Nyata, Kisah Cinta Budak Wanita yang Taklukkan Hati Komandan Perang
Seketika itu, kegarangannya luntur, berubah menjadi benih cinta.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Biasanya kisah cinta budak dan orang berjabatan tinggi adalah fiktif, tapi tidak yang satu ini. Kasih sayang dua sejoli yang mulanya tidak setara ini nyata adanya.
Ini merupakan kisah zaman pra-Islam. Suatu hari, komandan perang bernama Urwah bin Wird al-Absi membawa serta pasukannya yang tangguh menyerang suatu kaum. Aksi tersebut berakhir dengan kemenangan pihaknya.
Pasukan Urwah mengumpulkan tawanan yang di dalamnya terdapat banyak orang, termasuk wanita. Praktis sejak itu status mereka berubah menjadi budak. Hilang sudah kemerdekaan mereka.
Salah seorang budak wanita itu adalah Salma al-Ghifariyah. Dalam suatu kesempatan, sang komandan perang yang tangguh penuh ketegasan menjatuhkan tatapannya kepada Salma si budak. Seketika itu, kegarangannya luntur, berubah menjadi benih cinta yang kian hari semakin tumbuh membesar. Badannya yang gagah mendadak bergetar menyaksikan Salma si budak.
Dia pun mengambil wanita itu dan di kemudian hari memerdekakannya. Dua sejoli itu mabuk cinta, hidup dalam kebahagiaan. Buah cinta mereka pun terlihat, sejumlah putra yang lucu dan menghibur keduanya.
Hari demi hari hidup mereka selalu dipenuhi kebahagiaan. Sang suami meluapkan cintanya kepada pujaan hati, Salma al-Ghifariya, wanita yang dahulu adalah budak yang kemudian dimerdekakan.
Belasan tahun hidup itu mereka jalani dalam kebahagiaan, tapi bukan berarti tidak ada kesedihan yang mereka alami. Salma si wanita ternyata memperhatikan dan merasakan adanya benih-benih kebencian tumbuh di sekitarnya. Bukan dari suami yang dia cintai, tapi dari eksternal keluarga yang mereka bangun.
Mereka yang menebar benih kebencian itu adalah orang-orang sekitar lingkungannya. Ketika buah cinta Urwah dan Salma bermain keluar rumah, orang-orang selalu saja berkata, “Lihatlah mereka, anak si mantan budak itu.” Kisah ini ditulis penulis Arab Aisyah Abdurrahman binti as Syathi dalam karyanya yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan judul Cinta Abadi Nabi Muhammad Saw.
Lihat halaman berikutnya >>>
Suatu ketika Salma sudah tak kuasa lagi menahan hantaman kebencian tersebut, hingga dia curahkan isi hatinya kepada lelaki tambatan hati. Mendengar keluh kesah itu, si lelaki bertanya, “Apa yang Engkau inginkan untuk menyembuhkan segala luka di hati.”
Kemudian dijawab, dirinya ingin pulang ke kampung halamannya untuk beristirahat.
Pada musim haji, dua kekasih ini berjalan menuju Tanah Suci. Namun di tengah jalan, mereka mampir di kampung halaman Salma. Di sana keluarga Salma menyuguhi khamar yang diminum Urwah. Ketika itu, si komandan perang yang tangguh asyik dalam ketidaksadaran yang membuat dirinya lupa diri.
Dalam keadaan demikian, Urwah berkata, dirinya ingin tetap berada di kampung halamannya, tidak ingin kembali ke rumah mereka di Ghadhfaniyah.
“Wahai Urwah, meski Aku meninggalkanmu, ketahuilah, Aku tidak akan berkata tentang dirimu kecuali yang benar. Demi Allah, Aku tidak mendapatkan satu pun wanita Arab yang membuka aurat untuk suami yang lebih mulia, lebih menundukkan pandangan, lebih sedikit kejahatan, lebih dermawan, dan lebih membela kebenaran, daripada dirimu”
“Namun, sejak berada di sisimu, setiap hari yang aku lewati, membuat kematian lebih aku sukai ketimbang hidup di tengah kaummu, karena Aku tidak ingin mendengar wanita kaummu berkata, ‘budak wanita Urwah berkata...”
Urwah terdiam dan pergi meninggalkan pujaan hatinya karena tak ingin menyayat kelembutan hati sang kekasih. Dia berat melangkahkan kaki, karena membawa jutaan penyesalan dan kesedihan.