Papua Puncak Jaya Rusuh, OPM Bantah Klaim TNI
OPM mengaku tidak terlibat dalam kerusuhan tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Organisasi Papua Merdeka (OPM) membantah klaim Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menyebut telah menembak mati tiga separatis bersenjata di Puncak Jaya, di Papua Tengah, Rabu (17/7/2024).
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) Sebby Sambom menegaskan, yang dibunuh oleh militer Indonesia tersebut adalah masyarakat sipil. Pembunuhan tersebut memicu gelombang kerusuhan antara warga pendatang, dan masyarakat asli yang akhirnya juga menghilangkan warga sipil.
BACA JUGA: Adidas Coret Bella Hadid dari Iklan Sepatu Usai Dikritik Israel, Netizen Serukan Boikot
Sementara, Polri mengungkap tiga korban meninggal dunia akibat penembakan TNI di Kampung Karubate, Distrik Mulia, di Puncak Jaya, Papua Tengah, pada Rabu (17/7/2024) adalah warga biasa. Polri dalam siaran pers resmi yang diterima wartawan tak melabeli tiga korban penembakan Satgas Yonif 753 itu sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), ataupun bagian dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
"Tiga orang warga meninggal dunia akibat luka tersebut, adalah SW (33 tahun), YW (41), dan DW (36),” kata Kapolres Puncak Jaya AKP Kuswara dalam siaran pers yang diterima, Jumat (19/7/2024). Namun versi kelompok Masyarakat Mulia, tiga yang tewas ditembak militer Indonesia tersebut adalah Dominus Enumbi, Pemerintah Murib, dan Tonda Wanimbo. Ketiga korban tersebut, dikatakan oleh Komnas HAM Papua adalah sebagai bendahara kampung, kepala kampung, dan ketua Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Mulia.
Kepolisian biasanya menggunakan sebutan kelompok kriminal bersenjata (KKB) untuk menyebut anggota kelompok separatis di Papua. Sebutan itu tak digunakan dalam rilis kepolisian tersebut. Ini agaknya berkesesuaian dengan keterangan warga setempat bahwa para korban bukan anggota kelompok bersenjata.
Sementara menurut TNI, tiga yang ditembak mati adalah separatis bersenjata, anggota OPM, atau KKB wilayah Mulia, Puncak Jaya yang dipimpin oleh Terinus Enembuni. Ketiga orang tersebut ditembak mati saat Satgas Yonif 753 berusaha mengejar Terinus Enembuni yang berstatus buronan, dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Namun dalam operasi pengejaran oleh militer di Kampung Karubate tersebut, Terinus Enembuni berhasil lolos, dan menyelamatkan diri.
Pascapenembakan oleh aparat militer tersebut, terjadi kerusuhan di Mulia, ibu kota Puncak Jaya. Masyarat orang asli Papua (OAP) menyerang dengan membakar mobil-mobil kepolisian, dan militer di wilayah tersebut. Amuk warga lokal tersebut, pun berujung pada penyerangan terhadap warga-warga pendatang non Papua. AKP Kuswara mengatakan, dari kerusuhan sesama sipil itu, berujung pada tewasnya satu warga, yaitu Abdullah Jaelani (30).
"Akibat kerusuhan itu, seorang warga meninggal dunia, terluka akibat benda tajam,” begitu ujar Kapolres. Selain itu, kata dia, tiga warga sipil lainnya juga mengalami luka-luka. Di antaranya, Arief (45) yang terkena tembakan panah tajam di bagian punggung, Safrudin (44) yang mengalami luka pada bagian wajah, bibir atas sebelah kiri. Satu korban luka-luka lagi adalah Surati alias Bude Nina (53) yang terkena benda tajam. “Adapun satu korban luka-luka lainnya, adalah Mayor Inf Novald Darmawan, Danyon 753/AVT yang terkena lemparan batu di bagian kepala,” ujar AKP Kuswara.
Pascakerusuhan tersebut, kata AKP Kuswara, situasi kemanan dan sosial di Mulia, masih belum pulih benar. Hal tersebut, kata dia, karena terlihat sampai Jumat (19/7/2024), aktivitas perekonomian warga yang belum normal. Kapolres menilai, hal tersebut lantaran kebanyakan warga yang masih merasa takut. Pun para pedagang, belum berani membuka rumah-rumah toko (ruko-ruko). “Aktivitas perekonomian belum kembali normal, dikarenakan sebagaian warga masih takut untuk beraktivitas,” begitu ujar AKP Kuswara.
Mengingat situasi yang belum pulih itu, kata Kapolres, kepolisian mempertebal keamanan, dengan penambahan personel dari Brimob Polda Papua yang digeser dari Timika. Penambahan pasukan juga dengan mengerahkan Satgas Damai Cartenz. “Memang benar, pasukan gabungan sudah tiba di Mulia dan langsung bergabung dengan personel Polres Puncak Jaya,” begitu kata AKP Kuswasra. Penebalan personel tersebut, kata Kapolres untuk pemulihan situasi. “Secara keseluruhan, situasi keamanan, dan sosial masyarakat di Mulia memang relatif kondusif. Tetapi anggota tetap bersiaga,” begitu ujar AKP Kuswara.
Status DPO dipertanyakan... baca halaman selanjutnya
Aksi sepihak penembakan tiga warga sipil di Distrik Mulia, Puncak Jaya, Papua Tengah oleh Satgas Yonif 753 dikhawatirkan memicu kembali mengerasnya sikap anti-Tentara Nasional Indonesia (TNI) di wilayah tersebut. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, tiga warga yang ditembak mati tersebut, merupakan para tokoh, dan kepala kampung, bahkan salah-satunya merupakan ‘abdi’ di pemerintahan lokal.
“Mereka yang ditembak (oleh TNI) itu, berdasarkan informasi dan testimoni-testimoni dari masyarakat, dan tokoh-tokoh adat di sana, bahwa mereka bertiga itu ada yang sebagai bendahara kampung, kepala kampung, dan satu ketua Bamuskam (Badan Musyawarah Kampung),” begitu kata Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Fritz Ramandey saat dihubungi Republika dari Jakarta, pada Jumat (19/7/2024). Fritz pun mengatakan, ketiganya bukanlah buronan yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).
Tiga yang ditembak mati oleh TNI, Rabu (17/7/2024), adalah Tonda Wanimbo, Pemerintah Murib, dan Dominus Enumbe. Ketiganya mati dihantam peluru TNI karena diduga sebagai anggota dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Pun disebut terkait dengan kelompok separatis bersenjata Terinus Enembuni yang dinyatakan sebagai buronan atau DPO. Dalam penembakan tersebut, Terinus Enembuni, dikabarkan berhasil melarikan diri. Kata Fritz, sejumlah nama yang masuk dalam DPO di Bumi Cenderawasih selama ini, memang orang-orang yang dikait-kaitkan dengan aktivitas seperatisme, maupun kriminalitas OPM.
Tetapi ketiga korban yang ditembak mati oleh militer Indonesia tersebut, kata Fritz, tak ada kaitannya dengan separatis, ataupun DPO. “Semestinya kita harus melihat ini, kalau memang mereka itu dikatakan DPO, bukan ranahnya TNI untuk mengambil tindakan penegakan hukum dengan melakukan penembakan. Ada pihak dari kepolisian, dan Satgas Damai Cartenz yang saat ini mengambil peran penindakan dalam rangka penegakan hukum terhadap terduga, atau DPO terkait OPM ini,” begitu kata Fritz. “Juga Komnas HAM selalu mengingatkan bahwa ada asas praduga tidak bersalah untuk mereka yang masuk sebagai DPO,” sambung Fritz.
Meskipun begitu, dari catatan Komnas HAM Papua, kata Fritz, wilayah Distrik Mulia di Puncak Jaya, sebetulnya sudah tak ada lagi aktivitas separatis, ataupun sejenisnya. Fritz menyampaikan, dalam pengamatan Komnas HAM Papua, dalam hampir satu dekade terakhir ini, sudah tak lagi pernah ada masyarakat asli Papua (OAP) di Distrik Mulia yang mengambil inisiatif-inisiatif pribadi, untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas berbau Papua Merdeka. “Markas TPNPB-OPM memang pernah ada di Puncak Jaya, tetapi itu sudah berhasil dikendalikan. Dan dalam sepuluh tahun terakhir pengamatan kami, hasilnya sangat baik, tidak ada lagi aktivitas-aktivitas OPM di wilayah itu,” ujar Fritz.
Karena itu, penembakan oleh TNI terhadap tiga tokoh kampung yang dicap sebagai anggota kelompok separatis lokal tersebut, kata Fritz sulit untuk diterima. Sebaliknya, kata Fritz, aksi sepihak militer Indonesia yang menewaskan tiga warga biasa itu, dikhawatirkan mengembalikan penilaian negatif masyarakat lokal, terhadap keberadaan TNI di wilayah tersebut. “Ini sebagai peristiwa yang sangat kami (Komnas HAM) sayangkan. Kejadian tersebut sangat kami sesalkan, karena penembakan tersebut sangat dikhawatirkan menjadi trigger kembalinya sikap anti masyarakat (terhadap Indonesia), yang akan memunculkan kembali konflik yang panjang,” ujar Fritz.
Penembakan tersebut, pun kata Fritz, sudah berbuntut panjang dengan memunculkan konflik horizontal antara warga asli Papua (OAP), dengan warga pendatang non-Papua. Karena dikatakan Fritz, masyarakat dari suku-suku pegunungan di Papua, seperti di Puncak Jaya, umumnya melampiaskan aksi pembalasan atas kematian masyarakatnya oleh TNI, ataupun Polri, kepada warga-warga pendatang. “Dan itu sudah kita lihat yang terjadi kemarin pascapenembakan, warga masyarakat Papua (OAP) membalas penembakan itu dengan kerusuhan yang menjadikan warga pendatang (non Papua) sebagai korban,” begitu ujar Fritz.
Komnas HAM Papua, kata Fritz, juga menerima informasi kerusuhan pascapenembakan tersebut, mencatatkan minimal empat korban jiwa dari kalangan pendatang. “TNI-Polri, juga pemerintah harus tahu dan memahami, masyarakat gunung itu, kalau mengetahui bahwa orangnya itu salah, pasti tidak ada dibela. Tetapi, kalau memang orangnya itu tidak bersalah, masyarakatnya pasti membela. Kami sangat mengkhawatirkan situasi ini menjadi triger,” begitu kata Fritz.
Terkait situasi terkini di Distrik Mulia, Puncak Jaya, kata Fritz, Komnas HAM Papua, akan terus melakukan pengawasan, dan pemantauan. “Kami belum mengirimkan tim untuk ke sana. Tetapi, kami melakukan pemantauan, pengawasan proaktif, dengan menerima dan mengklarifikasi semua informasi dari semua pihak,” begitu kata Fritz.