Vonis Bebas Ronald Tannur Teguhkan Prasangka Hukum Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah
Komnas Perempuan nilai vonis bebas Ronald Tannur cederai rasa keadilan korban.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menilai putusan bebas terdakwa Gregorius Ronald Tannur menjadi catatan buruk penegakan hukum kasus kekerasan terhadap perempuan. Putusan bebas itu juga meneguhkan prasangka bahwa hukum tumpul ke atas, namun tajam ke bawah.
"Putusan bebas dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya kepada terdakwa Gregorius Ronald Tannur telah mencederai pemenuhan hak atas keadilan korban dan keluarganya," kata anggota Komnas Perempuan Tiasri Wiandani, saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin (29/7/2024).
Komnas Perempuan mendukung jaksa penuntut umum (JPU) untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan meminta Badan Pengawasan MA (Bawas MA) serta Komisi Yudisial (KY) untuk memberikan perhatian dan pengawasan terhadap kasus ini sebagai upaya pemenuhan hak atas keadilan dan pemulihan korban dan keluarga korban.
Tiasri Wiandani menyampaikan peristiwa penganiayaan yang menyebabkan kematian korban pada Selasa, 3 Oktober 2023, menunjukkan proses yang disengaja untuk menimbulkan penderitaan fisik dan psikis luar biasa terhadap korban. Yaitu pemukulan sejak dari dalam ruangan, ke ruang parkir, penempatan korban di dalam bagasi, perekaman dengan pengejekan, pelindasan dengan mobil, dan menunda membawa korban ke rumah sakit.
"Rangkaian penganiayaan ini menunjukkan bahwa ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida, yaitu pembunuhan perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena ia perempuan, dalam relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang adalah pacarnya," katanya.
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno pun menilai putusan vonis hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan kekasihnya Dini Sera Afriyanti itu tidak berdasar hukum.
"Menurut pendapat saya, putusan pengadilan negeri pada fakta-fakta yang ada di dalam persidangan itu tidak berdasar hukum," kata Prof Basuki dihubungi di Surabaya, Kamis, pekan lalu.
Basuki menjelaskan maksud dari tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) telah dikesampingkan majelis hakim. Salah satu bukti yang dikesampingkan adalah hasil visum et repertum oleh ahli yang mana sebelum memberikan keterangan ahli telah mengangkat sumpah dan terikat dengan sumpah.
"Kalau kemudian dikesampingkan seperti itu tanpa ada dasar yang kuat, tentu keliru dalam membuat putusan. Berarti salah dalam penerapan hukumnya," ujarnya.
Basuki menambahkan, merujuk pada surat dakwaan JPU, ada empat pasal yang menjadi dasar dakwaan. Yaitu, pasal 338 KUHP, pasal 351 ayat 3 KUHP, pasal 359 KUHP, dan 351 ayat 1 KUHP.
Yang perlu diketahui, dari ketiga pasal itu adalah, korbannya meninggal dunia, sedangkan kalau pasal 351 ayat 1 itu terkait dengan penganiayaan biasa.
"Lah, empat pasal itu kalau di dalam KUHP namanya delik materiil, yaitu yang dilarang adalah akibatnya. Oleh karena itu, dalam persidangan harus dibuktikan adanya hubungan langsung antara perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dengan matinya korban atau penganiayaan yang diderita oleh si korban. Harus ada hubungan langsung," ujarnya.
Dalam perkara ini, tambahnya, JPU sudah mencoba upaya maksimal dengan mengajukan alat bukti dan barang bukti yang memperkuat bahwa matinya korban itu karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak terdakwa, baik saksi, CCTV maupun visum et repertum.
"Saya membaca dari beberapa media, hasil visum et repertum dinyatakan bahwa matinya korban itu disebabkan hatinya mengalami pendarahan yang disebabkan benda tumpul," ungkapnya.
Memang, kata dia, kalau di dalam visum, tidak menyebutkan pelakunya. Hanya visum itu menjelaskan mengapa korban meninggal dunia, atau penyebab korban meninggal dunia, sehingga dalam visum et repertum itu tidak bisa menunjuk orang.
Oleh sebab itu, tegasnya, untuk membuktikan siapa pelakunya maka JPU harus menggunakan alat bukti lain. Ia lantas kembali mencontohkan, jaksa sudah mengajukan alat bukti CCTV tapi juga mengajukan saksi.
"Itulah yang akan membuktikan bahwa si terdakwa itu adalah pelakunya, sehingga si korban meninggal dunia," ucapnya.
Dirinya melihat dalam perkara ini bisa jadi kurang saksi, namun ia menegaskan bahwa dalam perkara tersebut saksinya adalah antara pelaku dan korban saja. Dalam kasus ini, korban pun sudah meninggal dunia, sehingga hanya pelaku saja yang mengetahui secara persis apa yang terjadi.
"Jaksa sudah menunjukkan adanya CCTV. Memang di dalam perkara ini kurang saksi. Barangkali saksinya itu antara pelaku dan korban, di mana korban sudah meninggal dunia, sehingga pertanyaannya, siapa pelakunya yang menyebabkan korban mengalami seperti diterangkan di visum," ungkapnya.
Meski visum tidak bisa menunjukkan siapa pelakunya, tetapi rekaman CCTV dan kronologi perkara menyebut tidak ada pelaku lain selain terdakwa.
"Dari visum tadi yang tidak bisa menunjuk siapa pelakunya, tapi dari CCTV kemudian kronologi perkara kan tidak ada pelaku lain selain si terdakwa. Karena di dalam keterangannya itu diterangkan, sebelumnya antara terdakwa dengan si korban telah mengalami cekcok," katanya.
Soal pertimbangan hakim yang menyebutkan kematian korban disebabkan oleh alkohol, Prof Basuki pun mempertanyakan dasar hukum yang dipakai oleh majelis hakim.
"Majelis hakim mempunyai pendapat seperti itu dasarnya apa? Apakah memang ada ahli yang menerangkan untuk itu atau tidak. Atau paling tidak, ada dokter yang barangkali pernah merawat si korban bahwa korban itu sebelumnya menderita penyakit tertentu sehingga kalau dia minum alkohol menyebabkan matinya si korban. Ini ada atau tidak? Kalau ini tidak pernah terungkap di persidangan, kemudian majelis hakim menyatakan bahwa matinya korban bukan karena atas perbuatan terdakwa tapi karena minuman keras, menurut saya tidak berdasar," tambahnya.
In Picture: Ronald Tannur Divonis Bebas
Soal bukti-bukti yang dikesampingkan majelis hakim PN Surabaya, juga disinggung oleh anggota DPR Rieke Diah Pitaloka. Rieke kemarin ikut mendampingi keluarga almarhumah Dini membuat laporan ke Komisi Yudisial (KY).
Rieke menyebut perkara ini wajib ditindaklanjuti serius oleh KY. Pasalnya, Rieke mencurigai hakim malah mengabaikan bukti kamera pengawas.
"Ini putusan bukan hanya tindakan pelaku yang ekstrem, tapi putusan Majelis Hakim terindikasi kuat juga ekstrem, mengandung kekerasan ekstrem dengan diduga mengabaikan bukti CCTV diduga mengabaikan visum," ucap pemeran Oneng dalam sitkom Bajaj Bajuri itu.
Rieke menegaskan, aduan ke KY penting supaya hakim mewujudkan keadilan bagi korban. Pasalnya, Rieke mengamati putusan hakim ini tak sesuai keadilan bagi korban.
"Penegakkan hukum ini yang utama adalah memenuhi rasa keadilan terutama rasa keadilan korban," ucap Rieke.
Selain itu, Rieke mendapati informasi bahwa KY sudah telah bergerak langsung atas putusan bebas Ronald. Langkah yang diambil KY ialah membentuk tim investigasi dan tim pengawas hakim.
"Laporan ini memang menjadi salah satu prasyarat agar segera ada tindak lanjut," ujar Rieke.
Adapun Ujang, ayah kandung dari korban pembunuhan Dini Sera Afrianti tak terima dengan vonis tak bersalah terdakwa Gregorius Ronald Tannur. Sebagai masyarakat biasa, kata Ujang, dirinya tak habis pikir dengan putusan majelis hakim PN Surabaya, Jawa Timur (Jatim) yang membebaskan anak dari politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Edward Tannur itu.
Padahal, kata Ujang, atas kasus yang menghilangkan nyawa putrinya itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah menuntut Ronald Tannur selama 12 tahun penjara. “Enggak masuk akal ini (putusan bebas) buat bapak. Apalagi orang-orang ini (hakim-hakim) pintar semua. Walaupun saya orang bodoh, ini (putusan bebas) tidak masuk akal. Sudah dituntut 12 tahun, tetapi dibebaskan (oleh hakim). Apa-apaan hakim begitu?,” kata Ujang.