Ribuan Pabrik Ditutup, Hadapi Impor Murah dari China, Ekonomi Thailand tak Baik-baik Saja

Tahun lalu, nyaris 2.000 pabrik terpaksa tutup di Thailand.

AP Photo/Ng Han Guan
BYD Qin L Dmi diluncurkan pada Auto China 2024 di Beijing, 25 April 2024. Produsen mobil Tiongkok BYD meresmikan pabrik kendaraan listrik pertamanya di Thailand pada hari Kamis, 4 Juli, sebagai bagian dari upaya perusahaan untuk berekspansi ke Asia Tenggara sekaligus menjangkau orang-orang kaya. pasar di AS dan Eropa.
Rep: Frederikus Bata Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK --  Situasi kontras terjadi di Thailand. Produsen kendaraan listrik asal China (BYD) baru saja membuat pabrik di negara tersebut.

Baca Juga


Tepatnya pada awal bulan ini. Itu pabrik pertama BYD di Asia Tenggara. Situasi  demikian menjadi perhatian di negeri gajah putih.

Sayangnya, beberapa pekan lalu, ada peristiwa lain yang luput dari perhatian. Terjadi penutupan produsen mobil Suzuki Motor. Saat masih beroperasi, pabrikan asal Jepang ini menghasilkan sebanyak 60 ribu unit mobil per tahun.

Langkah Suzuki Motor untuk menutup pabriknya seirama dengan sejumlah perusahaan lain di negara dengan ekonomi kedua terbesar di Asia Tenggara ini. Thailand terkena dampak impor murah dari China. Ada penurunan daya saing industri karena berbagai faktor di antaranya kenaikan harga energi dan angkatan kerja yang menua.

Apa yang terjadi bukan hal baru. Tahun lalu nyaris 2.000 pabrik ditutup di Thailand. Keadaan tersebut berdampak buruk pada sektor manufaktur yang menyumbang hampir seperempat produk domestik bruto (PDB) di sana.

Hal ini membebani perekonomian hingga menyentuh angka 500 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Banyak individu terdampak. Salah satunya pekerja bernama Chanpen Suetrong.

Perempuan berusia 54 tahun itu menghabiskan hampir dua dekade di VMC, sebuah pabrik kaca pengaman di Provinsi Samut Prakan Tengah. Pada April lalu, ia mendapat kabar, perusahaan tempatnya bekerja, ditutup. Ia pun menjadi pengangguran.

"Saya tidak punya tabungan. Saya punya uang ratusan ribu baht," kata Chanpen, dikutip dari Reuters, Senin (15/7/2024).

Ia satu-satunya pencari nafkah di keluarganya yang beranggotakan tiga orang. Suaminya dalam keadaan sakit. Mereka memiliki seorang putri remaja.

Keterpurukkan sektor manufaktor membuat Perdana Menteri Srettha Thavisin kesulitan memenuhi janji kampanyenya. Tahun lalu ia berikrar bakal menaikkan PDB tahunan menjadi lima persen selama empat tahun masa jabatannya. Dalam satu dekade terakhir, PDB Thailand sekitar 1,73 persen.

"Sektor industri telah merosot dan pemanfaatan kapasitas turun di bawah 60 persen. Jelas industri perlu beradaptasi," kata Srettha kepada Parlemen mereka, pekan lalu.

Ekonomi Thailand telah....

 

Ketua Badan Perencanaan Negara Dewan Pembangunan Ekonomi dan  Sosial Nasional, Supavud Saicheua mengatakan model ekonomi Thailand yang selama puluhan tahun didorong oleh manufaktur, telah rusak. "China sekarang mencoba mengeskpor ke mana-mana. Impor murah ini benar-benar menimbulkan masalah. Anda harus berubah," ujar Supavud.

Ia meminta Thailand kembali fokus memproduksi produk yang tidak diekspor dari China. Pada saat yang sama perlu memperkuat sektor pertanian. Jelas, negara tersebut harus bermanuver.

Menurut data terbaru Departemen Pekerjaan Industri, penutupan pabrik di Thailand dari Juli 2023-Juni 2024 meningkat 40 persen dibandingkan 12 bulan sebelumnya. Data ini belum pernah dilaporkan sebelumnya.

Akibatnya, pekerja kehilangan pekerjaan melonjak 80 persen di periode yang sama. Data menunjukkan lebih dari 51.500 pekerja mendapat PHK.

Jumlah pembukaan pabrik baru juga melambat. Ini menurut pernyatan divisi penelitian Bank Kiatnakin Phatra dalam catatan Juni.  Dampaknya menyebar ke industri yang menjadi motor penggerak utama ekonomi, termasuk industri otomotif.

Produsen kecil sedang berjuang dengan kenaikan biaya produksi akibat kenaikan harga energi yang tajam dan upah relatif tinggi. Sangchai Theerakulwanich, ketua Federasi UMKM Thailand, menyatakan hal itu.

"Kami bersaing dengan bisnis multinasional. Produsen yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat harus menutup bisnis atau beralih membuat produk lain," ujar Sangchai.

Mulai bulan ini, Thailand mengumpulkan pajak pertambahan nilai sebesar tujuh persen pada barang impor murah berharga kurang dari 1.500 baht Thailand (41 dolar AS). Sebagian besar dari China, namun produk tersebut masih bebas bea masuk.

Wakil ketua Federasi Industri Thailand, Nava Chantanasurakon mengatakan kelompoknya telah meminta pemerintah untuk melihat langkah-langkah mencegah penghindaran tarif dalam perang dagang AS-China dan hambatan tinggi untuk beberapa barang China di wilayah lain. Ekonomi Thailand diproyeksikan tumbuh hanya sekitar 2,5 persen tahun ini. Mayoritas orang Thailand tidak puas dengan kinerja Perdana Menteri Srettha.

Pemerintah menerapkan skema bantuan 500 miliar baht menanggapi kemerosotan ekonomi. Langkah ini telah menghadapi kritik tetapi dianggap perlu oleh Perdana Menteri untuk menghidupkan kembali perekonomian. Skema demikin mencakup bantuan sebesar 10.000 baht untuk 50 juta orang Thailand  yang berhak menerima, termasuk Chanpen.

Tanpa penghasilan tetap, Chanpen mengatakan dia sedang menunggu bantuan tersebut. "Ekonomi buruk selama pemerintahan sebelumnya. Tapi bahkan setelah pemerintahan baru datang, ekonomi masih sama buruknya seperti sebelumnya," kata mantan karyawan pabrik kaca itu.

 

sumber : Reuters
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler