Jadi Simbol Kekalahan IDF, Jerman Larang Segitiga Merah Terbalik

Jerman meneruskan kebijakan represif terhadap aksi pro-Palestina.

Palestine Studies
Grafiti menggambarkan tank Israel disasar segitiga terbalik merah di Beirut.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Parlemen Jerman telah memutuskan melarang penggunaan simbol segitiga merah terbalik di negara itu sejak pekan lalu. Lambang itu belakangan populer setelah digunakan dalam video lansiran Hamas untuk menandai pasukan penjajah Israel (IDF) sebelum terkena serangan pejuang Palestina.

Situs berita Jerman ASB Zeitung melaporkan, Uni Demokratik Kristen (CDU) dan Partai Sosial Demokrat (SPD) mengajukan mosi mendesak untuk memberlakukan larangan terhadap segitiga tersebut. Mosi tersebut dilaporkan mendapatkan suara mayoritas dalam sidang pleno parlemen Jerman.

Burkard Dregger, juru bicara kebijakan dalam negeri faksi CDU, menyatakan bahwa tujuannya adalah agar Kantor Administratif Berlin melarang penggunaan simbol tersebut. Kedua, pemerintah federal harus memperluas larangan Hamas hingga mencakup larangan segitiga Hamas, tambahnya.

Martin Matz dari SPD menjelaskan bahwa Hamas menggunakan simbol tersebut untuk menandai orang sebagai target, dan membenarkan larangan penggunaannya. Namun, dia tidak menyebutkan sasaran yang ditampilkan dalam video kelompok Perlawanan Palestina hanya mencakup tentara Israel, personel militer, dan kendaraan.

Partai-partai oposisi, termasuk Partai Hijau, Kiri, dan AfD, tidak mendukung mosi tersebut. Vasili Franco dari Partai Hijau berpendapat bahwa pelarangan total tidak mencakup hak berkumpul atau kebebasan berpendapat. 

Niklas Schrader dari sayap kiri menyatakan bahwa mosi tersebut tidak tepat dan mewakili politik simbolik yang tidak efektif. Ia mencatat bahwa segitiga merah memiliki sejarah panjang dan juga digunakan oleh organisasi lain yang menghadapi kriminalisasi, sehingga menyarankan bahwa jika segitiga tersebut dilarang, segitiga tersebut harus dibedakan dengan jelas.

Segitiga merah dimulai sebagai alat fungsional dalam video yang dirilis oleh Brigade Al-Qassam. Tanda itu biasanya menunjukkan posisi kendaraan tempur atau prajurit Israel yang disasar pejuang. Faksi perjuangan lain di Palestina yang melansir video perlawanan juga menggunakan segitiga terbalik dengan warna lain. Berigade al-Quds dari Jihad Islam Palestina, misalnya, mengunakan segitiga kuning.

“Untuk memahami fungsi segitiga ini, kita perlu memahami cerita di baliknya, sehingga dapat menjelaskan, tanpa satu kata pun, mengapa orang-orang Palestina menolak,” kata analis Palestina dan editor The Palestine Chronicle, Ramzy Baroud, dalam sebuah artikel baru-baru ini. Ia menjelaskan bahwa “fungsi segitiga merah diubah menjadi makna yang lebih besar, simbolisme yang lebih dalam.” 

“Ketika jutaan orang terus memprotes kekejaman Israel di Gaza, banyak yang membawa spanduk dan bendera Segitiga Merah. Bagi mereka, simbol ini tidak hanya mewakili Perlawanan Palestina di Gaza, namun juga perlunya tindakan di tempat lain,” tambah Baroud.

Meskipun ada yang berpendapat bahwa segitiga merah terinspirasi oleh segitiga merah bendera Palestina, tanda ini juga bisa menjadi pilihan teknis agar pemirsa tahu ke mana mereka harus melihat. “Yang benar-benar penting adalah makna yang lebih dalam dari semua ini.”

Jerman tekan gerakan pro-Palestina... baca halaman selanjutnya.

Jerman yang jadi lokasi pembantaian jutaan etnis Yahudi pada masa lalu kini adalah pembela paling sengit Israel. Mereka terus mencoba membungkam suara-suara pro-Palestina di negara itu.

Pada April, pemerintah melarang ahli bedah Palestina asal Inggris, Ghassan Abu-Sitta, memasuki Jerman untuk berpidato di konferensi Berlin tentang pekerjaannya di Gaza. Sebulan kemudian, Abu Sitta memenangkan gugatan hukumnya terhadap larangan tersebut.

Pada Mei 2024, Kementerian Dalam Negeri negara bagian Rhine-Westphalia Utara Jerman memberlakukan larangan terhadap organisasi Palästina Solidarität Duisburg (Solidaritas Palästina Duisburg, PSDU). Lembaga pegiat HAM People Dispatch melansir, Kasus ini melibatkan operasi spionase ekstensif yang dilakukan otoritas negara dan akhirnya penggerebekan di rumah empat aktivis. Mereka yang terkena dampak kini telah membentuk “Komite Penentang Pelarangan PSDU” untuk melawan penindasan negara di pengadilan.

Larangan PSDU terjadi hanya sebulan setelah ratusan polisi Jerman menutup Kongres Palestina di Berlin pada 12 April, menangkap beberapa peserta dan memerintahkan para delegasi untuk segera pergi. Polisi juga menekan mobilisasi besar-besaran di kota-kota di seluruh Jerman yang menyerukan diakhirinya genosida dan melakukan penggerebekan yang ditargetkan terhadap para aktivis.

Pada Juni lalu, dilaporkan Middle East Monitor, Jerman telah memperkenalkan undang-undang baru yang mengharuskan pemohon kewarganegaraan Jerman untuk menyatakan dukungan mereka terhadap hak keberadaan Israel. Langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menuntut pengakuan atas hak hidup suatu negara sebagai bagian dari proses kewarganegaraan, dan telah dikritik karena dampaknya terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi politik.

Undang-undang kontroversial tersebut, yang mulai berlaku pada akhir Juni, merupakan bagian dari perombakan yang lebih luas terhadap kriteria kewarganegaraan Jerman. Meskipun pemerintahan Kanselir Olaf Scholz yang berhaluan sosial liberal pada awalnya mengusulkan undang-undang tersebut untuk menyederhanakan jalur menuju kewarganegaraan bagi para migran generasi pertama, undang-undang tersebut kemudian diubah menjadi langkah untuk memastikan kepatuhan terhadap “nilai-nilai Jerman” di tengah meningkatnya kekhawatiran mengenai anti-Semitisme dan isu-isu lain.

Jerman adalah salah satu dari banyak negara Barat yang mengadopsi definisi anti-Semitisme dari International Holocaust Remembrance Alliance (IHRA) yang sangat kontroversial. Kritikus berpendapat bahwa peningkatan anti-Semitisme yang dilaporkan adalah menyesatkan, sebagian besar disebabkan oleh penerapan definisi IHRA yang menyamakan kritik yang sah terhadap Israel dan Zionisme dengan kebencian anti-Yahudi. 

Akibatnya, statistik mengenai insiden anti-Semit mungkin dibesar-besarkan karena dapat mencakup kasus pidato politik atau protes terhadap kebijakan Israel yang tidak dapat dianggap anti-Semit.

Tes kewarganegaraan baru ini akan mencakup pertanyaan tentang Yudaisme dan kehidupan Yahudi di Jerman, dan memerlukan deklarasi eksplisit mengenai hak keberadaan negara Israel. Persyaratan ini telah menimbulkan keheranan di kalangan pakar hukum dan pembela hak asasi manusia, yang mempertanyakan implikasi legalitas dan etika dari pemberian mandat posisi politik di negara asing sebagai prasyarat untuk mendapatkan kewarganegaraan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler