UU Pilkada Digugat ke MK, Penggugat Ingin Calon Kepala Daerah Bisa Diusung Ormas

Pemohon ingin calon kepala daerah perseorangan bisa diusung oleh ormas bukan parpol.

Republika/Prayogi
Gedung Mahkamah Konstitusi
Rep: Rizky Suryarandika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syarat dukungan minimal bagi calon kepala daerah (cakada) perseorangan dalam Pilkada diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengujian ini bertujuan agar cakada dari jalur perseorangan dapat menggunakan dukungan organisasi masyarakat (ormas).

Baca Juga


Para pemohon tersebut ialah Peneliti dan Pengamat, Ahmad Farisi; Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Fahrur Rozi; dan Advokat, Abdul Hakim. Mereka menguji Pasal 41 ayat (1) huruf a, b, c, d, e dan Pasal 41 ayat (2) huruf a, b, c, d, e UU Pilkada.

Para pemohon meminta calon perseorangan bisa mendaftarkan diri sebagai calon gubernur/wakil gubernur, calon bupati/wakil bupati, dan calon walikota/wakil walikota kalau memenuhi syarat dukungan dari ormas. Permohonan tersebut tercantum dalam berkas Perkara Nomor 43/PUU-XXII/2024.

Abdul menyampaikan akibat diberlakukannya aturan ini malah mempersulit pemohon untuk mendapatkan calon alternatif. Pasalnya, mayoritas calon yang maju pada kontestasi pilkada ini merupakan calon yang diusulkan oleh partai politik.

Abdul menilai hal tersebut tak sesuai dengan UUD 1945 lantaran melanggar moralitas dan hak konstitusional guna memperoleh kedudukan yang sama, kepastian hukum, dan kemudahan dalam mengakses hak yang diatur dalam undang-undang.

Fahrur menyentil pemerintah yang memberikan izin kepada ormas guna mengelola tambang di Indonesia lewat PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 soal Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

"Maka dengan itu Yang Mulia, hal ini menjadi semacam metodologi komparatif atau analogis di mana organisasi kemasyarakatan itu diakui keberadaannya. Dan sangat mungkin untuk mengusung adanya calon perseorangan sebagai alternatif dari partai politik," kata Fahrur saat sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK pada Selasa (2/7/2024).

Berikutnya, Ahmad mengungkit Putusan Nomor 5/PUU-V/2007. Ahmad menyebut Mahkamah berpendapat syarat dukungan bagi calon kepala daerah perseorangan tidak boleh lebih berat dari syarat dukungan yang harus dipenuhi calon yang diajukan partai politik.

Ahmad memandang yang dimaksud dengan "tidak boleh lebih berat" dalam putusan tersebut bukan hanya pada besaran angkanya, namun juga pada kemampuan calon perseorangan dalam mengakses persyaratan yang dibuat oleh pembuat undang-undang.

Alhasil, pemohon mendesak supaya syarat dukungan bagi calon kepala daerah perseorangan yang tercantum dalam pasal yang diuji tersebut diubah dengan dukungan dari organisasi masyarakat atau perkumpulan masyarakat yang tercacat dan terverifikasi.

Ahmad meyakini syarat dukungan organisasi masyarakat bagi calon gubernur perseorangan minimal layak berjumlah 5 dari masing-masing kabupaten. Angka tersebut sesuai syarat minimal pembentukan daerah provinsi menurut Pasal 35 ayat (4) huruf a UU 23/2014, yakni minimal harus terdiri dari daerah 5 kabupaten/kota.

Ahmad menilai syarat dukungan ormas bagi calon bupati perseorangan minimal wajib berjumlah 5 ormas dari masing-masing kecamatan dan 4 untuk calon walikota perseorangan. Angka minimal tersebut sesuai syarat minimal pembentukan daerah kabupaten/kota menurut Pasal 35 ayat (4) huruf b dan c UU 23/2014.

"Bahwa para pemohon menyebut syarat dukungan di atas sebagai “persyaratan terbuka”, yakni persyaratan yang pada pokoknya tidak menghilangkan persyaratan sebagai sistem pencalonan di satu sisi, namun juga tidak memberatkan dan apalagi sampai membatasi hak-hak konstitusional warga negara yang seharusnya dipermudah sebagaimana dijamin konstitusi," ujar Ahmad.

Atas permohonan ini, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memandang pemohon perlu mempertegas kedudukan hukumnya dalam upaya pengajuan diri sebagai kepala daerah baik lewat jalur independen maupun jalur partai politik.

"Bagaimana mau membahas substansinya jika pintu masuk dari kerugian konstitusional yang didalilkan hanya pada ranah pemikiran saja, setidaknya kerugian yang dimaksudkan adalah potensial terjadi sehingga terlihat posisi pemohon dengan keberlakuan norma yang diujikan," ujar Guntur.

Majelis hakim MK lalu memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi pemohon guna memperbaiki permohonannya terhitung 2 Juli 2024.

Jadwal Pilkada Serentak 2024 - (Infografis Republika)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler