Cerita Honorer yang Dipecat, Beban Lebih Besar Tapi Direndahkan 'Strata' Guru di Sekolah

Guru honorer meminta dikembalikan untuk bekerja di sekolah masing-masing.

Edi Yusuf/Republika
Guru honorer dari berbagai daerah di Jawa Barat menggelar aksi di depan Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (25/7).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para guru honorer bereaksi keras atas pemecatan yang dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pemecatan ini memang muncul mendadak hingga mengagetkan para guru honorer.

Baca Juga


Andi Febriansyah menjadi salah satu guru honorer yang terdampak pemecatan ini. Andi memprotes keras kelas sosial yang ada pada guru. Ia menyinggung adanya guru honorer, guru PPPK, guru PNS. Padahal tugas mereka sebagai pengajar tak berbeda jauh.

"Ada perbedaan dan kelas sosial kepada kita yaitu upah padahal tugas sama, ijazah sama. Kapan setaranya ini guru? Guru ya guru saja, enggak usah ada stratifikasi sosial tingkatan guru honor lah, PPPK, ASN lah," kata Andi, Kamis (17/7/2024).

Andi menyebut "kelas" pada guru ini malah memperparah masalah dunia pendidikan. Andi mengendus guru-guru ini sengaja dibuat 'kelas'-nya justru agar saling berantem satu sama lain. "Guru selalu dibenturkan tiap ganti menteri. Jadi kita dibentrokkan," ujar Andi.

Andi juga menyentil guru honorer digaji lebih kecil padahal tanggung jawabnya tak beda jauh. Bahkan menurutnya gaji guru honorer tak punya standar baku secara nasional.

"Guru honorer bekerja lebih besar. Tapi guru honorer digaji per tiga bulan dari dana BOS. Nggak jelas gajinya sesuai kebijakan sekolah nggak ada UMP kecuali di Jakarta ada KKI (kontrak kerja)," ujar Andi.

Oleh karena itu, Andi memprotes keras pemecatan guru honorer. Andi ingin dirinya dan para guru honorer lain dikembalikan untuk bekerja di sekolah masing-masing.

"Kami menolak cleansing, kembalikan kawan-kawan kami yang dipecat yang akhirnya mereka tidak bekerja terseok nasibnya, segera kembalikan kawan-kawan kami yang dipecat," ucap Andi.

Tercatat, P2G memperoleh laporan 107 guru honorer di DKI Jakarta yang dipecat oleh pihak sekolah. Pemecatan ini dilakukan di saat dimulainya tahun ajaran baru pada awal bulan ini. Seratusan guru yang dipecat tersebut berasal dari jenjang SD, SMP, hingga SMA.

Ke-107 guru honorer itu pun sudah mengadu ke LBH Jakarta. LBH Jakarta membuka pos pengaduan bagi guru honorer yang menjadi korban pemecatan di awal tahun belajar Juli 2024. Pos ini diharapkan menghimpun para guru honorer terdampak.

Pos pengaduan ini merupakan hasil kerja sama LBH Jakarta dengan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) serta Guru Honorer Muda (GHM). Pembukaan pos ini karena munculnya pemecatan yang berlangsung sejak awal Juli 2024 atau di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).

Nasib guru honorer - (Republika.co.id)

Dalih Disdik Pemprov DKI Jakarta terkait pemecatan. Baca di halaman selanjutnya.

Sekitar 4.000 guru honorer terdampak kebijakan pembersihan (cleansing) yang dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi DKI Jakarta. Alasannya, pengangkatan terhadap guru honorer itu dilakukan oleh kepala sekolah tanpa ada rekomendasi dari dinas.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Disdik DKI Jakarta, Budi Awaluddin menjelaskan, kebijakan cleansing itu dilakukan karena ada temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2023 terkait adanya 400 guru honorer yang dibayar menggunakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak sesuai ketentuan. Namun, berdasarkan data Disdik DKI Jakarta, jumlah guru honorer saat ini mencapai sekitar 4.000 orang.

"Sebenarnya satu sekolah itu cuma satu. Ya kan. Cuma kan pengalinya banyak. Jadi akhirnya kelihatannya 4.000-an kan, karena memang sekolahnya juga banyak. Sekolah kita aja sampai 2.000-an, 3.000-an kan," kata Budi saat konferensi pers di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat, Rabu (17/7/2024).

Angka itu tidak muncul secara tiba-tiba. Sekitar 4.000 guru honorer itu di sekolah negeri merupakan akumulasi sejak 2016. Artinya, praktik pengangkatan guru honorer oleh kepala sekolah tanpa adanya rekomendasi dari dinas sudah terjadi selama bertahun-tahun.

Budi mengeklaim, pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada sekolah untuk tidak lagi mengangkat guru honorer. Sosialisasi itu dilakukan petugas Disdik sejak 2017. Bahkan, Disdik telah mengeluarkan instruksi dan surat edaran bahwa pengangkatan guru honor harus mendapatkan rekomendasi dinas.

"Sebenarnya kalau misalnya kita lihat, dari tahun 2022, di saat itu sudah kita sampaikan. Setop (mengangkat guru honorer), tapi kan bandel," ujar Budi.

Ketika disinggung adanya pembiaran oleh Disdik terkait praktik pengangkatan guru honorer oleh kepala sekolah, Budi menegaskan, jajarannya sudah melakukan sosialisasi dari jauh hari. Pasalnya, kewenangan untuk mengangkat tetap berada di tangan kepala sekolah.

"Kami sudah peringatkan mereka dari jauh hari sih. Kami udah menekan jauh hari, tapi kan mereka tetap ngotot melakukan itu," kata Budi.

Namun, ia tak menyebutkan adanya sanksi yang telah diberikan kepada kepala sekolah. Menurut Budi, masih ada ruang untuk mempertahankan guru honorer hingga Desember 2024.

"Kepala sekolahnya, iya kan sebenarnya waktu itu, ruang itu, peraturannya kan sampai Desember 2024 kan? Undang-Undang itu (ASN) memberikan waktu itu," kata Budi menjawab soal sanksi kepada kepala sekolah.

Kendati demikian, Budi menegaskan, Disdik akan pembinaan kepada kepala sekolah yang bersangkutan. "Nanti akan kami panggil mereka semua, kami lakukan pembinaan, dan kami akan evaluasi juga nanti ke depan," ujar Budi yang juga menjabat Kadisdukcapil DKI Jakarta.

Adapun temuan yang dipersoalkan BPK adalah penggunaan dana BOS yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pasalnya, dalam Pasal 40 ayat (4) Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan terdapat persyaratan penggunaan dana BOS.

Dalam regulasi itu, disebutkan bahwa guru yang dapat diberikan honor harus memenuhi persyaratan seperti berstatus bukan ASN, tercatat pada data pokok pendidikan (Dapodik), memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK), dan belum mendapat tunjangan profesi guru.

Namun, guru honorer yang diangkat oleh kepala sekolah tidak terdata dalam Dapodik dan tidak punya NUPTK. Soal nasib ribuan guru honorer yang terdampak kebijakan cleansing, Budi menyarankan kepada mereka untuk mengikuti seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang akan dibuka pada tahun ini.

"Kemarin dari Kemendikbud juga menyatakan bahwa kebutuhan kami kan hampir 1.900-an ya untuk PPPK, untuk guru. Mereka bisa mendaftar ke sana," ujar Budi.

Ihwal posko pengaduan yang dibuka untuk para guru honorer terdampak kebijakan cleansing, Budi tak mau mempermasalahkannya. Menurut dia, upaya itu merupakan hak para guru honorer. "Ya enggak apa-apa, silakan saja," kata Budi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler