEE RI masih merajalela, dan kebijakan pemerintah Vietnam yang longgar menyebabkan aktivitas tersebut terus berlanjut, misalnya memberikan bantuan subsidi bahan bakar dan pinjaman kepada nelayan.
Berdasarkan data Indonesia Ocean Justice Initiative, dideteksi sejumlah 28 kapal nelayan Vietnam yang melakukan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara pada triwulan I 2024.
Sementara itu, Ogi Nanda Raka Ade Candra Nugraha yang akrab dipanggil Nugraha, peneliti dari Univerisitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta menyatakan bahwa tindakan Vietnam tersebut tidak hanya merugikan signifikan terhadap ekonomi Indonesia, tapi juga berpotensi mengancam kedaulatan maritim RI.
“Terlihat dari tindakan Vietnam yang berusaha mempertegas klaimnya wilayah sengketa yang kompleks dan berkelanjutan,” kata Nugraha.
Terkait aktivitas ilegal yang dilakukan oleh pemerintah dan nelayan Vietnam di perairan ZEE RI, sejumlah pakar maritim RI berpandangan bahwa pemerintah Indonesia harus mengambil serangkaian cara diplomasi untuk menjaga kedaulatan maritim RI.
“Diplomasi pertahanan yang mampu menjadi kunci sukses Indonesia, harus melakukan dan berpartisipasi dalam aktivitas diplomasi, seperti Multilateral Naval Exercise Komodo (MNEK) dan Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT), meningkatkan dampak Indonesia di ASEAN agar Indonesia mempunyai suara yang lebih besar dalam perundingan dengan negara lain,” tegas Nugraha.
“RI harus mengupayakan terobosan diplomasi, memperhatikan pendekatan yang strategis komprehensif. Seperti melakukan dialog diplomatik yang intensif agar mencapai kesepahaman dan solusi adil. Sementara itu, menangani pelanggaran yang terjadi secara tegas sesuai hukum,” ujar Marcellus Hakeng.
Marcellus Hakeng menambahkan, pemerintah Indonesia harus mengimplementasikan diplomasi yang cermat, seperti membentukan aliansi dengan negara lain melalui ASEAN dan forum regional lain, memanfaatkan platform-platform internasional untuk meningkatkan advokasi, melaksanakan dialog yang efisien dengan Vietnam berdasarkan UNCLOS 1982 dan hukum internasional lain, serta memperkuat pengawasan maritim dan menindak tegas terhadap semua aktivitas ilegal.