Batal Pindah Ibu Kota, Cerita Lama Warisan Kumpeni

Kolonial dahulu juga hendak memindahkan ibu kota dari Batavia.

Wereldmuseum Amsterdam
Suasana Jalan Braga di Bandung pada sekitar 1900. Bandung sempat jadi kandidat utama ibu kota Republik Indonesia.
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh Fitriyan Zamzami

Baca Juga


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak berlebihan agaknya bahwa Jakarta adalah kota yang keras kepala. Sudah sejak lama, berbagai pemerintahan mengupayakan pindah ibu kota dari kota pelabuhan yang semarak tersebut. Berulang kali pula, upaya itu gagal.

Wartawan senior Republika Alwi Shahab (semoga Allah merahmatinya), menuliskan bahwa  jauh sebelum ramai-ramai belakangan sudah banyak usulan agar ibu kota dipindahkan, termasuk saat masih bernama Batavia. Ketika pusat Pemerintahan VOC ini menjadi sarang penyakit akibat terbebani lumpur, kota yang pernah mendapat predikat Ratu dari Timur berubah menjadi Kuburan warga Belanda. Orang tidak heran bila mendengar sahabat yang malamnya makan malam bersama keesokan harinya dikabarkan telah meninggal dunia.

Begitu dahsyatnya kematian dan bencana, hingga ketika Herman Willem Daendels ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia  diperintahkan untuk segera memindahkan Ibu Kota Hindia Belanda dari Batavia ke Surabaya atau Semarang. Tapi, Daendels memilih untuk memindahkan pusat kota ke arah selatan daripada perintah pemindahan ke Semarang atau Surabaya. 

Gubernur Jenderal pengagum Napoleon ini pada 1808 menghancurkan gedung-gedung, termasuk Istana Gubernur Jenderal yang terletak di Prinsenstraat (kini Jalan Cengkeh, Jakarta Utara). Prinsenstraat merupakan kawasan elite warga Belanda yang berada di pusat kota seperti layaknya Menteng sekarang ini. Pemindahan ini dia lakukan karena pusat kota dengan jalannya yang memanjang telah menjadi sarang penyakit akibat dipenuhi oleh lumpur yang berasal dari sungai dan kanal-kanal.

Seorang pendatang dari Belanda bernama Coupedrus ketika turun di Pelabuhan Sunda Kelapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang mendapat julukan “Ratu dari Timur” seolah-olah merupakan kota hantu. Gedung-gedung yang dihancurkan Daendels ini kemudian puing-puingnya ia jadikan untuk bahan pusat pemerintahan baru di sekitar Lapangan Banteng yang kini menjadi Departemen Keuangan. 

Suasana di Kramat, Weltevreden pada 1917. Wilayah itu sedianya adalah hasil pemindahan ibu kota dari lokasi lama di Kota Tua Jakarta saat ini. - (KITLV)

Departemen Keuangan ini dia maksudkan sebagai bangunan untuk dijadikan istana pemerintahan. Dia juga membangun Lapangan Gambir (kini Monas) dan gedung-gedung di sekitarnya. Lapangan Monas yang ia juluki Champl ded Mars hingga kini merupakan lapangan terbesar dan terluas di dunia. Warga Belanda yang hijrah ke pusat kota baru di sekitar 15 km dari Kota Tua sangat puas tinggal di daerah selatan yang mereka namakan Weltevreden. Weltevreden yang harfiahnya memang berarti “Sangat Memuaskan”, jauh lebih bersih dari kota lama di sekitar pasar ikan. 

Pendiri Kota Batavia, Gubernur Jenderal JP Coen, juga dipersalahkan terhadap banjir yang hingga kini masih melanda Jakarta. Ada yang menyesalkan mengapa ia tidak membangun pusat pemerintahan di tempat yang lebih tinggi. Alasannya, karena berdekatan dengan Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi salah satu pusat perdagangan.

 

Rupanya ide pemindahan ibu kota dari Jakarta ini kembali setelah Indonesia merdeka. Bahkan, pada 4 Januari 1946, ketika Kota Jakarta tidak aman akibat pertempuran dengan NICA yang ingin menjajah kembali Indonesia, Ibu Kota RI dipindahkan ke Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta kabinetnya memerintah dari kota perjuangan hingga penyerahan kedaulatan pada 29 Desember 1949.

Wali Kota Jakarta Sudiro (1953-1958) menuturkan, ketika terjadi Pekan Olahraga Nasional (PON) di Medan, kontingen PON Jakarta mendapat perlakuan yang mirip pemboikotan, termasuk oleh sopir becak bermotor. Tidak sedikit kecaman pada 1950-an dan 1960-an pada “Jakarta sentris” dan adanya permintaan agar ibu kota dipindahkan dari Jakarta. Bahkan, terjadi pula pemberontakan PRRI/Permesta yang mempunyai kaitan dengan isu-isu pusat dan daerah.

Bandung apalagi. Setelah suksesnya penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika pada 1955, Bandung pernah diusulkan menjadi ibu kota menggantikan Jakarta. Tapi, kala itu kota yang oleh Belanda dijuluki Parisj van Java atau Paris dari Jawa ini masih dianggap belum aman.

Louis Fischer dalam buku The Story of Indonesia, ketika berkunjung ke Indonesia tahun 1957, pernah menanyakan kepada seorang pejabat senior ABRI “Mengapa bukan Bandung saja ditetapkan sebagai ibu kota RI?”. Perwira tinggi yang tidak disebutkan namanya setuju, tapi tidak mungkin dilaksanakan karena banyak elemen DI/TII disekitarnya.

Pada masa Gubernur Sudiro (1953-1958) sudah ada gerakan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta. Sebelumnya, dengan UUD RIS, Jakarta dinyatakan sebagai ibu kota RIS. Dengan hapusnya RIS (Agustus 1950), tidak ada lagi ketetapan Jakarta sebagai ibu kota RI.

Menurut Sudiro, dalam buku ‘Kenang-kenangan Kepala Daerah Jakarta’, bukan hanya kaum politisi yang membicarakan tentang keharusan memilih dan menetapkan ibu kota baru, bahkan ahli kebatinan pun membincangkan ini. Waktu itu ada yang usulan agar ibu kota dipindah ke Magelang yang dikenal jadi lokasi Bukit Tidar yang merujuk legenda adalah “Pakunya Jawa. bahkan ke Palangka Raya (Kalimantan Tengah) yang kini banyak disebut-sebut. Baru pada masa Gubernur Soemarno -sesudah tahun 1960-- Presiden Soekarno menetapkan Jakarta sebagai ibu kota melalui Penpres dan kemudian disusul dengan UU.

Saat itu juga, wacana pemindahan ibu kota RI ke Palangkaraya digagas oleh Presiden Sukarno sekitar tahun 1950-an. Wacana tersebut diungkapkan Presiden Soekarno saat meresmikan Palangkaraya sebagai ibu kota Kalimantan Tengah pada 1957, yang saat itu bernama Desa Pahandut. Keinginan merancang dan mempersiapkan Palangkaraya sebagai ibu kota negara, saat itu secara visioner telah dituangkan dalam rencana induk yang disusun Presiden Soekarno, di mana kota yang pernah diidamkan sebagai ibu kota negara tersebut memiliki luas 2.678,51 Km persegi dan jauh lebih luas dari Jakarta, yang luasnya hanya mencapai 661,52 km persegi.

Bung Karno saat membuka Asian Games 1962 - (wikipedia commons)

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyebutkan penyelenggaraan Asian Games IV/1962 di Jakarta menggagalkan rencana tersebut. "Persiapan Asian Games menyebabkan rencana pemindahan ibu kota terbengkalai. Hingga 1965 ada peralihan kekuasaan sehingga ide ibu kota tidak terdengar lagi," kata dia dalam diskusi Polemik soal "Gundah Ibu Kota Dipindah", ujarnya beberapa waktu lalu.

Menurut dia, Bung Karno sangat serius memindahkan ibu kota karena ketika itu sudah ada desain sederhana tentang Palangka Raya menjadi ibu kota baru Indonesia. Bung Karno pun meninjau langsung ke Palangka Raya untuk menindaklanjuti wacana tersebut. Namun menjelang 1960-an, niat Bung Karno harus ditangguhkan karena ada tawaran Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV/1962.

"Bung Karno berpikir tidak mungkin itu (Asian Games IV/1962) diadakan di ibu kota baru yang sedang dibangun. Makanya, Jakarta dibangun hotel (Indonesia), Gedung Sarinah, bahkan patung selamat datang di Bundaran HI untuk ucapan selamat datang para atlet di Indonesia," ujarnya.

 

Pada masa Presiden Soeharto, putranya Bambang Trihatmodjo, pada akhir 1996 meluncurkan gagasan membangun proyek raksasa di Jonggol, Bogor, sekitar 40 km dari Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, luasnya 28.834 hektare. Ketika dibangun proyek, kepadatan penduduk Jonggol rata-rata 414 jiwa per kilometer persegi. Mungkin ingin meniru Putra Jaya, ibu kota Malaysia, yang jaraknya berdekatan dengan Kuala Lumpur. Sayang, proyek prestisius ini tidak terwujud karena krisis moneter yang berlanjut dengan hengkangnya Pak Harto setelah berkuasa selama 32 tahun.  

Sedangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga punya sikap mendukung pemindahan ibu kota. Hal itu ia utarakan dalam keterangan pers di Hotel Grand Emerald, St Petersburg, Rusia, Sabtu (7/9) pagi pukul 10.00 waktu setempat. Salah satu yang mendorong SBY membuka kembali wacana pemindahan ibu kota adalah kunjungannya ke Ibu Kota Kazakhstan, Angsana.

Menurut SBY, sejatinya sudah sejak empat-lima tahun lalu ia mematangkan rencana pemindahan ibu kota. “Kami membentuk tim kecil untuk mulai memikirkan kemungkinan pemindahan ibu kota kita, dalam arti biar pusat ekonomi, perdagangan, dan lain-lain tetap di Jakarta, tetapi pusat pemerintahan kita pindahkan di tempat yang lain,” kata SBY.


Waktu itu, kendati sudah muncul wacana pemindahan ibu kota, SBY memilih diam. Ia menyiratkan khawatir rencananya dicemooh. Menurut SBY, adalah kebiasaan di Indonesia memandang remeh ide baru. Meski melontarkan ide, SBY mengatakan belum tentu pemindahan ibu kota bakal menjadi tanggung jawabnya. Ia menilai, pemindahan lebih kepada tugas penerus-penerusnya sebagai presiden.

Benar saja, pada era Presiden Joko Widodo kemudian wacana pemindahan ibu kota diseriusi. Proyek-proyek sudah berjalan, dan investasi kabarnya menanti masuk. Bagaimanapun, belakangan rencana kepindahan kantor Presiden ke lokasi itu juga kembali ditunda karena infrastruktur pendukung belum memadai. Jika kondisi tak segera membaik, bisa jadi ibu kota baru dan nasibnya jatuh di tangan Prabowo Subianto yang dilantik akhir tahun ini.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler