Benarkah Imam Ahmad Anti Sama Sekali Terhadap Takwil Alquran?
Para ulama salaf tidak serta merta anti terhadap takwil
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Takwil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain.
Akan tetapi kaum Salafi yan sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat.
Di antara materi yang disampaikannya adalah persoalan takwil. Dalam pandangannya, takwil atas ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dilakukan.
Sehingga dengan asumsi demikian, dia meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu bertempat atau berada di atas ‘Arasy. Dia menggunakan ayat al-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawa (QS Thaha: 5).
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.”
"Benarkah demikian? Dikutip dari Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi karya LBM NU Jember, dijelaskan bahwa fakta dan data-data akurat bahwa tradisi takwil sudah biasa dilakukan oleh ulama salaf. Salah satunya adalah takwil yang dilakukan oleh Imam Ahmad bin Hanbal atas surat Al-Fajar ayat ayat 22:
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.”
Imam Ahmad mentakwil ayat tersebut dengan ja’a tsawabuhu wa qhadha’uhu (datangnya pahala dan ketetapan Allah subhanahu wa ta‘ala).
Di kalangan Salafi, takwil yang dilakukan Imam Ahmad ini tidak terima. Karena menurut Imam al-Baihaqi disebut dengan hadza al-isnad la ghubara ‘alaih. (sanad ini tidak ada nodanya alias bersih).
Anehnya penilaian tersebut, oleh kalangan Salafi dianggap redaksi hadza al-isnad la ghubara ’alaih tersebut sebagai shighat (redaksi) yang menunjukkan atas kelemahan suatu sanad.
Padahal pernyataan al-Baihaqi yang berbunyi hadza al- isnad la ghubara ’alaih bermakna bahwa sanad riwayat ini tidak ada nodanya sama sekali, alias shahih.
Para Mufasir (pakar tafsir) sering mengungkap rahasia kandungan ayat Alquran dengan metode takwil. Secara etimologis, takwil berarti mengungkap suatu makna secara alegoris (kiasan), simbolik, atau pun rasional. Kata takwil diambil dari kata awwata yang berarti mengembalikan makna yang sebenarnya atau menerangkan hakikat dari apa yang dimaksudkan.
Pakar tafsir abad ke-15, Jalaluddin as-Suyuti berpendapat, takwil adalah menentukan sebuah makna dari beberapa makna yang berbeda yang dikandung oleh lafal, yang harus dilandasi oleh dalil-dalil. Sedangkan Ibnu Rusyd menyatakan, takwil adalah menerangkan makna suatu lafal majazi (lafal yang dipakai adalah kiasan) dari makna yang hakiki atau sebenarnya.
Rumusan lain dikemukakan oleh ahli tafsir, Mahmud Basuni Faudah. Menurutnya, tak wil adalah memilih yang lebih kuat di antara beberapa kemungkinan dari segi lafal dengan berlandaskan alasan, argumentasi, pertimbangan yang menonjolkan peranan akal dan pemikiran, dan pengetahuan yang dapat menerangkan perbendaharaan kata serta arti-arti leksikalnya dalam bahasa Arab. Karena ada suatu lafal mengandung beberapa makna yang semuanya tidak bersifat pasti, maka dipilih yang terkuat.