Tafsiran tak Biasa Khalifah Abu Bakar tentang Kerusakan di Bumi dan Laut, Ar Rum 41

Abu Bakar menafsirkan lain surat ar-Rum ayat 41

Republika.co.id
Ilustrasi Alquran. Abu Bakar menafsirkan lain surat ar-Rum ayat 41
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kita sering membaca tafsir ayat 41 Surat Ar-Rum bahwa ayat ini berbicara tentang penyebab kerusakan baik di darat atau di laut adalah ulah manusia.

Baca Juga


Allah SWT berfirman:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar Rum ayat 41)

Mengutip Tafsir Ringkas Kementerian Agama, misalnya, perusakan itu terjadi akibat perilaku manusia, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan, peperangan, percobaan senjata, dan sebagainya.

Perilaku itu tidak mungkin dilakukan orang yang beriman dengan keimanan yang sesungguhnya, karena ia tahu bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan nanti di depan Allah SWT.

Dalam ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa tidak seluruh akibat buruk perusakan alam itu dirasakan oleh manusia, tetapi sebagiannya saja.

Sebagian akibat buruk lainnya telah diatasi Allah SWT, di antaranya dengan menyediakan sistem dalam alam yang dapat menetralisir atau memulihkan kerusakan alam. Hal ini berarti bahwa Allah SWT sayang kepada manusia.

Seandainya Allah SWT tidak sayang kepada manusia, dan tidak menyediakan sistem alam untuk memulihkan kerusakannya, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya.

Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur.

وَلَوْ يُؤَاخِذُ ٱللَّهُ ٱلنَّاسَ بِمَا كَسَبُوا۟ مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَآبَّةٍ وَلَٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِۦ بَصِيرًۢا

“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS Fatir Ayat 45).

Dengan penimpaan kepada mereka sebagian akibat perusakan alam yang mereka lakukan, Allah berharap manusia akan sadar. Mereka tidak lagi merusak alam, tetapi memeliharanya.

Mereka tidak lagi melanggar ekosistem yang dibuat Allah, tetapi mematuhinya. Mereka juga tidak lagi mengingkari dan menyekutukan Allah SWT, tetapi mengimani-Nya.

Memang kemusyrikan itu suatu perbuatan dosa yang luar biasa besarnya dan hebat dampaknya, sehingga sulit sekali dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Bahkan sulit dipanggul oleh alam, sebagaimana dinyatakan firman-Nya.

تَكَادُ السَّمٰوٰتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْاَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ۙ

Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu), (QS Maryam: 90)

Seluruh langit dan bumi adalah satu sistem yang bersatu di bawah perintah Allah SWT. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran bahwa semua yang ada dalam sistem ini diberikan untuk kepentingan hidup manusia, yang dilanjutkan dengan suatu peringatan spiritual untuk tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.

Tetapi, Abu Bakar radhiyallahu anhu, mempunyai tafsiran lain. Dalam Nashaih Al Ibad karya Imam Nawawi Al Bantani, disebutkan tafsir Abu Bakar RA terhadap ayat tersebut. Abu Bakar RA berkata:

البر هو اللسان والبحر هو القلب. فاءذا فسد اللسان بكت عليه النفوس, واذا فسد القلب بكت عليه الملائكة

"Daratan adalah lisan. Lautan adalah hati. Ketika lisan telah rusak, maka banyak manusia yang menangisinya. Tetapi ketika hati yang rusak, para malaikat yang menangisinya."

Dalam terjemahan...

 

Dalam terjemahan "Nashaihul Ibadh: Nasihat-Nasihat Agama kepada Calon Penghuni Surga" yang disertai ulasan dan tambahan dari Abu Mazaya Al Hafiz, dipaparkan bahwa contoh lisan yang rusak adalah memaki, mengumpat, dan memfitnah orang lain.

Sedangkan hati yang rusak ialah sikap riya atau memamerkan amal shaleh. Sebuah pendapat menyatakan, hikmah lisan hanya satu yaitu untuk mengingatkan hamba agar tidak mengatakan sesuatu kecuali perkataan yang penting dan baik. Hal ini sama dengan hati, yang diciptakan hanya satu.

Adapun mata dan telinga diciptakan dalam keadaan berpasangan. Hikmah dari ini yaitu perlunya lebih banyak mendengar dan melihat ketimbang berbicara.

Dalam hadits riwayat Abu Musa Al Asy'ari RA, dia bertanya:

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْإِسْلَامِ أَفْضَلُ قَالَ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

"Wahai Rasulullah, bagaimanakah Islam yang paling utama?" Rasulullah SAW menjawab, "Siapapun dari kaum Muslimin yang selamat dari bahaya lisan dan tangannya." (HR Bukhari)

Hadits itu menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW berpesan kepada umatnya agar tidak melakukan perbuatan buruk baik secara verbal maupun fisik kepada orang lain, yaitu dengan lisan dan tangannya.

Hadits tersebut menjadi dasar tentang keutamaan menjaga lisan dan tangan dari perbuatan yang mencelakai umat Muslim, baik yang dilakukan dengan perkataan maupun perbuatan. Seorang Muslim harus menjaga dirinya dari hal-hal terlarang dan tidak memberi kebebasan pada lisan dan tangannya.

Infografis Berapa Tahun Diturunkannya Alquran - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler